tirto.id - Boeing kembali dilanda krisis. Pesawat seri 737 MAX 8 miliknya jatuh di Etiopia hanya dalam kurun waktu enam bulan terakhir dengan rangkaian kejadian serupa yang pernah terjadi di Indonesia pada maskapai Lion Air. Situasi ini membuat publik mulai mempertanyakan turbulensi bisnis Boeing setelah ini.
Boeing 737 MAX 8 milik Ethiopian Airlines jatuh. Kejadian nahas tersebut terjadi tak lama setelah pesawat dengan nomor penerbangan ET-302 lepas landas dari lapangan udara di Addis Ababa pada Minggu (10/3) kemarin.
Mengangkut 149 penumpang dan delapan kru pesawat, ET-302 dijadwalkan terbang dengan rute Etiopia ke Nairobi di Kenya. Pesawat ini baru kembali dari Johannesburg, Afrika Selatan, pada pagi harinya. Menurut laporan BBC, seluruh penumpang dan kru dari pesawat tersebut dipastikan tewas dalam tragedi ini. Kecelakaan terjadi pukul 8.44 waktu setempat di wilayah Bishoftu, hanya enam menit setelah ET-302 lepas landas.
Chief Executive Officer (CEO) Ethiopian Airlines Tewolde GebreMariam menyatakan, pilot melaporkan kesulitan teknis dan meminta izin untuk kembali ke Addis Ababa. Pihak maskapai menambahkan, sang Pilot, Kapten Senior Yared Getachew, memiliki kemampuan yang baik dengan jam terbang lebih dari 8.000 jam di udara. First Officer dari ET-302, Ahmed Nur Mohammad Nur, sementara itu, telah memiliki 200 jam penerbangan.
Pesawat ET-302 ini diterima oleh Ethiopian Airlines pada 15 November 2018. Pada tanggal 4 Februari lalu, maskapai itu mengatakan dalam akun Twitter mereka bahwa pesawat itu telah menjalani pemeriksaan pemeliharaan pertama yang sangat ketat.
“Masih terlalu dini untuk berspekulasi mengenai penyebab dari kecelakaan tersebut dan investigasi lebih lanjut akan dilakukan untuk mencari penyebab dari kecelakaan ini, bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan terkait termasuk pembuat pesawat Boeing, Ethiopian Civil Aviation Authority dan entitas internasional,” jelas GebreMariam.
Serupa dengan Lion?
Terlepas dari penjelasan GebreMariam, dilansir New York Times, sejumlah indikator menunjukkan bahwa jatuhnya pesawat ini serupa dengan tragedi jatuhnya pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT-610 yang menewaskan 189 orang. Sebagai catatan, JT-610 juga merupakan pesawat Boeing seri 737 MAX 8.
Kedua pesawat sama-sama mengalami masalah sesaat setelah lepas landas. Pilot kedua pesawat tersebut juga melaporkan kepada pengendali lalu lintas udara bahwa mereka mengalami masalah teknis. Terakhir, ketinggian kedua pesawat sepertinya secara berulang mengalami naik turun sebelum akhirnya menukik jatuh.
Pada kecelakaan pesawat JT-610 milik Lion Air, masih dari BBC, para penyelidik mengatakan bahwa pilot pesawat tersebut disinyalir mengalami kesulitan dengan sistem pengendalian otomatis anti-stall pada pesawat. Ini merupakan fitur baru dari seri Boeing 737 MAX.
Sistem ini secara terus menerus memaksa hidung pesawat untuk tetap menukik, kendati pilot berusaha untuk membenarkan posisi pesawat. Namun, seperti yang disebutkan oleh GebreMariam, masih terlalu dini untuk memperoleh kesimpulan.
Dalam keterangan resminya, tim teknis Boeing akan diterbangkan ke titik jatuh pesawat untuk memberikan bantuan teknis di bawah arahan Ethiopia Accident Investigation Bureau dan U.S. National Transportation Safety Board.
Nasib Bisnis Boeing
Keterlibatan U.S. National Transportation Safety Board sedikit banyak mengindikasikan betapa pentingnya maskapai ini bagi Amerika Serikat di kala ancaman terhadap bisnis Boeing mulai bermunculan di negara lain pasca jatuhnya ET-302.
Seperti dilaporkan CNN, pejabat penerbangan Cina telah memerintahkan seluruh maskapai di negara tersebut untuk menghentikan penggunaan pesawat Boeing 737 MAX 8 menyusul tragedi tersebut. Alasan keamanan menjadi isu utama bagi Cina seiring dengan prinsip “zero tolerance” mereka terhadap bahaya keamanan penerbangan. Sebagai catatan, sebelumnya, Lion Air pernah mengatakan bahwa akan membatalkan pesanan Boeing 737 MAX setelah jatuhnya pesawat JT-610.
Cina memiliki salah satu armada Boeing 737 MAX 8 terbesar di dunia, di mana sebanyak 97 unit pesawat seri tersebut beroperasi. “Penangguhan di Cina ini sangat signifikan, karena ini adalah pasar utama bagi Boeing,” sebut Greg Waldron, redaktur pelaksana Asia di perusahaan riset penerbangan FlightGlobal.
Buntungnya bagi Boeing, tidak hanya Cina yang melakukan larangan tersebut. Maskapai nasional Cayman Islands, Cayman Airways juga telah mengeluarkan larangan operasi bagi seri pesawat tersebut. Indonesia sendiri juga turut mengeluarkan penangguhan operasi tipe pesawat tersebut yang dipakai oleh Garuda dan Lion Air.
Ethiopian Airlines sendiri merupakan salah satu maskapai ternama di benua Afrika dan memiliki reputasi yang cukup baik terkait masalah keamanan. Masih dari BBC, insiden terakhir yang melibatkan maskapai tersebut terjadi pada 2010, ketika pesawat mereka jatuh di Laut Mediterania.
Masih dari New York Times, para analis bursa saham AS, memprediksikan bahwa saham Boeing akan mengalami jatuh pada pembukaan pasar pada Senin (11/3) waktu setempat. Hal ini terbukti. Mengutip Reuters, dalam perdagangan pre-market, saham Boeing (BA) turun sebesar 10 persen pasca kejadian tersebut. Penurunan ini, jika berlanjut, akan menjadi penurunan terbesar dari harga saham Boeing dalam dua dekade terakhir.
Namun, analis penerbangan dari Teal Group, Richard Aboulafia, memprediksikan bahwa penurunan saham hanya akan terjadi dalam periode waktu yang singkat mengingat performa positif perusahaan dalam beberapa waktu belakangan.
“Saya sudah belajar dari pengalaman pahit untuk tidak melihat harga saham setelah kecelakaan,” sebutnya.
Pada penutupan bursa hari Jumat lalu, valuasi Boeing hampir mencapai US$239 miliar dengan harga saham per lembar di atas $422. Harga saham Boeing telah naik tiga kali lipat sejak pemilu presiden AS tahun 2016. Pada 2018, pendapatan raksasa penerbangan itu mencapai $100 miliar dengan perolehan keuntungan di atas $10 miliar.
Perlu dicatat, seperti dilaporkan Yahoo Finance, Boeing merepresentasikan sekitar 10,9 persen dari indeks pasar Dow Jones Industrial Average. Posisi Boeing ini jauh di atas Apple (4,5 persen) dan Microsoft (2,8 persen). Harga saham Boeing merupakan yang tertinggi pada indeks Dow Jones.
Sejak 8 November 2016, indeks Dow Jones telah bertambah lebih dari 7.000 poin dan naiknya saham Boeing berkontribusi hampir 30 persen dari pencapaian tersebut. Pada 2019 hingga Februari, Boeing telah memberikan kontribusi sebesar 776 poin pada indeks Dow Jones.
Kontribusi ini, sebut co-founder DataTrek, Nicholas Colas, masih dari Yahoo, lebih besar dibandingkan kombinasi Goldman Sachs (225 poin), IBM (177 poin), United Technologies (157 poin) dan Home Depot (133 poin). Lima perusahaan tersebut berkontribusi terhadap 56 persen perolehan year-to-date indeks Dow.
“Ingat: Dow Jones adalah mekanisme transmisi utama antara harga aset keuangan dan persepsi publik terhadap saham dan oleh karena itu [merepresentasikan] ekonomi AS,” sebut Colas. Dilansir CNBC, turunnya harga saham Boeing lebih dari 8 persen akan membuat indeks Dow Jones kehilangan sekitar 250 poin.
Namun, dengan sejumlah penangguhan yang terjadi di beberapa negara. Boeing jelas perlu merasa was-was dengan bisnisnya. Ini karena sebesar 56 persen penjualan Boeing menyasar pasar internasional. Cina, sementara itu, menyumbang sebesar 14 persen dari total penjualan Boeing.
Ketika pesawat Lion Air JT-601 jatuh, saham Boeing sempat jatuh 6,59 persen. Namun hal itu tidak berdampak pada kinerja penjualan dan saham perusahaan kemudian berangsur membaik. Boeing menunda peluncuran seri 777X yang awalnya dijadwalkan pada minggu ini.
Apakah insiden kedua yang menimpa Boeing 737 MAX 8 jadi turbulensi baru bisnis pabrik pesawat ini? Tentu sangat mungkin bila maskapai-maskapai pemesan membatalkan pembelian setelah melihat hasil investigasi yang bisa saja berujung menyudutkan Boeing.
Editor: Suhendra