tirto.id - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita menuturkan krisis air saat ini menjadi ancaman serius untuk seluruh negara di dunia. Dia merinci berdasarkan data World Meteorological Organization (WMO) dikumpulkan dari pengamatan di 193 negara, pihaknya memproyeksikan dalam beberapa tahun ke depan akan terjadi hotspot air atau daerah kekeringan di pelbagai negara.
"Perubahan iklim memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air yang sudah semakin langka dan menghasilkan apa yang dikenal sebagai water hotspot," jelas Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita dikutip Tirto dari keterangan tertulis, Selasa (17/10/2023).
Dia menuturkan, dari data analisis peta global menunjukkan debit rata-rata air sungai pada tahun 2022 yang dikategorikan pada posisi normal hanya 38%. Sementara itu banyak debit air sungai yang keluar menuju laut berada pada level di bawah normal atau jauh di bawah normal yang artinya daerah tersebut mengalami kekeringan.
Dwikorita menuturkan, terdapat daerah di dunia yang memiliki debit air sungai melampaui normal atau surplus sedang terjadi kebanjiran. Kondisi ini merupakan bukti bagaimana perubahan iklim sedang terjadi di seluruh negara dunia dan akan semakin buruk hasilnya jika tidak dilakukan upaya mitigasi bersama.
Dwikorita menjelaskan, saat ini Indonesia belum terdeteksi mengalami hotspot air namun bukan berarti dalam skala lokal kekeringan tidak terjadi. Sebab itu, dia meminta agar dilakukan mitigasi.
Lebih lanjut, dia menilai jika lengah dan gagal memitigasi, diproyeksikan pada 2045-2050 saat Indonesia memasuki masa emas akan terjadi perubahan iklim dan mengalami krisis pangan.
Food and Agriculture Organization (FAO) juga telah memproyeksikan di tahun tersebut krisis pangan akan menimpa hampir seluruh negara di dunia. Tidak main-main, kurang lebih 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80% sumber pangan dunia menjadi pihak yang paling rentan pada perubahan iklim.
"Cuaca ekstrem, iklim ekstrem, dan kejadian terkait air lainnya telah menyebabkan 11.778 kejadian bencana dalam kurun waktu 1970 hingga 2021," ujar Dwikorita.
Sektor Ekonomi Terganggu
Sementara itu, dia menuturkan perubahan iklim di dunia bisa mengganggu seluruh sektor kehidupan terutama perekonomian sebuah negara. Dalam catatan WMO, negara maju bisa mengalami 60% dari kerugian ekonomi terkait cuaca namun umumnya hanya 0,1% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
Kemudian, Dwikorita menuturkan di negara berkembang akan terdampak 7% dari bencana menyebabkan kerugian 5%-30% dari PDB. Paling parah, di negara kepulauan kecil, 20% dari bencana menyebabkan kerugian hingga 5% dari PDB dan di beberapa kasus bisa melebihi 100%.
Data tersebut memperlihatkan bagaimana ketidakberdayaan negara berkembang dan negara kecil kepulauan dalam menghadapi perubahan iklim, krisis air, dan pangan. Sebab itu, dia berharap melalui World Water Forum (WWF) ke-10 yang rencananya akan dilaksanakan di Indonesia pada Mei 2024 mendatang untuk membantu meningkatkan kesetaraan dengan membantu negara miskin tertinggal agar dapat meningkatkan kapasitasnya dan tangguh dalam menyikapi perubahan iklim.
Penulis: Iftinavia Pradinantia
Editor: Intan Umbari Prihatin