tirto.id - Dalam Catatan Seorang Demonstran (2005, hlm. 132), Soe Hok Gie berkisah tentang seorang mahasiswi yang ikut demonstrasi antipemerintah. Mahasiswi itu kebagian tugas menempelkan selebaran di mobil-mobil di sepanjang rute demonstrasi. Mahasiswi itu tiba-tiba terkejut oleh selebaran yang ditempelnya sendiri.
Rupanya, selebaran satu itu bertuliskan “Gantung Sabur”. Yang dimaksud tidak lain adalah Brigadir Jenderal Mohamad Sabur, komandan pasukan pengawal Presiden Sukarno Resimen Tjakrabirawa. Si mahasiswi yang terkejut itu ternyata adalah Neneng, anak Sabur sendiri.
Di masa itu, Brigjen Sabur yang pernah juga jadi ajudan Sukarno adalah salah satu elite yang ingin didongkel para demonstran.
Resimen Tjakrabirawa diisi tentara-tentara terbaik dari semua matra Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Letnan Jenderal Sayidiman Suryohadiprojo dalam Mengabdi Negara sebagai Prajurit TNI: Sebuah Otobiografi (1997, hlm. 350) menyebut satuan pengawal presiden itu dibentuk kala Sabur masih berpangkat kolonel. Dia pula yang mengusulkan dan meyakinkan Presiden Sukarno bahwa pengawalan presiden amat membutuhkan pasukan khusus di luar Angkatan Bersenjata.
“Resimen Tjakrabirawa membuat jaring-jaring birokratis yang sulit ditembus, sehingga hanya klik-klik tertentu saja ya yang bisa masuk istana,” kata Soe Hok Gie (2005, hlm. 155).
Di kalangan antipemerintah, beredar gosip bahwa Sabur terlibat pula dalam kehidupan istana yang dekaden. Namun, sayangnya tidak banyak informasi biografis tentang Mohamad Sabur. Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1988, hlm. 269) menyebut Sabur adalah Komandan Resimen Tjakrabirawa sejak dibentuk pada 1962 hingga dububarkan pada 1966, Kepala Seksi Sekretariat Komando Operasi Tinggi (KOTI) sejak Juli 1963, dan lalu Sekretaris Umum KOTI Gaya Baru sejak 23 November 1965.
Cerita Miring
Cerita miring tentang Sabur ada di tangan Sayidiman Suryohadiprojo. Sekira 1948, Sabur berdinas di Corps Polisi Militer (CPM) dengan pangkat kapten. Sayidiman menyebut (hlm. 351), “Setelah kembali dari Jawa Tengah dalam Perang Kemerdekaan Kedua ia masuk kota Sumedang dan melapor kepada Belanda.” Jadi, dia sempat tidak aktif setelah itu.
Sabur baru aktif lagi setelah pemerintahan Republik Indonesia di Jawa dipulihkan. Dia tercatat bergabung lagi dalam CPM di Jawa Barat.
“Ia diturunkan dua pangkat menjadi letnan dua ketika bergabung kembali kepada Polisi Militer Siliwangi,” sebut Sayidiman. Dia tahu cerita itu karena di saat yang sama dia adalah Ajudan Panglima Tentara dan Teritorium III Siliwangi berpangkat letnan satu. Artinya, Sabur kala itu harus mau terima perintah dari Sayidiman.
Sabur dianggap “tidak sempurna” karena tidak ikut membela Republik saat Belanda melancarkan Agresi Militer II. Karenanya, Sabur musti bekerja lebih keras untuk memuaskan atasannya. Dia berhasil membuktikan diri dan naik pangkat dalam beberapa tahun. Pada akhir dekade 1950-an, dia berhasil mencapai pangkat mayor di kesatuan CPM dan kemudian jadi ajudan Presiden Sukarno.
“Sabur mempunyai satu keunggulan dan kebetulan itu cocok dengan Bung Karno. Ia pandai sekali melayani atasan untuk segala macam keperluan. Waktu ia kemudian pindah dari Bandung ke Bogor dan sebagai CPM seringkali bertugas di Istana Bogor, maka ia mulai dikenal oleh Bung Karno,” tulis Sayidiman.
Dari interaksi itulah, Sabur kemudian dapat kepercayaan dari Presiden Sukarno. Sejak itu, Sabur seakan tidak berada di bawah komando Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) lagi. Setelah diangkat jadi Komandan Resimen Tjakrabirawa, pangkatnya dinaikkan lagi jadi brigadir jenderal.
Sabur, disebut dalam Gerakan 30 September: Kesaksian Letkol (PNB) Heru Atmodjo (2004, hlm. 133), secara formal adalah Komandan Resimen Tjakrabirawa, meski tidak pernah memegang kendali pasukan. Posisi nominal itu diserahkan kepadanya karena kesetiaannya melayani Presiden Sukarno.
Komando langsung atas pasukan Tjakrabirawa adalah Kolonel Maulwi Saelan yang menjabat sebagai Kepala Staf Tjakrabirawa.
“Dia orang yang dianggap setia kepada Bung Karno dan suka melayani Bung Karno. Itu saja,” kata Heru dalam kesaksiannya. Menurut Heru, kerja Sabur hanya semacam tukang “angkat baju ini itu” atau apapun yang diperlukan Bung Karno.
Usai G30S 1965
Saat G30S 1965 meletus, Sabur sedang tidak berada di Jakarta. Di sepanjang hari tanggal 30 September 1965, dia berada di Sumedang untuk mengisi ceramah di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad). Dia baru kembali ke Jakarta sore keesokan harinya.
Sabur agaknya tidak mengetahui sepak terjang Brigadir Jenderal Supardjo, Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung.
“Semuanya itu Tuhan yang mengatur. Supardjo boleh membuat rencana, tapi Tuhan yang menentukan,” kata Sabur kepada Mangil sebagaimana tercatat dalam Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967 (1999, hlm. 401).
Di masa-masa genting pasca-G30S, Sabur kerap terlihat mengawal Presiden Sukarno. Termasuk saat tiga jenderal Angkatan Darat datang ke Istana Bogor pada Maret 1966. Sabur ikut mendampingi Letnan Kolonel Ali Ebram untuk mengetik naskah yang belakangan dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 alias Supersemar.
Setelah Supersemar terbit, Letnan Jenderal Soeharto dan pasukannya mulai bergerak untuk menguasai keadaan dan memperlemah para loyalis Presiden Sukarno. Tak tunggu lama, Resimen Tjakrabirawa pun dibubarkan dan tugas pengawalan Sukarno dialihkan pada Polisi Militer Angkatan Darat.
Sabur sendiri akhirnya ditahan oleh rezim Soeharto dengan alasan terlibat G30S. Sabur tak pernah kembali kepada keluarganya. Dia disebut-sebut kena serangan jantung saat dalam tahanan dan akhirnya meninggal dunia pada 1972.
Cerita-cerita miring tentangnya semakin tak terkendali setelah itu. Menurut Heru Atmodjo, Sabur sebenarnya bukanlah simpatisan PKI. Dia hanyalah Sukarnois dan militer yang netral.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi