Menuju konten utama

BPOM Akan Kembangkan Obat Alami, Jamu, dan Fitofarmaka

Menurut BPOM, selama ini ketergantungan obat dalam negeri masih kepada obat kimia.

BPOM Akan Kembangkan Obat Alami, Jamu, dan Fitofarmaka
BPOM dan Ristekdikti tandatangani nota kesepahaman terkait percepatan penelitian dan pengembangan obat Indonesia di Hotel Ayana Midplaza Jakarta, Senin (19/11/2018). FOTO/ BPOM

tirto.id - Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) akan bekerja sama dengan beberapa pihak terkait pengembangan produksi fitofarmaka di Indonesia. Kepala BPOM RI Penny K Lukito mengatakan, kerja sama ini dilakukan untuk menindaklanjuti Inpres Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan.

Menurut Penny, selama ini ketergantungan obat dalam negeri masih kepada obat kimia. BPOM ingin penggunaan obat beralih ke obat alami yakni jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.

"Indonesia memiliki kekayaan bahan alami, diversitasnya terbesar kedua setelah Brazil. Namun dari sekian banyaknya bahan alami, hanya 21 jenis yang sudah jadi produk fitofarmaka dan dikomersialisasi. Jauh di bawah Cina dan India yang sudah ratusan," kata Penny di Hotel Ayana Midplaza Jakarta, Senin (19/11/2018).

Penny menjelaskan, fitofarmaka adalah obat dari bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik. Bahan baku dan produk jadinya juga telah distandardisasi.

Beberapa permasalahannya ialah ketersediaan bahan baku dalam negeri. Hingga saat ini ketersediaan bahan baku masih bergantung pada impor sekitar 90 sampai 95 persen.

Oleh karena itu, perlu dilakukan kerja sama dengan pelaku usaha untuk menyuplai ketersediaan bahan baku tersebut. Selanjutnya juga kerja sama dengan peneliti untuk mengembangkan varian dari bahan baku yang ada.

Permasalahan lain dari kurangnya ketersediaan produk fitofarmaka di Indonesia adalah faktor anggaran. Menurut Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Ristekdikti Muhammad Dimyati, anggaran penelitian negara yang berasal dari APBN dan non APBN masih kecil. Indonesia baru pada angka 0,25 persen per produk domestik bruto atau senilai Rp30,8 triliun.

Sebagian besar keluar untuk kegiatan pendukung seperti rapat, pertemuan, dan perjalanan. Sedangkan untuk peneliti hanya sekitar Rp10 triliun saja.

"Itu masih kecil dibanding negara di ASEAN lain, Thailand saja sudah 0,6 persen, Singapura 1 persen lebih, dan Malaysia sudah 2 persen lebih. Oleh karena itu, sekarang sedang akan dilakukan diskusi dengan panitia kerja DPR untuk membahas perkuatan normal terkait perbaikan kinerja penelitian," kata Damyati.

Terkait produk fitofarmaka, BPOM RI akan membentuk Konsorsium Nasional Percepatan Pengembangan dan Peningkatan Pemanfaatan Fitofarmaka. Konsorsium ini melibatkan beberapa kementerian lembaga seperti Kemenristekdikti, Kementan, Kemkes, BPPT, LIPI, Kemendag, Kemenko PMK.

Selain itu, juga melibatkan asosiasi perguruan tinggi farmasi, ikatan apoteker, serta Gabungan Pengusaha Jamu dan Gabungan Pengusaha Farmasi.

Ada enam bidang yang akan dilakukan di konsorsium tersebut yakni penyediaan bahan baku, teknologi farmasi dan standardisasi, uji pra klinik dan uji klinik, pelayanan kesehatan tradisional, promosi fitofarmaka, hingga monitoring dan evaluasi.

Ada 32 kandidat tanaman terpilih untuk produk fitofarmaka dengan 13 prioritas penyakit yang akan diteliti dan dikembangkan.

Baca juga artikel terkait BPOM atau tulisan lainnya dari Rizky Ramadhan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Rizky Ramadhan
Penulis: Rizky Ramadhan
Editor: Dipna Videlia Putsanra