tirto.id - Pelaku bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, Minggu pagi, 13 Mei 2018, disebut polisi pernah pergi ke Suriah. Lima pelaku yang teridentifikasi satu keluarga ini diduga baru pulang ke tanah air.
Dugaan ini muncul setelah Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan keluarga Dita Oepriarto merupakan satu dari 500-an keluarga yang baru pulang dari Suriah. “Yang kembali dari Suriah 500-an, termasuk di antaranya keluarga ini,” kata Tito, hari Ahad kemarin.
Kedatangan keluarga teroris dari Suriah ini diduga masuk ke Indonesia tanpa terawasi pemerintah. Ketiadaan pengawasan ini membuat deteksi terhadap terorisme menjadi lemah.
Hal Ini diakui Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Irfan Idris. Menurut Irfan, pemerintah hanya mengawasi terduga teroris yang masuk ke Indonesia dari Suriah melalui jalur deportasi. Buat WNI yang dideportasi ini pemerintah memberikan pendampingan dan ditampung di Panti Sosial Cipayung.
“Tapi kalau [WNI dari Suriah] pulang sendiri-sendiri tidak diketahui,” kata Irfan saat dihubungi Tirto, Senin (14/5/2018).
Untuk WNI yang masuk dari luar negeri tanpa deportasi, Irfan mengatakan, pihaknya baru mengetahui apabila sudah ada aksi terorisme. Ini seperti yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur.
Kondisi ini menjadi kendala yang dialami pemerintah. “Kalau sendiri-sendiri pulang tidak diketahui. Bagaimana bisa membina, kalau nanti [bom] meledak baru terungkap,” ujar Irfan.
Imigrasi Sulit Mendeteksi
Soal ketiadaan pengawasan terhadap WNI yang masuk kembali lewat jalur non-deportasi, Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Kemenkumham Agung Sampurno sependapat dengan Irfan Idris.
Menurut Agung, ketiadaan pengawasan ini disebabkan tidak ada label imigrasi yang diberikan terhadap WNI dari dan ke Suriah. Ia menyebut, setiap orang yang keluar dan masuk Suriah pasti melintas tanpa izin.
“Kami tidak tahu bahwa dia [WNI] pulang dari Suriah. Karena tidak ada direct flight dari Suriah ke Indonesia [...] Artinya orang Indonesia yang kemudian diduga bergabung di Suriah atau di negara yang konflik itu pasti masuknya tak resmi,” kata Agung kepada Tirto.
Agung menjelaskan dua kemungkinan WNI bisa masuk ke Indonesia dari Suriah. Pertama, mereka menggunakan jalur legal dan tak mengaku sempat berada di Suriah, kemudian menggunakan penerbangan langsung dari negara-negara di Timur Tengah menuju Indonesia.
Kedua, mereka masuk ke Indonesia melalui jalur ilegal. Kemungkinan ini muncul karena masih banyak pelabuhan tak terdaftar di Indonesia.
“Bisa jadi ketika masuk kembali ke Indonesia menggunakan jalur ilegal, tak melalui imigrasi,” ujar Agung.
Agung meyakini kepulangan WNI dari negara mana pun pasti akan terdeteksi di pintu imigrasi tiap bandara. Akan tetapi, sulit bagi Ditjen Imigrasi untuk menentukan siapa saja WNI yang sempat mampir ke Suriah.
Dalam konteks kasus Dita dan keluarga, sejauh ini belum ada klarifikasi apakah mereka masuk ke Indonesia lewat jalur legal atau ilegal.
Meski begitu, imigrasi tetap menolak anggapan bahwa Direktorat Jenderal Imigrasi gagal mengawasi bekas kombatan Suriah. Ia mengklaim pihaknya terus memonitor dan mengawasi WNI yang masuk dan keluar Indonesia lewat jalur resmi. Ia kemudian mengungkit langkah Ditjen Imigrasi terhadap ratusan WNI yang baru pulang dari Suriah lewat jalur deportasi.
“Sejauh ini, pemerintah sudah membina ratusan WNI dari Suriah yang sudah berada di Indonesia,” ucap Agung.
Kritik Terhadap Pemerintah
Klaim pemerintah yang mengaku tak mampu mendeteksi WNI yang masuk lewat jalur non-resmi dikritik pengamat terorisme dari Certified Counter Terrorism Practitioner Board Rakyan Adibrata.
Rakyan mengakui pemerintah memang terkendala dalam pengawasan WNI dari luar negeri yang masuk ke Indonesia. Ini disebabkan banyak celah yang bisa dimanfaatkan WNI dari Suriah untuk pulang secara ilegal.
Alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) ini mengkritik pemerintah yang menurutnya belum menyediakan pengawas untuk WNI dari Suriah dalam jumlah cukup. Rakyan berpendapat jumlah pengawas harus dilipatgandakan, sebab selama ini Indonesia dianggap belum memiliki kemampuan mengawasi secara total WNI dari Suriah yang sudah kembali.
“Jumlahnya [pengawas] harus dilipatgandakan walau berefek secara langsung pada anggaran setiap kementerian. Sekarang bayangkan, jumlah deportan ISIS mencapai 500 orang, apakah Indonesia punya kapabilitas mengawasi 1 orang, 1 tim, selama 7x24 jam?" ujar Rakyan.
Menurutnya, sangat mungkin WNI dari Suriah kembali berpikir bahwa Indonesia ada dalam situasi perang sehingga mereka melakukan teror, meski sudah kembali hidup lama di tanah air. Hal itu bisa terjadi jika pengawasan dari pemerintah tak dilakukan maksimal.
“Itu yang kemudian harus dilakukan, pengawasan menyeluruh kepada mereka tanpa batas waktu. Karena bisa saja dia [WNI dari Suriah] dipulangkan, setahun memilih diam dan tenang, setelah kita anggap orang ini normal baru mereka beraksi.”
Tak hanya itu, Rakyan menyarankan pemerintah bekerja sama dengan negara tetangga untuk mendeteksi jalur masuk dan keluar WNI menuju Suriah. Langkah ini perlu dilakukan mengingat WNI yang diduga menjadi simpatisan ISIS kerap memanfaatkan kedekatan mereka dengan kelompok kriminal terorganisasi (organized crime). Keterkaitan ini disebut dengan istilah crime-terror nexus.
“Selama ada uang, kelompok kriminal atau organized crime bantu kelompok teroris masuk ke sebuah wilayah. Pemerintah wajib bekerjasama dengan negara tetangga, [guna menghindari] apakah ada crime-terror nexus terjadi di wilayah Asia Tenggara,” ujar Rakyan.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih & Maulida Sri Handayani