tirto.id -
Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB Lilik Kurniawan menyampaikan katalog tersebut berisi nama-nama desa rawan bencana berdasarkan jenis bencananya. Saat ini katalog tersebut masih dalam proses layout.
“Secepat mungkin kami sedang me-layout [katalog] itu sekarang. Nanti mungkin biar ada momennya, [dirilis] 26 April itu hari kesiapsiagaan bencana,” ujar Lilik di Kantor BMKG, Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (8/2/2019).
Lilik menjelaskan terdapat tujuh jenis bencana dalam katalog desa rawan bencana tersebut yakni banjir, tsunami, gempa bumi, kekeringan, gunung api, longsor, kebakaran hutan dan lahan, dengan kelas kerawanan sedang sampai tinggi.
Katalog tersebut sudah dikerjakan sejak tahun 2018 bekerjasama dengan InaRisk, yaitu portal informasi dari hasil kajian risiko yang menggambarkan cakupan wilayah ancaman bencana, populasi terdampak, dan potensi kerugian fisik.
“Dari InaRisk itu kami olah, kami ubah tempat-tempat desa-desa mana yang rawan bencana,” ucap Lilik.
Ia mengklaim jika katalog tersebut telah ditunggu-tunggu pemerintah daerah sebagai acuan pembuatan program terkait desa. Oleh karena itu, nantinya katalog tersebut akan disebar ke beberapa desa yang bekerjasama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonsia dan Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Dana desa bisa digunakan untuk memperkuat itu [katalog disebar ke desa]. Nah itu [desa rawan bencana] dia butuh katalog itu untuk menjustifikasi bahwa dana desa bisa digunakan di desa-desa itu [rawan bencana]," kata Lilik.
Direktur Perkumpulan SKALA Rini Tri Nirmala Ningrum pernah menyampaikan kepada Tirto pada Minggu (6/1/2019) bahwa tata ruang di Indonesia amburadul sehingga masyarakat kadang tak tahu potensi bencana pada wilayahnya masing-masing.
Ia memberikan contoh bencana tanah longsor di Sukabumi. Di sana, wilayah permukiman penduduk justru ada di daerah berbukit dengan kemiringan terjal. Akibatnya, ketika hujan deras turun, tanah tak mampu lagi menampung air. Akibatnya 34 rumah di kampung tertimbun longsor.
"Itu yang sebenarnya perlu didiskusikan bersama, di-review lagi tata ruangnya, sehingga kita tahu persis apa potensi bencananya," ujar Rini.
Tata ruang yang amburadul juga terlihat di Palu. Tata ruang Kota Palu, khususnya wilayah Pantai Talise, tidak mengacu pada perspektif antisipasi bencana.
"Di sana [Pantai Talise] itu kan ada potensi tsunami, tapi orang kalau mau evakuasi jadi tegak lurus. Ketutup restoran dan bangunan di sekitarnya, padahal kalau jalannya dibuka, orang bisa langsung lari ke atas," ujar dia.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Agung DH