Menuju konten utama

Bisnis Vapor Minus Payung Hukum

Bisnis vapor tumbuh karena banyak orang yang beralih dari rokok konvensional ke rokok elektronik. Meski bermunculan usaha kecil menengah yang memproduksi liquid buat vapor, belum ada regulasi yang mengaturnya.

Bisnis Vapor Minus Payung Hukum
Ilustrasi Vape. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Sesuai rasa liquid yang disukai lidah vaporizer Indonesia, bisnis rokok elektronik atau vapor juga terasa sedap. Bisnis ini makin menggeliat seiring banyaknya orang yang beralih dari rokok konvensional ke rokok elektronik. Kepak sayap bisnis ini bahkan mulai sampai ke luar negeri.

Vapor menjadi potensi pendapatan baru bagi negara, utamanya di sektor Usaha Kecil Menengah (UKM). Apalagi konon, liquid Indonesia justru banyak disuka lantaran cita rasanya yang disebut “gurih-gurih nyoy” oleh para vaporizer.

Vapor atau rokok elektronik, berawal dari generasi pertamanya yang diperkenalkan pertama kali oleh SBT Co Ltd Cina, sejak 10 tahun silam. Lantaran laku keras, setahun berselang, Ruyan mengambil alih dan mengembangkan teknologinya.

Perusahaan SBT Co Ltd berubah nama menjadi SBT Ruyan Technology & Development Co Ltd. Pada tahun 2004, penjualannya masih bernilai HK$13 juta atau sekitar Rp18,7 miliar. Nilainya melonjak menjadi HK$136 juta pada 2005 dan HK$286 juta pada 2006.

Geliat bisnis vapor di dunia kemudian menjalar ke Indonesia. Sempat naik turun, bisnis ini mulai menggeliat lagi di 2016. Sayangnya, geliat bisnis ini terjadi tanpa adanya payung hukum yang jelas. Hal itu diungkap oleh Andhika Findhiandana, salah seorang produsen liquid lokal bernama LADAS yang sudah tak asing di telinga para pecinta vapor.

“Padahal ini bisa jadi sumber pendapatan baru bagi pemerintah. Konsumen banyak suka rasa yang begitu, gurih-gurih nyoy,” katanya kepada tirto.id, Kamis (29/9/2016).

Penggemarnya terus bertambah. Namun, bisnis ini tak meluncur dengan mulus karena banyak yang memandang negatif. Misalnya yang dilontarkan Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang menyatakan vapor tidak dibebani cukai seperti pada rokok konvensional lainnya, sehingga merugikan negara.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang sudah mengendus peredaran vapor pada tahun 2009, juga mengaku telah mengirimkan surat pada Kementerian Kesehatan (Kemenkes). BPOM meminta agar Kemenkes membuat peraturan yang jelas terhadap industri ini, berdasar rekomendasi dampak kesehatan dari WHO.

Kementerian Perdagangan bahkan sebenarnya juga sudah pernah menyatakan akan membuat aturan pelarangan bagi rokok elektrik. Aturan tersebut akan menghentikan peredaran dan impor rokok elektrik karena dianggap berbahaya bagi kesehatan.

Perlu Dukungan Regulasi

Atas berbagai reaksi miring terhadap vapor, Andhika membeberkan sederet argumen yang menguatkan mengapa vapor justru harus memiliki payung hukum yang jelas, bukan malah dilarang peredarannya.

Menurutnya, rokok elektrik adalah industri yang bernilai tinggi di seluruh dunia dan terbukti memberikan banyak lapangan pekerjaan baru. Banyak produsen liquid yang tergolong UKM berasal dari dalam negeri, sehingga dapat meningkatkan perekonomian dalam negeri. Dengan dukungan pemerintah, maka industri rokok elektrik mempunyai potensi yang sangat besar untuk maju dan memberikan lapangan pekerjaan bagi banyak orang.

“Pertanyaan saya cuma satu, kenapa kita selalu dicekal? Padahal ini bisnis yang menjanjikan. Kalau diperjuangkan bisa menjadi industri yang besar,” katanya.

LADAS yang sudah berhasil di pasar Indonesia, bahkan kini sudah merencanakan ekspor ke Manila pada akhir tahun ini. LADAS bukan yang pertama karena sudah banyak liquid produksi dalam negeri yang sudah go international ke Malaysia, Jepang, bahkan Cina. Semuanya adalah home industry yang jumlahnya mencapai ratusan. Tapi lagi-lagi, usaha home industry anak bangsa ini tersandung regulasi yang membuat ruang lingkup bisnis vapor menjadi terbatas.

“Kami ini tidak masalah kalaupun mau dipukul rata dengan rokok (konvensional), ya silahkan. Kalaupun mau diadopsi dari regulasi rokok, ya kita mengikuti karena ini identik. Hampir sama dengan rokok walaupun kandungannya berbeda,” kata Andhika.

Hal senada diungkap Raynado Siagian, Ketua Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), yang menyatakan bahwa APVI sudah memperjuangkan agar vapor memiliki payung hukum yang jelas. Namun, sampai saat ini belum ada penetapan cukainya oleh pemerintah. Padahal keberadaan cukai justru menjadi harapan dari para anggota APVI.

“Kita juga sudah berusaha mengirimkan surat ke pemerintah terkait produk ini (vapor-red) tahun lalu. Tapi belum ada jawaban dari pihak terkait,” paparnya kepada tirto.id, di kantor Jakarta Vapor Shop (JVS), Fatmawati, Selasa (27/9/2016).

Baik Andhika maupun Raynando dan vaporizer lainnya, tidak masalah apabila vapor dikenakan cukai seperti rokok konvensional, asalkan regulasinya jelas.

Baca juga artikel terkait ROKOK ELEKTRONIK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Hukum
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho