tirto.id - Terlepas dari segala macam kandungan seksisnya, ada tebakan ganda era kiwari yang bisa bikin kamu meringis.
"Apa yang lebih menakutkan ketimbang tentara?"
"Ibu-ibu naik matic yang lampu sein ke kanan tapi beloknya ke kiri."
"Apa yang lebih menakutkan ketimbang ibu-ibu naik matic dengan lampu sein kanan tapi belok kiri?"
"Ibu-ibu yang kehilangan tupperware-nya."
Ketika Rindang Nirmala saya beri tebakan itu, dia tertawa keras dengan mengangguk tanda persetujuan. Ibu rumah tangga yang bermukim di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat ini suatu hari pernah membawakan bekal dalam wadah Tupperware untuk suaminya Apes, sang suami lupa membawa pulang kotak bekalnya.
"Aku bilang ke suamiku, kalau sampai hilang harus ganti rugi," kata Rindang sembari ngakak.
Untung saja kotak makan yang tertinggal itu diselamatkan oleh penjaga kantor. Sejak saat itu, sang suami tidak pernah mau dibawakan bekal dalam kotak Tupperware lagi. Sekali lagi, ibu-ibu paling menakutkan adalah mereka yang kehilangan tupperware-nya. Apalagi, kata Rindang, kalau ditambahi pelototan.
"Segitu sayangnya ibu-ibu sama tupperware, sampai rela berantem sama suami," ujar Rindang.
Rasa sayang semacam ini tentu tidak datang dengan sendirinya. Tupperware dikenal sebagai produk plastik berkualitas prima, tahan lama. Namun sedikit memodifikasi kata filsuf Benjamin "Ben" Parker: With great quality, comes great price. Kualitas bagus biasanya datang berbarengan dengan harga mahal. Tupperware memang dibanderol lebih mahal ketimbang peralatan plastik lain. Maka wajar kalau banyak orang sangat menjaga produk Tupperware miliknya.
Bisnis Bernilai Triliunan
Tupperware dinamakan dari pembuatnya, Earl Silas Tupper. Pada 1946, dia menciptakan sekaligus mematenkan teknologi burping seal, alias segel kedap air dan udara. Jika makanan mengandung cairan, ia tak akan tumpah keluar. Kemudian Earl memproduksi produk lain, mulai dari teflon, wok, kotak kudapan, botol minum, pembuat sushi gulung, pisau, hingga pencacah sayur.
Tupper memang sebelumnya bekerja sebagai ahli kimia di DuPont, perusahaan kimia besar yang saat itu juga memproduksi peralatan untuk perang dari plastik. Saat itu nyaris tak ada orang yang memikirkan kotak makan dari plastik. Earl melakukan eksperimen dengan menggunakan polyethylene—saat itu belum umum bersinggungan dengan makanan—yang dilapisi dengan bahan anti bocor dan kedap udara.
Namun yang berjasa besar membesarkan Tupperware adalah Brownie Wise, perempuan yang saat itu tinggal di Kissimmee, sebuah kota kecil di Florida. Brownie, janda beranak satu, mulai menjadi penjual Tupperware untuk membuat dapur tetap mengebul.
Maka idenya adalah membuat pesta Tupperware. Semacam kongkow para ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya. Kudapan dan minuman disiapkan. Di sana, Brownie akan mulai menjual Tupperware seraya berpromosi. Setiap konsumen yang ingin mendapatkan potongan harga, bisa menjadi bawahan Brownie. Mereka akan mendapatkan potongan harga khusus. Ditambah, mereka bisa mendapat laba yang lumayan.
Di era 1950-an, hanya berselang 5 tahun seusai Perang Dunia II, perempuan di Amerika Serikat memang didorong untuk kembali mengurusi pekerjaan domestik. Lapangan pekerjaan yang tersedia untuk perempuan amat terbatas. Dengan segala iming-iming serta kemudahan kerja dari rumah, banyak ibu di Kissimmee, yang ingin uang tapi tak dibolehkan kerja, tertarik menjual produk Tupperware.
Alison Clarke, dosen pengajar Sejarah dan Teori Desain di Universitas Seni Terapan Wina dan penulis buku Tupperware: The Promise of Plastic in 1950s America, mengatakan apa yang dilakukan oleh Brownie adalah alternatif pemberdayaan perempuan di era 50-an. Model yang ditawarkan oleh Brownie mengutamakan kerja sama, bukan kompetisi ketat dan kejam.
"Jaringan di pesta Tupperware adalah tentang perempuan membantu perempuan lain dan memberdayakan mereka," ujar Alison pada BBC. "Ini adalah antitesis dari budaya perusahaan yang dijalankan oleh lelaki."
Dengan model pesta dan kongkow, penjualan Brownie melesat tajam. Pada 1948, ia berhasil menjual produk senilai $1.500 per minggu. Earl pun terkesan, dan menjadikan Brownie sebagai Wakil Direktur Bidang Pemasaran pada 1951. Tupperware berkembang lebih besar. Di 1954, Brownie menjadi perempuan pertama yang menjadi sampul muka majalah Business Week.
Pada 1958, Tupperware dibeli oleh Rexall, sebuah perusahaan obat-obatan dan suplemen kesehatan. Ini berakhir tragis, karena Brownie dipecat. Ada yang bilang pemecatan ini perkara perselisihan pendapat antara Earl dan Brownie. Namun Charles McBurney, salah satu staff Tupperware mengatakan bahwa pemecatan itu dilakukan karena Earl ingin menjual perusahaan, "dan dia merasa tak akan bisa menjual Tupperware yang punya pejabat seorang perempuan berpengaruh dalam perusahaan."
Pada 1960-an, Tupperware mulai masuk ke Inggris. Lalu menyebar ke seluruh dunia. Saat ini Tupperware bukan lagi bisnis kecil yang dimulai dari eksperimen kecil pula. Ia sudah menjelma jadi bisnis raksasa. Produk Tupperware dijual di lebih dari 100 negara.
Pada 2016, pendapatan Tupperware mencapai 2,2 miliar dolar. Jumlah pegawainya mencapai 13 ribu orang. Tapi tulang punggungnya tetap para penjual lepas yang menekuni sistem buatan Brownie Wise. Salah satunya adalah Indah Suryaningsih.
Perempuan yang tinggal di Bekasi ini pertama kali tahu Tupperware pada 2011. Saat itu ia ditawari produk Tupperware oleh kawan. Ia tertarik, tapi tahu kalau harganya mahal. Agar bisa dapat harga lebih murah, ia mendaftar jadi anggota.
"Kalau jadi anggota dapat diskon 30 persen," kata Indah. "Awalnya sih buat pemakaian sendiri saja, buat kotak bekal anak-anakku."
Dari sana, ia mulai mencoba jual. Ia juga rutin menawarkan kawannya untuk jadi anggota. Sekarang perempuan yang pernah berbisnis baju online ini sudah menjadi manajer dalam grup Tupperware bernama Intan Perdana, yang beranggotakan banyak manajer.
Tupperware memang memakai sistem pemasaran level berjenjang (multi-level). Namun sejak sistem itu dan skema piramida mendapat citra buruk, Tupperware mengubah citranya. Menurut William Keep, ahli skema piramida dan pengajar di sekolah bisnis The College of New Jersey, Tupperware membuat citra baru sebagai perusahaan jejaring sosial.
"Melalui cara ini, perusahaan-perusahaan yang melakukan rebranding, melakukan usaha untuk membedakan diri dengan stigma negatif MLM dan skema piramida," ujar William.
Dalam situs Tupperware Indonesia, ada 6 jenjang karir di Tupperware. Pertama adalah Consultant (C), lalu Team Captain (TC), kemudian Manager atau (M). Kemudian ada Group Manager (GM), Authorized Group Manager (AGM), dan puncaknya adalah Distributor (D). Tiap jenjang memiliki target penjualan.
Jadi pendapatan seorang manajer tidak melulu tergantung dari penjualan langsung, melainkan juga dari penjualan anak buah. Target minimal penjualan Indah adalah Rp12 juta per bulan. Tapi tentu saja Indah dan anak buahnya ingin menjual sebanyak-banyaknya karena manajer mendapat komisi dari tiap penjualan anak buahnya. Untuk manajer sekelas Indah, komisinya sebesar 3 persen tiap total penjualan.
"Anak buahku dapat untung dari selisih potongan 30 persen itu," kata Indah yang sekarang punya sekitar 25 anak buah. "Jadi semakin banyak rekrutan, belanja semakin banyak, semua juga dapat untung," kata Indah yang bisa meraih pendapatan sekitar Rp5 juta per bulan.
Perempuan memang menjadi tulang punggung Tupperware. Dalam wawancara bersama Forbes pada 2011, CEO Rick Going mengatakan 99 persen tenaga penjualan Tupperware adalah perempuan, begitu pula pembelinya. Indonesia menjadi tempat pemasaran yang empuk. Di Indonesia, banyak perempuan yang tak berkesempatan berkarir di luar rumah, terutama di luar kota besar. Mereka, ujar Rick, bisa mendapatkan penghasilan dari menjual Tupperware.
"Perempuan di negara berkembang tak banyak memiliki kesempatan berkarir, entah tak ada kesempatan atau dia tak mendapat pekerjaan layak. Kami menyediakan kesempatan untuk memulai bisnis sendiri," kata Rick.
Rick tak asal kecap. Saat ini ada sekitar 250.000 orang penjual Tupperware di Indonesia. Bukti bahwa banyak yang tertarik dengan model bisnis ini. Penjualan mereka mencapai lebih dari 200 juta dolar pada 2014. Hingga sekarang, Indonesia menjadi negara dengan penjualan Tupperware terbesar di dunia, bersama dengan Brasil (yang penjualannya tumbuh 32 persen pada 2016) dan Cina (tumbuh 31 persen).
Tentu hambatannya banyak. Rindang, misalkan. Ia pernah melakoni pekerjaan sebagai penjual Tupperware selama 3 tahun. Ibu 3 orang anak perempuan ini melakoninya saat tinggal di Denpasar, Bali. Namun saat anak makin besar, kebutuhan makin banyak dan pengeluaran pun membengkak. Padahal, ujar Rindang, untuk naik level perlu modal untuk stok barang. Belum lagi banyak pembelinya membayar dengan cara mencicil.
"Akhirnya ditinggal dulu deh. Apalagi pasar penjualan di Lombok belum sebesar di Denpasar," ujarnya.
Pekerjaan rumah Tupperware tentu adalah mempopulerkan produknya di kota-kota kecil. Produk mereka harus bersaing dengan produk lain yang harganya lebih murah. Apalagi sudah banjir produk Tupperware palsu di pasaran.
Di saat seperti itu, kongkow ala Brownie tentu masih diperlukan untuk menjual produk Tupperware.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani