Menuju konten utama

BPS: Harga Beras Mahal karena Beda Pola Tanam, Panen, & Konsumsi

Menurut BPS, salah satu faktor yang membuat harga beras masih mahal adalah perbedaan pola tanam hingga konsumsi.

BPS: Harga Beras Mahal karena Beda Pola Tanam, Panen, & Konsumsi
Sejumlah pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin (19/2/2024). Perum Bulog memastikan ketersediaan stok cadangan beras pemerintah dalam keadaan aman mencapai 1,4 juta ton sehingga mampu memenuhi kebutuhan secara nasional hingga Juni 2024. ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/foc.

tirto.id - Pelaksana Tugas Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan penyebab harga beras di beberapa daerah masih mahal dan mengalami inflasi secara month-to-month (mtm). Menurut dia, salah satu faktornya terkait dengan pola konsumsi yang variatif.

Setiap daerah di Indonesia memiliki pola tanam dan panen padi yang bervariasi. Hal itu juga dibarengi dengan pola konsumsi yang berbeda. Pola konsumsi ini tidak selalu mengacu pada nasi.

"Pola konsumsi yang variatif di antar wilayah. Selain itu, pola tanam dan panen pandi juga bervariasi. Ini yang sebabkan perbedaan struktur permintaan beras," kata Amalia dalam konferensi pers BPS secara daring, Jakarta, Kamis (2/5/2024).

"Meskipun secara nasional terjadi panen raya, tapi tidak semua alami turun beras," imbuhnya.

Faktor lain yang juga memengaruhi pembentukan harga beras adalah preferensi terhadap beras lokal. Misalnya, suku Minang di Riau dan sekitarnya lebih condong memilih beras lokal varietas Solok sehingga pasokan dari luar wilayah tidak serta merta mampu menekan harga beras lokal tersebut.

Selain itu, di wilayah yang bukan sentra produksi beras, seperti Maluku dan Papua, kenaikan harga beras didorong oleh faktor jumlah pasokan dan distribusi.

Sebagai informasi, BPS mencatat inflasi harga beras masih terjadi di Papua Barat Daya, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, dan Maluku Utara.

Dalam laporan terbaru dari BPS, harga gabah kering panen (GKP) tercatat turun sebesar 15,58 persen secara mtm, tapi naik 5,29 persen secara yoy. Di samping itu, harga gabah kering giling (GKG) turun sebesar 14,32 persen secara mtm, tapi naik 13,96 persen secara yoy.

Penurunan harga beras secara bulanan tersebut terjadi di tingkat grosir dan eceran. Harga beras di penggilingan pada April 2024 turun sebesar 8,04 persen secara mtm. Namun, secara yoy naik 15,31 persen. Harga beras grosir pada April 2024 turun 4,77 persen secara MTM, tapi naik 14,07 persen secara yoy.

Harga beras eceran pada April 2024 turun 2,72 persen secara mtm, tapi naik sebesar 15,90 persen secara yoy.

Di kesempatan terpisah, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, justru menyebut kenaikan harga komoditas pangan akhir-akhir ini disebabkan karena petani dan peternak masih libur Idulfitri 2024.

"Memang lebaran ya, ini kan baru ramai. Lebaran, kan, enggak ada yang dagang. Jualannya liburan, petani juga liburan dulu," kata Zulkifli saat mengunjungi Pasar Palmerah, Jakarta, Selasa (30/4/2024).

Menurut Zulkifli, permasalahan melambungnya harga beberapa bahan pokok, seperti bawang merah, bukanlah sebuah masalah serius lantaran pasokan bawang merah masih banyak didatangkan dari dalam negeri, bukan melalui importasi.

Saat ini, yang membuat harga semakin mahal, menurut dia, adanya kondisi banjir di wilayah sentra penghasil bawang merah, seperti Brebes, Jawa Tengah.

Baca juga artikel terkait HARGA PANGAN atau tulisan lainnya dari Faesal Mubarok

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Faesal Mubarok
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Fadrik Aziz Firdausi