Menuju konten utama

Candu Uang yang Menyesatkan

Orang-orang yang hidup sangat sejahtera cenderung lebih mudah untuk berbohong, berbuat curang, dan melanggar hukum demi kepuasan pribadinya tanpa ada penyesalan. Pemicunya tak lain karena kecanduan pada uang.

Candu Uang yang Menyesatkan
Irman Gusman ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK beserta barang bukti uang senilai Rp.100 juta. ANTARA FOTO/ Yudhi Mahatma

tirto.id - Irman Gusman terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK setelah menerima suap Rp100 juta. Irman yang baru saja diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu diduga menerima suap terkait pengurusan kuota impor gula.

Suap Rp100 juta itu tentu saja membuat semua orang kebingungan. Irman Gusman adalah Ketua DPD yang juga pengusaha. Hartanya tentu saja berlimpah. Data LHKPN Irman Gusman yang diakses dari situs acch.kpk.go.id menunjukkan total kekayaannya sebesar Rp 31.905.399.714 dan 40.995 dolar AS. Kekayaan ini terdiri dari harta bergerak dan tidak bergerak.

Belum lagi, ia menerima gaji bulanan sejumlah Rp 62,8 juta dan fasilitas lainnya. Bisa dikatakan, suap Rp100 juta itu sangat. Motif di balik suap itu tentu saja baru akan terkuak dalam proses peradilan.

Irman tidak sendiri. Banyak kasus pejabat di negeri ini yang sudah kaya raya dan makmur, nyatanya masih melakukan korupsi. Untuk beberapa orang, harta mungkin tidak pernah mengenal arti cukup. Mengapa demikian?

Sebuah penelitian mengungkapkan, orang-orang kaya yang hidupnya sejahtera cenderung lebih mudah untuk berbohong, berbuat curang, dan melanggar hukum demi kepuasan pribadinya tanpa ada penyesalan. Ketua penelitian ini, Dr. Paul Piff dari University of California, Berkeley, mengatakan, kalau perilaku tak beretika orang-orang dari kelas atas ini adalah bentuk ketamakan yang tujuannya menguntungkan diri sendiri.

Stephane Cote dari University of Toronto Rotman School of Management, yang turut menulis penelitian dengan Piff menyimpulkan, "kami menemukan sebuah tren bahwa individu-orang kelas atas yang memiliki uang banyak, pendapatan berlebih, berpendidikan baik dan punya pekerjaan bergengsi—cenderung lebih sering pula berperilaku tak etis”. Piff mengatakan kalau penyebab utama dari ketamakan itu adalah uang.

Uang nyatanya memang bak jin dalam botol. Ia bisa berubah jadi apa saja yang kita inginkan. Uang bisa membeli barang-barang, status, dan bahkan orang. Memiliki uang dalam jumlah banyak memberikan keuntungan tersendiri. Dr. Tian Dayton, psikolog dan peneliti, menjelaskan dalam esainya untuk The Huffington Post, keuntungan dan kenikmatan yang diberikan uang pada seorang individu bisa menimbulkan candu.

Dalam artikel berjudul “Kecanduan Duit” itu, Dayton mengatakan kalau proses candu yang muncul akibat uang persis seperti candu yang timbul diakibatkan konsumsi napza ataupun alkohol. Bila dua hal itu memanipulasi dopamin—sebuah zat kimiawi di otak yang dalam dosis tertentu bikin kecanduan—secara biologis, maka uang melakukan hal yang sama secara psikologis. Dayton menyamakan candu terhadap uang dengan candu yang diciptakan tabiat tak baik lainnya seperti melihat pornografi, seks berlebihan, dan perjudian. Hal-hal yang dapat menciptakan perasaan senang berlebihan ini, bila dilakukan terus-menerus dalam waktu dekat rupanya juga bisa memanipulasi kadar dopamin di otak. Hingga akhirnya seseorang kecanduan.

Jika orang dengan kecanduan napza akan mengalami penurunan kemampuan mengendalikan hidupnya tanpa obat yang dicanduinya, maka adiksi yang ditimbulkan uang akan membuat seseorang kehilangan kontrol saat berurusan dengan uang itu sendiri. Dayton menjelaskan ciri-ciri kecanduan uang dalam tiga hal. Pertama, saat seseorang terlalu fokus dengan bagaimana cara mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Kedua, terlalu fokus untuk membelanjakannya. Ketiga, di saat bersamaan, selalu mencari cara untuk terus-menerus menimbunnya.

Ciri-ciri kecanduan uang milik itu tampaknya cukup kuat jadi alasan seseorang untuk melakukan penyalahgunaan wewenang hingga korupsi. Ia juga menambahkan, orang dengan kecanduan uang pada akhirnya akan mengutamakan relasinya dengan uang di atas relasi lainnya dengan apa pun. Hal ini pula yang dituliskan Michael Kraus, peneliti dari University of California dalam jurnal Psychological Science. Temuannya mengungkapkan bahwa orang-orang yang hidup sejahtera cenderung lebih tidak peka dalam membaca emosi orang lain, ketimbang mereka yang hidup tak terlalu sejahtera dan tak sejahtera.

Tentu saja tidak semua orang kaya berperilaku demikian. Banyak orang kaya dunia yang bisa melepaskan diri dari rasa kecanduan dan bisa mengontrol nafsu mereka terhadap kekayaan. Mereka akhirnya menjadi filantropi dan menggunakan kekayaannya untuk berbagi. Sebut saja Bill Gates, Mark Zuckerberg, Warren Buffet, ataupun George Soros. Mereka adalah beberapa gelintir contoh orang kaya yang tidak lagi dikontrol oleh uang. Pada akhirnya, semua kembali kepada manusianya, apakah dia yang akan mengendalikan kekayaan, atau dia yang dikendalikan kekayaannya.

Baca juga artikel terkait HUMANIORA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Humaniora
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti