Menuju konten utama
Miroso

BPK, Darah dan Daging Orang Karo

Aroma pekat BPK muncul dari lemak kulit babi menyentuh bara dan racikan rempah yang meresap masuk ke dalam daging.

BPK, Darah dan Daging Orang Karo
Header miroso babi panggang Karo. tirto.id/Tino

tirto.id - Tak ada warung babi panggang Karo di Texas.

Padahal, ketika masih di Indonesia, Aya Shika bisa menemukan penjual masakan khas kampung halamannya itu di kota besar mana pun. Dari Jakarta, Balikpapan, sampai Manado, semuanya menyediakan lapak berdagang BPK–singkatan yang biasa orang pakai untuk babi panggang Karo.

Dan jangan tanya seberapa banyak warung BPK di Sumatra Utara, apalagi di Kabupaten Karo langsung. Coba saja buka Google Maps, lalu telusuri jalan raya yang melintang utara-selatan melalui Kabanjahe dan Berastagi, kemudian hitung berapa jumlah pin merah untuk rumah makan BPK.

Ada BPK Veteran, BPK Syaloom, BPK Coy, dan ratusan BPK lain. Ada pula yang dengan gagah menamai dirinya BPK Khas Karo yang bisa kita panjangkan menjadi “babi panggang Karo khas Karo”. Ini seperti menyebut “sate Madura khas Madura” di Madura.

Bahkan, ada BPK California, walaupun, lagi-lagi, tak ada BPK Texas.

Masuk ke pelosok pun, warung BPK tetap merajalela. Orang Karo menyantapnya kapan saja dan untuk momen apa saja: pesta pernikahan, pulang bergereja, bahkan untuk sekadar santap siang. Aya sendiri mengenang, dua minggu sekali keluarganya hampir pasti pergi ke rumah makan BPK bersama-sama, baik untuk makan di tempat atau membungkus pulang.

“Di kampungku itu cuma ada satu SD, satu klinik, satu gereja, tapi ada tiga warung BPK,” kata Aya sembari tertawa.

Tuba, Patikala, Gota

Saya pribadi tidak mengonsumsi babi. Namun, tumbuh di keluarga yang merayakan kambing dan jeroan, saya bisa membayangkan bagaimana aroma daging memblukar dari meja makan menuju ruang tengah, mengetuk kamar-kamar, melompat ke beranda, sampai menyelinap ke rumah tetangga.

Aroma pekat BPK tentu tidak hanya datang dari percik-percik lemak yang menghablur ke udara ketika kulit babi menyentuh bara, tetapi juga dari semerbak racikan rempah yang meresap masuk ke dalam daging selama proses marinasi, kemudian ikut terpanggang. Racikan ini memperkaya cita rasa daging panggang dan sambal gota yang merupakan sandingan wajib menyantap BPK.

Dari banyaknya rempah yang dipakai untuk sambal, ada satu yang jadi prasyarat: andaliman. Orang Batak menyebutnya tuba. Melihat bentuknya, saya teringat dengan rimbang atau leunca dalam bahasa Sunda. Namun, andaliman berbiji lebih kecil, berbuah kisut, dan tentunya tidak bisa dijadikan lalapan karena pedasnya akan membumihanguskan kerongkongan.

Andaliman adalah keniscayaan dalam kuliner Karo maupun Batak secara keseluruhan. Kerabat dekat lada Sichuan itu merupakan salah satu perintis sensasi pedas dalam khazanah rempah Nusantara. Butir-butirnya sudah menggelitik lidah penduduk asli utara Sumatra sebelum cabai datang bersama pelaut Spanyol dan Portugis pada abad ke-16.

Ada satu lagi bahan yang menyempurnakan rasa BPK, yaitu patikala atau cikala. Banyak yang mengenalnya dengan nama kecombrang. Namun, alih-alih menggunakan helai mahkota bunga atau pangkal batangnya, orang Karo mengandalkan buah yang dicabut dari bonggolnya.

Sisanya, klasik saja: bawang merah, bawang putih, serai, nipis, lengkuas, jahe, dan ketumbar. Ada yang dipakai sebagai marinasi daging, pelengkap sambal gota, maupun keduanya. Kombinasi rempah ini tidak pakem karena setiap orang pasti punya formula dan takarannya masing-masing.

Namun, tuba dan patikala bukanlah komponen yang terunik. Juaranya terletak pada esens sambal gota yang jadi cocolan utama BPK. Orang yang pertama kali mendengarnya pasti akan mengangkat alis, mengernyitkan dahi, bahkan geleng-geleng kepala.

“Yang paling kontroversial dari sambal BPK itu satu, darah babi,” ujar Aya.

Davidson dalam The Oxford Companion to Food memang menyatakan bahwa darah, dari semua bagian seekor hewan, merupakan manifestasi puncak dari ketabuan makanan. Meskipun begitu, darah tak terpisahkan dari berbagai kuliner kebudayaan dunia, tak terkecuali para penghuni pertama Asia Tenggara.

Praktik konsumsi darah di Nusantara barangkali berakar dari leluhur-leluhur Austronesia kita yang semi-nomaden, para kawula peladang dan penggembala. Darah, seperti ditunjukkan Davidson, umumnya dikonsumsi oleh masyarakat yang tidak menetap dan menumpukan hidupnya pada satwa ternak.

Jejaknya masih bisa ditemukan dalam hidangan milik saudara seperarungan samudera kita, Filipina. Negara kepulauan tersebut punya makanan khas bernama dinuguan yang dibuat dari jeroan babi dengan siraman kuah darah. Hidangan ini dikonsumsi secara nasional dengan bervariasi penyajian di setiap daerah. Keterikatan orang Filipina dan dinuguan kurang lebih sepadan dengan keterikatan orang Indonesia dan soto.

Di Sumatra Utara, praktik konsumsi darah tetap bertahan meskipun dengan kehadiran berbagai pengaruh luar. Pertama, pedagang Tamil mendarat pada kisaran abad ke-11 dan memperkenalkan sistem sawah irigasi dan praktik hidup menetap, membuat jarak antara para pribumi dan gaya hidup semi-nomaden mereka. Kemudian, saudagar Muslim datang dan mengukuhkan pijakan kuat di Kesultanan Aceh dan Minangkabau, mengapit komunitas Batak dari utara dan selatan.

Akan tetapi, karena penetrasi terkuat para saudagar berada di wilayah dataran rendah dan pesisir, budaya orang Karo yang menghuni lembah-lembah Pegunungan Bukit Barisan relatif tidak terpengaruh. BPK dan gota, rekam kebudayaan totok Austronesia, abadi di sana.

“Melala ban dareh na!” Celetuk Aya dalam bahasa ibunya. Darahnya yang banyak!

Babi, Si Traktor Lahan dan Pembersih Jalanan

Bagi orang Karo, manfaat babi sebagai hewan ternak pun tidak sekadar daging empuknya saja.

Babi pernah punya peran sebagai pembajak alami tanah desa karena tabiat mereka yang suka menggali. Peran ini bisa berlangsung karena dahulu babi diumbar bebas, khususnya di ibasagen kajang yang secara harfiah berarti “di dalam kajang”.

“Arti dari kajang tersebut tidak tentu, tetapi orang mengasosiasikan istilah itu dengan aturan bagi hewan domestik di dalam desa,” tulis Masri Singarimbun, antropolog kondang asli Karo, dalam bukunya Kinship, Descent, and Alliance among the Karo Batak.

Aturan ini khususnya berlaku bagi babi. Di ibasagen kajang, tidak ada yang boleh membunuh babi walaupun ia merusak kebun pekarangan tetangga. Yang disalahkan dalam kasus seperti itu justru adalah si tetangga yang dianggap tidak apik membuat pagar. Pengecualiannya adalah jika si tetangga sudah membuat pagar yang baik, tetapi babi tetap bisa masuk ke dalam pekarangan karena menggali ke bawah pagar.

Akan tetapi, Gerakan Kebersihan Nasional pasca-kemerdekaan mewajibkan masyarakat Karo mengandangi ternak dan melarang mereka mengumbar babi di desa. Bersamaan dengan program tersebut, luruh pula fungsi babi sebagai penggembur tanah desa.

“Yang mengabaikan instruksi ini berisiko menemukan aparat kepolisian membunuh babi mereka,” tulis Singarimbun.

Belakangan, justru muncul teknologi bernama traktor babi (hog tractor), metode pembajakan lahan menggunakan kerukan alami babi, yang populer di kalangan pegiat tani modern nan berkelanjutan.

Meskipun manfaat itu sudah hilang, babi masih memberikan keuntungan lain bagi masyarakat Karo. Di luar kepercayaan umum, babi bisa menjadi agen kebersihan.

“Babi itu makan apa aja. Jadi, orang-orang ngasih mereka sisa makanan sehari-hari,” kata Aya.

Ia mengingat bagaimana para tetangga desa setiap hari datang ke rumah kakeknya meminta sisa makanan. Di dapur, satu atau dua ember sisa makanan sudah menunggu untuk dijemput. Jumlahnya sangat banyak karena beliau sering mengadakan perjamuan besar untuk tamu dan keluarga.

Hasilnya, kedua belah pihak sama-sama senang. Yang memberi tidak perlu repot memikirkan sampah dapur yang cepat membusuk, sementara yang meminta tidak perlu membeli pakan untuk babi mereka.

Saya juga membayangkan, babi-babi itu pasti gembira bisa melibas makanan yang beragam, tidak seperti hewan ternak industri yang hanya dijatahi konsentrat pakan dan asupan hormon sampai mati disembelih.

Duta Orang Karo

Jika manfaat babi tidak sebatas pada dagingnya, BPK pun tidak sekadar santapan saja bagi orang Karo. Hidangan itu juga menjadi emblem identitas yang membedakan orang Karo dengan kelompok besar lain dalam rumpun etnis yang biasa kita kenal sebagai Batak.

Lima kelompok besar tersebut–Karo, Pakpak, Toba, Simalungun, dan Mandailing-Angkola–memiliki perangkat kebudayaan mereka masing-masing. Perbedaan satu sama lain pun bisa sangat kentara. Aya mencontohkan, jika ia mendengarkan dua orang yang berasal dari Toba berbicara dengan satu sama lain, ia tidak akan mengerti.

Masalahnya, menurut Aya, banyak orang hanya tahu nama Batak saja. Ini membuat identitas kelima kelompok tersebut tercampur aduk, sampai-sampai yang mencuat di publik cuma seperangkat stereotipe yang tidak jarang keliru: orang-orangnya keras dan gemar berteriak horas!

Baginya, Batak tidak bisa sepenuhnya merepresentasikan Karo, sebagaimana Batak tidak bisa sepenuhnya merepresentasikan kelompok etnis yang lain. Itulah kenapa BPK begitu penting bagi orang Karo. Ia babi panggang Karo, bukan babi panggang Batak.

“Karo tersematkan dalam BPK, babi panggang Karo. Itu jadi kebanggaan sendiri buat kami,” kata Aya.

BPK telah menjadi duta bagi orang Karo sejak mereka beranjak dari pegunungan tempat awal mereka tinggal, melampaui Sumatra, sampai berdiaspora ke seluruh penjuru Nusantara. Dan walaupun belum bisa dikatakan mendunia, satu percik ingatannya saat ini telah melanglang buana ke seberang benua.

Di Texas, Amerika Serikat, Aya Shika membayangkan sepiring BPK. []

Baca juga artikel terkait BPK atau tulisan lainnya dari Finlan Aldan

tirto.id - Miroso
Penulis: Finlan Aldan
Editor: Nuran Wibisono