tirto.id - Presiden Joko Widodo mengangkat Laksana Tri Handoko sebagai Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), selain melantik dua menteri baru—Bahlil Lahadalia dan Nadiem Anwar Makarim—pada 28 April lalu. Laksana diangkat berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19/M Tahun 2021 tentang Pengangkatan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Handoko mengatakan BRIN akan memiliki Dewan Pengarah, sesuai amanat UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek). Dewan Pengarah itu berfungsi untuk memantau BRIN bekerja sesuai Pancasila. Karena fungsinya memastikan riset sejalan dengan ideologi Pancasila, maka Ketua Dewan Pengarah BRIN akan dipegang oleh Ketua Dewan Pengarah BPIP—yang saat ini diduduki oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Posisi Megawati dalam lembaga ini dikritik oleh para ilmuwan. Komisioner Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Abdil Mughis Mudhoffir mengatakan bahwa penempatan politikus menjadi Ketua Dewan Pengarah di BRIN akan membuat lembaga riset terpolitisasi. Risikonya, kata dia, rentan terjadi praktik perebutan rente atas sumber-sumber dana penelitian. “Serta digunakannya lembaga penelitian sebagai pemberi legitimasi ilmiah atas praktik rente itu,” kata Abdil saat dihubungi wartawan Tirto, Jumat (30/4/2021) sore.
Abdil mengkritik beberapa lembaga teknokrat seperti Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), serta lembaga donor seperti Knowledge Sector Initiative (KSI) yang kerap menggunakan pendekatan teknokratik dalam upaya menciptakan ekosistem riset dan inovasi.
“Mereka pikir hanya dengan mengandalkan dokumen semacam cetak biru Ekosistem Pengetahuan dan Inovasi (EPI), atau dengan membuat kebijakan dan desain kelembagaan tertentu, maka politisi dengan sendirinya menjadi berkepentingan memajukan riset,” kata Abdil. “Yang terjadi justru sebaliknya: dokumen-dokumen itu dan berbagai desain kebijakan justru dibajak oleh kepentingan yang amat berbeda.”
Ia mengambil contoh dokumen EPI dalam kaitannya dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang merusak lingkungan dan merugikan kaum pekerja.
“UU Cipta Kerja ini jelas memberi jalan bagi praktik rente seperti dikemukakan oleh banyak kajian, sementara ada pernyataan dalam dokumen EPI yang menolak ekonomi rente dan mendorong ekonomi berbasis riset. Itu kan kontradiktif, sehingga tidak jelas ideologinya apa EPI itu,” kata dia.
“Tapi sebenarnya yang namanya teknokrat dan ideologi teknokrat, ya, cenderung melayani pemerintah-penguasa. Karena itu tidak perlu heran ketika BRIN dibajak. Yang bersuara paling keras membentuk BRIN sebagai instrumen untuk membangun ekosistem riset, kan, para teknokrat,” tambahnya.
“Padahal kalau dicermati lebih saksama, desain lembaga ini baik di bawah Kemenristek atau menjadi badan otonom tetap saja mengandung intervensi politik negara. Negara mengendalikan agenda riset. Di mana otonomi ilmuwan?”
Seorang sumber yang tak mau disebutkan namanya memiliki kekhawatiran serupa, bahwa jika Megawati “atau politikus yang lain” terlibat dalam BRIN, ke depan riset hanya akan dijadikan kepentingan politik mereka yang berkuasa saat ini (politik oligarki) dengan dalih “kepentingan nasional.”
“Sehingga dikhawatirkan riset hanya akan dijadikan sebagai justifikasi saja, sebagai alat kepentingan politik dan akumulasi kapital,” katanya kepada Tirto, Jumat.
Misalnya ada temuan bahwa sawit di Papua itu berbahaya bagi ekosistem maupun keberlangsungan hidup manusia. Namun, karena akan ada kebijakan membuka lahan atau pemberian izin konsensi yang diputuskan para politikus, maka bisa jadi riset akan berbalik mendukung kebijakan itu.
Dengan kondisi tersebut, menurutnya, akan merusak mimpi para peneliti yang ingin melakukan riset sosial dan riset alternatif lain di luar kepentingan politikus dan oligark.
“Lembaga riset di mana pun harus punya otonomi saintifik, dia tidak [boleh di]intervensi. Lembaga ilmu pengetahuan harus punya otonomi yang sesuai; tanpa harus takut [menggunakan] pendekatan yang lain, tanpa harus dilarang,” pungkasnya.
Pernyataan sumber dan Abdil patut dimengerti karena Handoko, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala LIPI, memang mengatakan bahwa badan ini pada akhirnya diharapkan akan mendukung perekonomian negara. Ia mengatakan BRIN akan berupaya untuk dapat memberikan dampak ekonomi dari berbagai aktivitas riset dan inovasi yang dilakukan. Dampak tersebut nantinya diharapkan dapat memicu investasi baru yang masuk ke sektor ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) baik dari dalam maupun luar negeri.
“Kami tentu akan bekerja sangat erat dengan Kemendikbudristek dan Kementerian Investasi karena kami juga ditargetkan untuk mampu mendapatkan investasi terkait sektor iptek, khususnya yang berbasis biodiversitas dan sumber daya alam yang memiliki potensi [tapi] selama ini belum tereksplorasi,” kata dia usai pengangkatan.
Presiden Jokowi juga mengatakan bahwa BRIN dibentuk berdasarkan UU Sisnas Iptek, yang ikut dirombak bersamaan dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja—aturan sapu jagat yang ditolak masif oleh publik karena lebih memprioritaskan ekonomi ketimbang urusan publik.
Ia berencana menambahkan anggaran riset dan pengembangan yang besarnya mencapai Rp26 miliar di kementerian-kementerian dan menjadikan satu ke dalam BRIN sehingga uang akan terpusat di satu lembaga. “Bisa langsung membuat produk. Misalnya apa? GeNose, ventilator, dan sebagainya. Jadi anggarannya tepat sasaran,” kata Jokowi, pada 20 April lalu.
Tirto telah coba menghubungi politikus PDIP untuk meminta tanggapan perihal kritik apabila Megawati menjadi Dewan Pengarah BRIN. Hingga artikel ini terbit, PDIP belum juga merespons.
Penulis: Riyan Setiawan & Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri