tirto.id - Menjelang ulang tahun Presiden Sukarno ke-61, Resimen Cakrabirawa dibentuk pada 2 Juli 1962. Pembentukan resimen pengawal presiden ini sebagai respons atas pelbagai percobaan pembunuhan terhadap Sukarno.
“Suatu pasukan khusus dengan kekuatan 3.000 orang yang diambil dari keempat angkatan. Tugas pasukan Tjakrabirawa adalah melindungi Presiden. Mereka ini prajurit-prajurit para yang matang dan prajurit gerilya yang sempurna,” ucap Sukarno seperti dicatat Julius Pour dalam Benny: Tragedi Seorang Loyalis (2007:99).
Bagi Sukarno, Cakrabirawa begitu sempurna karena tahu apa yang menjadi kebutuhannya selaku Pamimpin Besar Revolusi.
“Nama Resimen Tjakrabirawa ini lahir atas usul Hankam dan dari Surat Keputusan Presiden RI tertanggal 6 Juni 1962 No. 211/PLT/1962,” kata Mangil Martowidjojo, salah seorang pengawal Sukarno dalam Kesaksian tentang Bung Karno, 1945-1967 (1999:352).
Cakrabirawa diisi oleh pasukan dari setiap angkatan TNI. Menurut Kolonel Purnawirawan HW Sriyono, mantan perwira Cakrabirawa yang berasal dari Corps Polisi Militer (CPM), batalyon pertama resimen tersebut berasal dari batalion infanteri Angkatan Darat yang dipimpin oleh Mayor Ali Ebram. Sementara batalion kedua dari Korps Komando (KKO) Angkatan Laut yang dipimpin Mayor Saminu. Dan batalion ketiga adalah Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dari Angkatan Udara yang dipimpin Mayor Karseno.
Meski salah satu pasukan elite, namun Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) tidak menjadi bagian Cakrabirawa. Angkatan Darat justru diwakili oleh Batalion 454/Banteng Raider Kodam Diponegoro.
Pengawal Presiden Sukarno di tubuh Cakrabirawa juga berasal dari Kepolisian dan CPM Angkatan Darat. Polisi terkenal dalam barisan pengawal presiden adalah Mangil Martowidjojo yang menjadi Komandan Detasemen Kawal Pribadi.
Cakrabirawa dipimpin oleh Brigadir Jenderal Mohamad Sabur. Sedangkan Kepala Staf dijabat oleh Kolonel Maulwi Saelan, yang juga mantan kiper dan kapten tim nasional sepakbola Indonesia.
“Saya termasuk yang ikut dipanggil dari Makassar diminta menyiapkan pembentukan resimen tersebut, sekaligus ditunjuk sebagai kepala stafnya,” kata Maulwi Saelan dalam Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa (2008:183).
Kompi C Dul Arif
Pada 1965, Letnan Kolonel Untung bergabung dengan Cakrabirawa. Pemegang Bintang Sakti berkat kiprahnya pada Operasi Trikora ini dijadikan komandan Batalion Kawal Kehormatan I. Sementara itu, perwira yang digantikannya dijadikan Asisten I/Intelijen Resimen Cakrabirawa.
Batalion yang dipimpin Untung terbagi atas beberapa kompi, salah satunya kompi C yang dipimpin Letnan Satu Dul Arif. Lelaki berdarah Madura itu adalah anak angkat Letnan Kolonel Ali Moertopo, Wakil Asisten I/Intelijen Kostrad.
Anak buah Dul Arif dari Kompi C kemudian banyak yang menjadi pemimpin penculikan dan eksekutor para jenderal serta perwira menengah dalam peristiwa G30 S. Mereka adalah Sersan Mayor Bungkus dan Pembantu Letnan Dua Djahurup asal Bondowoso. Keduanya adalah kawan lama Dul Arif.
Selain mereka, ada juga Sersan Dua Raswad dari Brebes, Sersan Mayor Surono Hadiwijono dari Solo, Sersan Mayor Satar dari Malang, Sersan Dua Gijadi dari Solo, dan Kopral Dua Hargiono. Di luar itu, ada Sersan Satu Ishak Bahar dari Purbalingga yang betugas berjaga di Lubang Buaya saat mereka menculik para korban.
Menjelang 30 September 1965 malam, pasukan dari Kompi C dikumpulkan di asrama Cakrabirawa. Dari sekitar 3000 anggota Cakrabirawa, yang berhasil dikumpulkan oleh Untung dan Dul Arif hanya 60-an orang, artinya yang terlibat G30S dari resimen pengawal presiden ini hanya dua persen.
“Saya dapat perintah dari komandan batalyon untuk memberikan briefing. Misi kita adalah menggagalkan kudeta Dewan Jenderal,” kata Dul Arif seperti diingat Bungkus dalam wawancaranya dengan Ben Anderson dalam The World of Sergeant-Major Bungkus, yang dimuat dalam jurnal Indonesia (Universitas Cornell) nomor 74 Oktober 2004.
Kompi C Resimen Cakrabirawa pimpinan Dul Arif ditambah pasukan dari Batalion 454 dan Brigif I Jaya Sakti, kemudian melakukan penculikan dan pembunuhan.
Dari Cakrabirawa ke Paspampres
Meski hanya sekitar dua persen yang terlibat G30S, namun nama Cakrabirawa--lewat film propaganda Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI--kadung melekat dalam benak masyarakat sebagai pasukan penculik dan pembunuh para jendera Angkatan Darat. Pasukan ini kemudian dibubarkan.
“Tugas ini sudah selesai,” kata Maraden Panggabean pada akhir bulan Maret 1966 seperti diingat Maulwi Saelan.
Bekas anggota Cakrabirawa yang tidak terlibat G30S dikembalikan ke kesatuannya masing-masing. Sementara yang terlibat menjadi penghuni rumah tahanan militer. Mereka yang terlibat langsung dalam kematian para jenderal (eksekutor), dijatuhi hukuman mati setelah sebelumnya dipenjara selama puluhan tahun.
Pada 28 Maret 1966, bertempat di Mabes Direktorat Polisi Militer Angkatan Darat (POMAD), diadakan serah terima tugas keamanan dan keselamatan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI dari Komandan Cakrabirawa Brigadir Jenderal Sabur kepada Direktur POMAD Brigadir Jenderal Sudirgo.
Ketika Soeharto menjadi presiden, dibentuk Pasukan Pengawal Presiden (Paswalpres) pada 1976, yang kemudian namanya berubah menjadi Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) pada 1988.
Editor: Irfan Teguh Pribadi