Menuju konten utama

Bisnis Pembiayaan Pesat Saat Pasar Mobil dan Motor Melambat

Pasar otomotif yang sedang lesu berlawanan dengan capaian kinerja keuangan para perusahaan pembiayaan.

Bisnis Pembiayaan Pesat Saat Pasar Mobil dan Motor Melambat
penawaran kredit motor dengan dp ringan. tirto/tf subarkah

tirto.id - Pasar otomotif mengalami kelesuan beberapa tahun terakhir, tak kecuali tahun ini. Pada 2016, penjualan mobil hanya tumbuh 5 persen atau 1,1 juta unit. Penjualan motor malah turun 8 persen, terjual hanya 5,9 juta unit.

Tren yang sama juga terulang lagi pada 2017. Selama Januari-Agustus, penjualan mobil mencapai 716.461 unit, hanya tumbuh 4 persen dari periode yang sama tahun lalu. Sementara penjualan motor turun 0,05 persen mencapai 3,79 juta unit. Teorinya, sektor pembiayaan jadi bisnis yang paling kena imbas stagnasi di pasar otomotif karena sektor kendaraan jadi lahan utama pasar pembiayaan atau multifinance.

Baca juga: Membaca Saham Otomotif dari Naik Turun Jualan Motor-Mobil

Namun, sektor pembiayaan mengalami pertumbuhan yang cukup baik. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total nilai piutang pembiayaan mencapai Rp400,24 triliun sepanjang 2016, tumbuh 5,5 persen dari realisasi 2015. Piutang pembiayaan per September 2017 mencapai Rp410,84 triliun, naik 8,6 persen dari periode yang sama tahun lalu.

Nilai total pembiayaan yang melaju, berdampak positif bagi kinerja keuangan perusahaan pembiayaan yang melantai di bursa. Dari 14 emiten yang dipantau, sekitar 12 emiten meraup kenaikan laba bersih hingga dua digit atau rata-rata 44 persen pada kuartal III-2017.

PT First Indo American Leasing (FINN) menjadi emiten multifinance dengan kenaikan laba bersih tertinggi, yakni tumbuh 116 persen atau meraup laba bersih sebesar Rp13,03 miliar dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp6,04 miliar.

Laba yang meroket juga dicapai oleh emiten-emiten multifinance dengan pendapatan di atas Rp1 triliun, seperti PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk. (ADMF), PT Indomobil Multi Jasa Tbk. (IMJS), PT Mandala Multifinance Tbk. (MFIN), PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk. (WOMF) dan PT BFI Finance Indonesia Tbk. (BFIN).

Untuk Adira, kenaikan laba bersih ditopang dari pertumbuhan pembiayaan kendaraan bermotor, seperti pembiayaan motor sebesar Rp3,35 triliun, naik 7,71 persen. Sementara pembiayaan mobil tercatat Rp1,68 triliun, tumbuh 17 persen.

Selain kenaikan pembiayaan dari kendaraan bermotor, kinerjalaba bersih Adira juga ditopang dari beban usaha yang hanya tumbuh tipis, yakni 2 persen menjadi Rp5,11 triliun. Alhasil, laba bersih yang berhasil diraup sebesar Rp1,09 triliun, naik 21 persen.

Pertumbuhan laba bersih yang signifikan juga dialami BFI. Perseroan mencetak pendapatan Rp2,91 triliun, tumbuh 24 persen. Capaian didorong dari pendapatan sewa pembiayaan yang melompat 37 persen menjadi Rp1,67 triliun. Laba bersih BFI mencapai Rp842 miliar, naik 52 persen.

Sementara itu, Wahana Ottomitra juga mencatatkan hasil yang apik. Emiten yang mayoritas sahamnya dimiliki Bank Maybank Indonesia ini meraup pendapatan sebesar Rp1,55 triliun, naik 9,3 persen.

Walaupun pendapatan tumbuh satu digit, laba bersih perseroan justru meroket hingga 72 persen menjadi Rp101,11 miliar. Kenaikan laba bersih hingga dua digit tersebut disebabkan beban usaha yang tumbuh tipis sebesar 5,43 persen menjadi Rp1,41 triliun.

Laba bersih yang tumbuh juga dirasakan Mandala. Namun, tidak seperti emiten multifinance lainnya, pendapatan Mandala tergerus hingga 8 persen, sehingga membukukan pendapatan sebesar Rp1,03 triliun. Beruntung, beban usaha perseroan turun lebih tinggi ketimbang pendapatan, yakni mencapai 15 persen atau senilai Rp745,56 miliar. Dari capaian tersebut, Mandala berhasil meraup laba bersih Rp219,21 miliar, naik 18 persen.

Untuk PT Indomobil Multi Jasa (IMJS), kinerja laba bersih perseroan tidak sekinclong emiten lainnya. Laba bersih perseroan yang mayoritas dipegang PT Indomobil Sukses Internasional Tbk. (IMAS) ini hanya tumbuh 0,43 persen atau meraup Rp104,63 miliar.

Pendapatan yang berhasil dibukukan IMJS cukup baik, tumbuh 12,26 persen menjadi Rp1,98 triliun. Hanya saja, pendapatan perseroan tertekan beban usaha yang cukup tinggi, termasuk juga dari beban keuangan.

Radana Bhaskara menjadi satu-satunya emiten multifinance yang mencatatkan kinerja yang negatif. Emiten yang berkantor di Cengkareng, Jakarta Barat itu hanya meraup laba bersih sekitar Rp2,98 miliar, atau turun 90 persen. Anjloknya raihan laba bersih disebabkan pendapatan yang hanya tumbuh tipis sebesar 0,54 persen menjadi Rp624,5 miliar. Di sisi lain, beban usaha malah tumbuh 5,75 persen menjadi Rp620,6 miliar.

Baca juga:Kredit Macet Akibat TawaranLeasing yang Bombastis

infografik laba emiten

Tak Hanya Motor dan Mobil

Kinerja yang kinclong dari emiten-emiten multifinance tidak terlepas dari adanya diversifikasi pembiayaan yang dilakukan. Selama ini, perusahaan-perusahaan multifinance masih bergantung dari pembiayaan kepemilikan kendaraan bermotor, roda dua atau roda empat. Selain itu, ada pembiayaan dari multiguna dan produk-produk lain seperti elektronika dan furnitur. Bahkan perusahaan seperti Bussan Auto Finance (BAF) menyediakan pembiayaan untuk mesin pertanian.

“Saya lihat ada kenaikan dari pembiayaan-pembiayaan di luar multiguna, seperti modal kerja dan investasi. Tapi, dari kepemilikan kendaraan juga masih lumayan,” kata Suwandi Wiratno, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) kepada Tirto.

Penilaian Suwandi bisa jadi benar, karena berdasarkan catatan OJK per September 2017, pembiayaan modal kerja dari multifinance menunjukkan kenaikan hingga 34 persen atau sebesar Rp24,62 triliun dari September 2016.

Kenaikan pembiayaan investasi agak tipis, yakni hanya sekitar 2 persen menjadi Rp114,93 triliun. pembiayaan syariah mencapai Rp32,11 triliun, naik 19 persen. Adapun, pembiayaan multiguna tumbuh 9 persen menjadi Rp237,93 triliun.

Selain diversifikasi, biaya dana yang rendah juga turut mendompleng raihan laba bersih emiten multifinance. Bank Indonesia telah memangkas bunga acuan hingga 8 kali mulai dari Januari 2016 hingga sekarang. Pada Januari 2016, BI rate tercatat 7,25 persen. Hingga akhir 2016, BI rate terpantau 4,75 persen. Pada 2017, BI rate juga dipangkas menjadi 4,5 persen pada Agustus, kemudian turun lagi menjadi 4,25 persen pada September.

“Namun, tidak semua multifinance yang biaya dananya ikut turun. Kadang-kadang ada yang naik juga. Jadi memang untuk biaya dana tidak bisa bicara industri, tapi masing-masing perusahaan,” kata Suwandi.

Sekadar contoh, rata-rata suku bunga pinjaman yang diterima Adira dari perbankan per September 2017 sekitar 8,07 persen turun 79 basis poin dari rata-rata suku bunga per Desember 2017 sebesar 8,86 persen.

Penurunan suku bunga pinjaman bank juga terjadi di Wahana Ottomitra. Kisaran suku bunga kontraktual tahunan per September 2017 dari 8 persen hingga-12,25 persen, lebih rendah dari kisaran per Desember 2016 sekitar 8,75-12,50 persen.

Baca juga:Cara Mudah Bisa Punya Mobil Baru

Sementara itu, CEO Astra Credit Companies (ACC) Jodjana Jody menilai suku bunga acuan memang membuat biaya dana perusahaan multifinance menjadi turun. Namun, dampaknya tidak signifikan.

“Kenaikan laba bersih memang terpengaruh juga dari biaya dana, tapi itu kecil sekali. Lebih banyak disebabkan kenaikan aset. Biaya dana yang turun mungkin baru terasa efeknya pada tahun depan,” tuturnya.

Melihat capaian emiten multifinance itu, bukan tidak mungkin kinerja positif akan berlanjut hingga akhir 2017. Diversifikasi pembiayaan dan efisiensi dari berbagai lini menjadi kunci keberlanjutan kinerja perusahaan pembiayaan di tengah pasar otomotif yang belum terlalu pulih.

Baca juga artikel terkait KREDIT atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra