Menuju konten utama
Misbar

Bom Kesehatan Mental dalam Kembang Api

Kembang Api, yang merupakan film adaptasi dari film Jepang berjudul 3 Feet Ball & Souls karya Yoshio Kato ini, disutradarai oleh Herwin Novianto.

Bom Kesehatan Mental dalam Kembang Api
Film Kembang Api. FOTO/youtube/Falcon_fictures

tirto.id - Mengapa orang ingin membunuh dirinya sendiri? Jawaban atas pertanyaan ini amat bervariasi dan sangat bergantung pada konteks situasi dan kondisi yang mempengaruhi tingkat kesehatan mental manusia terkait.

Kembang Api, sebuah produk adaptasi dari film Jepang berjudul 3 Feet Ball & Souls karya Yoshio Kato, mengeksplorasi dimensi jawaban di atas dalam konsep lingkaran waktu (time loop), yang menjebak karakter-karakternya dalam masa yang sama secara berulang-ulang.

Film yang disutradarai Herwin Novianto ini, mengambil beberapa pendekatan yang berbeda dari film rujukannya. Perbedaan tersebut cukup ampuh merepresentasikan nuansa semesta film maupun pilihan karakterisasi yang hendak dibangun tanpa mengabaikan esensi naratifnya.

Esensi yang dimaksud berupa isu kesehatan mental. Isu yang pasti pernah melanda setiap manusia, namun kerap ditindaklanjuti seumpama aib pembawa sial sehingga pengakuan atas eksistensinya masih terasa setengah hati.

Film Kembang Api

Kembang Api. youtube/Falcon

Letupan Depresi

Fahmi/Langit Mendung (Donny Damara), Raga/Anggrek Hitam (Ringgo Agus Rahman), Sukma/Tengkorak Putih (Marsha Timothy), serta Anggun (Hanggini) adalah fokus utama dalam film ini.

Mereka memilih cara unik guna mengakhiri hidup: meledakkan bola berukuran raksasa berisi ratusan kembang api sampai menutupi langit di atasnya. Sebentuk aksi sensasional yang rasanya mustahil gagal menarik atensi masyarakat sekitar.

Empat orang tersebut membawa kandungan materi beracun bernama depresi dalam dirinya masing-masing. Sifat dasar depresi yang kelam kemudian dibenturkan dengan hakekat kembang api yang ceria. Maka tak heran pada permukaan bola raksasa tersebut terpatri sebuah tulisan singkat, Urip Iku Urup, yang kira-kira bermakna “hidup itu menyala”.

Ironisnya di sini bukan kehidupan mereka yang menyala, melainkan cara mereka mati. Kumpulan kembang api tersebut seakan menjadi manifestasi bagi beban stres serta pengalaman traumatik yang kapan saja siap membuncah tanpa henti.

Kita melihat kegagalan menjalankan tugas meskipun situasi berada di luar kendalinya. Ada pula kehancuran pasca menyaksikan pasien meregang nyawa. Lain lagi dengan perasaan kehilangan buah cinta, termasuk penindasan secara sistematis dan terstruktur terhadap remaja.

Tekanan depresi yang begitu hebat membawa mereka pada klimaks serupa. Letupan-letupan kecil secara psikologis tak lagi tertahankan oleh setiap manusia yang berkumpul. Ketika tombol detonator bola raksasa ditekan, seharusnya depresi itu lenyap tak bersisa.

Saat bola raksasa mulai meledakkan ratusan kembang api di dalamnya, keempat orang ini turut mengalami rasa sakit yang luar biasa. Semasa hidup saja sudah berlumuran stres, menyongsong kematian pun masih harus menanggung kepedihan fisik yang teramat hebat.

Seyogianya keberadaan fana mereka selesai pada momen itu, namun ternyata tidak. Tampaknya semesta berkonspirasi untuk mengintervensi konsekuensi dari perbuatan kolektif mereka yang mengantarkan para tokoh menuju petualangan berikutnya.

INfografik Misbar kembang api

INfografik Misbar kembang api. tirto.id/Ecun

Penjara Eksistensi

Keempat orang ini jelas-jelas melanggar hukum alam tatkala mendapati raga masing-masing kembali ke masa tertentu sebelum mereka menekan tombol detonator bola raksasa itu. Setiap kali salah seorang menekan tombol peledakan pada kesempatan selanjutnya, orang tersebut akan menyimpan memori spesifik tentang apa saja yang sebelumnya terjadi.

Mereka pun mulai bertanya-tanya kenapa hal aneh semacam itu bisa melanda keberadaan mereka satu per satu. “Mau mati saja susah,” ujar Raga/Anggrek Hitam. Segala kemungkinan ditelusuri, termasuk meledakkan bola tanpa Anggun yang masih di bawah umur.

Kenyataannya segala alternatif yang terpikirkan oleh mereka terbukti gagal. Meyakinkan Anggun untuk membatalkan niat bunuh diri, yang dipercayai oleh ketiga orang dewasa lainnya sebagai sumber kutukan, turut menemui jalan buntu.

Pada titik ini, keputusan estetik perihal konstruksi time loop tampaknya dimaksimalkan guna mencapai sebentuk tujuan utama: memberi kesan bahwa Fahmi, Raga, Sukma, dan Anggun memperoleh kesempatan kedua.

Penyebab kemunculan time loop sendiri tak pernah dijelaskan oleh sang sutradara hingga pengujung film.

Mungkin ia sekadar distraksi selevel Macguffin (terminologi sinematik bagi objek yang berperan penting mengakselerasi motivasi karakter atau pengembangan plot cerita tapi sesungguhnya kehadirannya tidak signifikan sama sekali).

Yang jelas keempat protagonis kini terperangkap dalam semacam penjara eksistensial yang menghalangi mereka untuk memasuki fase kematian. Apakah penjara ini menjadi wadah hukuman temporer bagi ketidakmampuan tiap-tiap individu mengatasi masalah mentalnya?

Bagi saya, penjara tersebut memaksa satu sama lain membuka lubang hitam berisi luka personal yang menganga lebar. Mereka wajib mengakui kelemahan, ketidaksiapan, ketakutan, sifat pengecut, sikap merasa paling benar, sampai tindakan mengisolasi diri sendiri.

Pengakuan itu bisa membantu masing-masing orang bertumbuh. Pelan-pelan mereka memperoleh kekuatan untuk menerima situasi secara apa adanya, dan menyadari bahwa cinta kasih dari orang-orang terdekatnya jauh lebih berharga dibanding solusi instan di depan mata.

Lalu apakah mereka berhasil mendapatkan obat mujarab bagi penyakit mentalnya? Mungkin saja tidak pernah ada obat sejenis itu di alam fana. Saya pun tidak melihat presensi material yang menyerupai obat penjamin kestabilan kesehatan mental di layar.

Konklusi film sendiri ditandai oleh keputusan semua individu untuk bangkit dari keterpurukan psikologis, membuka ruang pribadi yang tertutup rapat sejak mengalami peristiwa menohok atau guncangan mental, seraya memantapkan tekad guna melangkah menapaki episode baru kehidupan bersama orang-orang tersayang.

Metode yang dipilih para karakter utama Kembang Api demi berupaya keluar dari penjara eksistensial dimaksud sekarang tampak kontradiktif, bila dibandingkan dengan metode final yang diambil para karakter utama 3 Feet Ball & Souls.

Bila pendahulunya menutup narasi kisah dengan penekanan sentralistik hanya kepada salah satu tokoh, penerusnya memilih jalur yang memperlakukan keempat tokohnya secara egaliter dalam episode lanjutan kehidupan mereka masing-masing.

Jika karya terdahulu menampilkan seluruh tokoh bersepakat untuk tidak pernah bertemu lagi, maka versi reinterpretasi Herwin Novianto dan Alim Sudio selaku penulis, menunjukkan jalinan takdir yang terus bersinggungan dan saling mempengaruhi antar tokoh.

Pemaknaan ulang yang dilakoni juga menyiratkan jawaban yang lebih positif. Digambarkan bahwa setiap individu memperoleh hidup baru yang berpengharapan. Anugerah tersebut hadir ketika seluruh karakter telah mengikhlaskan niat awal yang bernuansa negatif.

Lantas mengapa orang ingin bunuh diri? Rasanya jawaban atas pertanyaan itu tak lagi relevan, sebab bom waktu mengerikan bernama penyakit mental itu sudah memuntahkan amunisinya berulang kali dalam perangkap time loop sepanjang film.

Fahmi, Raga, Sukma, serta Anggun mungkin bisa bernafas lega di semesta mereka. Tapi dalam semesta paralel yang lain, banyak orang tidak memiliki nasib sebaik itu. Mereka tak pernah mendapatkan kesempatan kedua memperjuangkan kesehatan mentalnya, sebab bom waktu serupa keburu mengisi ulang amunisi sebelum meletup membabi buta.

Buat saya, inilah paradoks sempurna Kembang Api. Sesuatu yang sangat identik dengan perayaan kesuksesan maupun momentum sukacita, kini justru mengisyaratkan celaka dan meneriakkan memori kelam tentang kesehatan mental seseorang.

Baca juga artikel terkait MISBAR TIRTO atau tulisan lainnya dari Jonathan Manullang

tirto.id - Film
Kontributor: Jonathan Manullang
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi