Menuju konten utama

Bono U2: Beramal di Afrika, Mengemplang Pajak di Belanda

Aktivitas filantropi dan pengemplangan pajak tak jarang seiring berjalan.

Bono U2: Beramal di Afrika, Mengemplang Pajak di Belanda
Vokalis Bono menyanyi saat grup U2 tampil dalam konser mereka U2: The Joshua Tree Tour, di Croke Park, Dublin, Irlandia, Sabtu (22/7). ANTARA FOTO/REUTERS/Clodagh Kilcoyne

tirto.id - Bocoran pengemplangan pajak kembali mengejutkan dunia. Paradise Papers, sebuah dokumen berisi lebih dari 13 juta berkas ini diungkap pada Minggu (5/11/2017) lalu oleh surat kabar asal Jerman Süddeutsche Zeitung, pihak yang pertama kali memperoleh dokumen itu. Mereka lantas membagikannya dengan International Consortium of Investigate Journalist (ICIJ).

Belasan juta berkas yang bocor berasal dari perusahaan Appleby. Perusahaan yang berbasis di Bermuda ini bergerak dalam bidang pembentukan perusahaan cangkang luar negeri dan membantu mengurangi tagihan pajak secara legal. Kebocoran berkas tersebut menjadi salah satu yang terbesar dalam sejarah dengan melibatkan banyak pihak; mulai dari politisi, perusahaan terkemuka, sampai selebriti kaya. Tercatat nama Ratu Elizabeth hingga vokalis band rock papan atas U2, Bono, ada di situ.

Untuk kasus Bono sendiri, ia diduga menghindari pajak keuntungan dari investasi yang ditanamkannya di salah satu pusat perbelanjaan di Lithuania. Nilai pajak yang dihindari sejumlah $54 ribu. Seperti dilansir BBC, Bono menanam saham di pusat perbelanjaan Aušra yang terletak di Utena, melalui perusahaan Nude Estates yang berbasis di Malta. Sesaat setelah Paradise Papers dipublikasikan, pemerintah Lithuania langsung menyelidiki Aušra.

Dalam sebuah pernyataan, Bono mengatakan bahwa dia akan "sangat gelisah jika [namanya] terlampir dalam laporan itu kendati posisinya hanya investor minoritas yang pasif." Ia menambahkan, "Saya menanggapi hal [laporan] ini dengan sangat serius. Saya sudah berkampanye agar kepemilikan perusahaan lepas pantai [offshore] menjadi lebih transparan."

Di samping itu, Bono menegaskan dirinya "menyambut baik pelaporan tersebut" seperti yang tertera dalam Paradise Papers. "Seharusnya kejadian seperti ini [kebocoran berkas pajak] tidak perlu terjadi asalkan ada transparansi antara publik, pers, dan pemerintahan," ungkapnya seperti dikutip Rolling Stone.

Baca juga: Yang Kaya dan Murah Hati

Bono tak sekali ini saja mengemplang pajak. Pada 2006, Bono dituduh mengakali sistem pajak dalam negeri dengan memindahkan sebagian bisnis U2 ke Belanda, negeri yang dikenal menerapkan pajak pendapatan royalti yang lebih menguntungkan untuk para musisi. Anggota parlemen Irlandia, Brid Smith menyatakan bahwa masyarakat Irlandia memandang Bono tak lebih dari sekadar orang kaya yang mengemplang pajak namun menikmati keuntungan sebagai warga negara Irlandia. Ia meneruskan, “Bono dicap munafik atas apa yang dilakukannya.”

Filantropi Bono

Bono dikenal publik lewat aktivitas amalnya. Pada 2006, bersama mantan petinggi EMI/Capitol Records Bobby Shriver, Bono mendirikan organisasi nirlaba bernama (Red) yang bertujuan mengakhiri penyebaran AIDS bagi para bayi yang baru saja lahir dengan memberikan bantuan obat-obatan. Menurut catatan (Red) yang dibuat pada 2005, lebih dari 1.200 bayi lahir terjangkit HIV setiap harinya.

Seperti dikabarkan Business Insider, perusahaan dan yayasan kaya yang didekati (Red) mulai berpartisipasi dengan menanggung ongkos pengobatan yang tak terjangkau penduduk setempat. Beberapa rekan (Red) bukan lembaga atau orang sembarangan. Ada Gates Foundation yang didirikan Bill dan Melinda Gates hingga Marc-Lynne Benioff dari perusahaan piranti lunak Salesforce. Mereka menyumbang hingga jutaan dolar untuk mendukung keberhasilan misi amal (Red).

Baca juga: Candu Uang yang Menyesatkan

Selain (Red), Bono juga aktif berkampanye melalui badan ONE Campaign. Badan menyandang misi serupa dengan (Red). Dalam laman resminya, ONE merupakan kampanye dan organisasi advokasi yang bergerak untuk mengakhiri kemiskinan dan persebaran penyakit berbahaya di Afrika.

Lebih jauh sebelumnya, Bono juga pernah terlibat dalam konser amal terbesar bertajuk Live Aid yang dihelat pada 13 Juli 1985. Kala itu Bono diajak tambil persama sang penggagas konser, penyanyi Bob Geldof. Tujuan penyelenggaraan Live Aid ialah mengumpulkan donasi untuk mengentaskan kelaparan dan kemiskinan di Ethiopia.

Diadakan di dua titik utama, stadion Wembley di Inggris dan Stadion John F. Kennedy di Amerika Serikat, Live Aid disaksikan oleh 72.000 penonton (di Wembley) serta lebih dari 100.000 (di stadion John F. Kennedy). Meski diselenggarakan di dua lokasi, konser serupa ternyata juga dihelat di berbagai negara seperti Austria, Jepang hingga Kanada. Menurut laporan CNN, Live Aid sukses menarik 1,9 miliar penonton yang tersebar di 150 negara serta mengumpulkan sekitar 50 juta poundsterling.

Aksi filantropi Bono mengundang perdebatan publik. Setahun setelah konser Live Aid diadakan, media musik Spin mempublikasikan laporan panjang yang menyentil ketidaktahuan orang-orang Live Aid soal kenyataan di Ethiopia. Dalam laporannya, Spin mengungkapkan dana yang berjumlah besar itu berpotensi tidak disalurkan ke tempat semestinya.

Dugaan Spin diperkuat oleh dokumenter BBC World Service yang menyatakan sebagian dana tersebut diserap oleh Presiden Ethiopia, Mengistu Haile Mariam dan tentaranya, termasuk Front Pembebasan Rakyat Tigrayan. Keduanya membentuk koalisi melawan kelompok junta Derg.

David Rieff dalam artikelnya di The Guardian menjelaskan, faktanya Ethiopia tetap menjadi salah satu negara paling miskin di Afrika, bahkan lebih buruk setelah Live Aid diadakan. Geldof, menurut Rieff, dengan pemikirannya tentang Live Aid (“menciptakan sesuatu yang permanen dan mandiri”) nyatanya tidak membantu Ethiopia dan Afrika bebas dari kemiskinan maupun kelaparan.

Bagi Rieff, kelaparan yang terjadi di Ethiopia saat itu disebabkan karena tiga hal: satu sebab faktor alam dan dua lainnya akibat ulah manusia. Untuk ulah manusia sendiri ialah arus perpindahan manusia akibat peperangan antara pemerintah dan gerilyawan Tigrayan. Faktor manusia lainnya adalah kebijakan kolektivisasi pertanian secara paksa yang terus dicanangkan Haile Mariam. Pendapat Rieff diperkuat dengan argumen pakar Ethiopia, Alex de Waal, yang menjelaskan, bantuan Live Aid justru dimanipulasi oleh pemerintah Haile Mariam dan menyebabkan krisis kelaparan bertambah lama.

Sedangkan Niam Hayes dan Richard Seymour, penulis Corbyn: The Strange Rebirth of Radical Politics (2017) menyebut konser amal yang diinisiasi Geldof dan Bono sebagai mata rantai dari hubungan pascakolonial di mana kapital global "meminggirkan, mendisiplinkan, memberangus, mensegregasi, hingga mengeksploitasi masyarakat Afrika." Konser itu, demikian menurut Seymour dan Hayes, semakin menebalkan anggapan Afrika adalah korban dan Barat penyelamatnya.

Baca juga: Anomali George Soros

Lain Live Aid, lain pula aksi filantropi Bono lainnya melalui ONE Campaign. George Monbiot penulis The Age of Consent: A Manifesto for a New World Order (2003) menjelaskan ONE Campaign terlihat layaknya organisasi yang bekerja atas nama warga miskin.

infografik live aid

Tapi kenyataannya, organisasi ini justru diisi oleh dewan direksi yang sebagian besar adalah jutawan, priyayi korporat, dan pejabat negara. Pada ONE Campaign, publik akan menjumpai orang seperti Condoleezza Rice, Menlu AS era George W. Bush yang gencar mempromosikan perang Irak, memerintahkan agar CIA melakukan penyiksaan, dan mengintimidasi negara-negara lemah untuk tunduk pada kepentingan AS. Ironis ketika sebuah organisasi amal, demikian Monbiot, diisi orang-orang yang gemar menyerukan hal-hal yang bertentangan dengan kemanusiaan.

Seiring waktu, aksi amal menjadi pemandangan jamak di dunia internasional. Tokoh yang kerap melakukan filantropi ialah Bill Gates via Gates Foundation. Pada 2013, Gates menyumbangkan $300 juta kepada WHO untuk program kesehatan. Kendati besar jumlahnya, beberapa pihak menganggap langkah Gates kurang tepat.

Linsey McGoey pengajar sosiologi Universitas Essex menjelaskan, tidak ada keraguan ketika Gates Foundation melakukan perbaikan di bidang kesehatan. Namun dalam berbagai kasus, yayasan ini memilih program vaksin dan pemberantasan penyakit yang sangat ambisius, alih-alih mengambil solusi yang cepat, murah dan tepat guna. McGoey juga mengkritik rekananan Gates yang dilibarkan dalam program-program tersebut, misalnya Goldman Sachs (biang krisis ekonomi di AS pada 2008), Coca-Cola (perusak lingkungan di India), Monsanto (penghancur pertanian tradisional di banyak tempat) hingga konglomerat media Rupert Murdoch.

Ian Birrel, mantan wakil editor The Independent membeberkan fakta lain mengenai kegiatan amal Bill Gates. Meskipun mengaku membayar pajak perorangan, tapi Gates menghasilkan laba raksasadari Microsoft—dan seperti raksasa teknologi lainnya, Microsoft memanfaatkan sistemnya untuk menghindari dari pajak.

Microsoft diketahui memindahkan laba yang mereka peroleh ke negara-negara berpajak rendah seperti Irlandia, Luksemburg, sampai Singapura. Angus Deaton, penulis buku The Great Escape: Health, Wealth, and the Origins of Inequality (2013), menyebutkan bahwa Microsoft telah memperkerjakan kurang dari 2000 karyawan di tiga negara berpajak rendah, dengan laba mencapai $9,4 miliar (tanpa dipotong pajak) di tiga negara yang sama. Di Inggris sendiri, Microsoft diberitakan memperoleh pendapatan £1,7 miliar penjualan online (juga tanpa bayar pajak).

Tidak ilegal tapi "tidak etis", demikian Birrel menggambarkan wajah ganda Yayasan Gates dan Microsoft.

Baca juga artikel terkait FILANTROPI atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf