tirto.id - Bagi perusahaan pemula, menyewa kantor berukuran besar tentu saja akan terasa mahal. Dengan keuntungan yang belum pasti, maka menyewa kantor dengan biaya operasional yang tinggi, sudah pasti bukan menjadi pilihan utama. Inilah yang kemudian melatarbelakangi munculnya bisnis ruang kerja bersama atau coworking space.
Awalnya, bisnis ini mendapatkan respons yang cukup besar, terutama untuk para pebisnis rintisan atau start-up. Dengan ruang kerja yang efisien, fasilitas lengkap, dan biaya sewa yang relatif murah, coworking space merupakan sebuah alternatif yang sangat menguntungkan. Pada awalnya, peminatnya cukup besar, sehingga melahirkan banyak pebisnis coworking space.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, bisnis ini meredup. Apa yang diangan-angankan para pebisnis ini ternyata tak terealisasi. Satu demi satu gulung tikar, salah satunya adalah Comma (Collaboration Matters). Perintis bisnis co-working space di Indonesia itu sudah tidak sanggup lagi menjalankan bisnisnya setelah sekian lama merugi. Comma yang didirikan pada November 2012, akhirnya tutup pada Maret 2016.
Dalam perjalanan bisnis coworking space, Comma merupakan penanda dalam sejarah. Comma menjadi coworking space pertama yang ada di Jakarta, sekaligus mengawali semangat untuk berkolaborasi para start up. Setelah Comma hadir lalu menyita perhatian para start up, freelancer dan self employe, banyak coworking space tumbuh di ibukota.
Sayangnya, Comma tidak bisa bertahan lama di bisnis ini. Para pendiri Comma, Ario Pratomo, Michael R. Tampi, Rene Suhardono, Yoris Sebastian, Dondi Hananto dan Dodong Cahyono memutuskan mengucapkan selamat tinggal.
Tutupnya Comma tentu mengejutkan dan sekaligus membuat orang penasaran. Mengapa Comma tutup? Apakah memang coworking space tidak laku di Indonesia?
Pertanyaan itu dijawab oleh Aryo Ariotedjo, pendiri Freeware Spaces, coworking space yang beralamat di jalan Bangka XII, Kemang. Aryo mengakui jika memang bisnis yang digelutinya itu tidak semenggiurkan yang dibayangkan.
“Sejak awal saya sudah tahu, ini nggak akan bisa untung banyak. Paling cuma cukup menutup operasional,” kata Aryo saat ditemui tirto.id, di Freeware Spaces, Senin (21/11/2016).
Kesadaran itulah yang membuat Aryo membangun coworking space tidak semata-mata untuk meraup laba. Dia lebih mengutamakan membangun komunitas start up yang produktif dengan coworking space.
”Jadi kita memang bukan memposisikan orang ke sini karena kantor bagus, tapi karena lingkungannya komunitas enterpreneur-nya di sini. Jadi mereka ke sini itu untuk membangun sesuatu. Kita juga nggak sembarang terima start up. Kita akan tanya, kalian bikin apa? Kami mengharuskan orang ke sini untuk kerja, bukan main-main,” tegas Aryo.
Lalu mengapa Aryo mau mengeluarkan tenaga untuk mengurusi bisnis minim profit itu? Rahasianya ada pada perusahaan Venture Capital yang juga dirintisnya saat tinggal di New York. Perusahaan itu bernama Grupara Inc.
“Coworking space ini untuk menopang modal ventura, itu yang jadi main bisnis kami. Jadi kalau mau jujur, orang mau make money dari coworking itu susah. Kalau bisa pun itu sulit sekali,” ujar Aryo.
Hal senada disampaikan Erwin Soerjadi, cofounder Cre8, coworking space yang bermarkas di Cilandak, Jakarta Selatan. Sejak awal membangun Cre8 pada Agustus 2016, Erwin juga menyadari bisnis ini bukan bisnis yang gampang meraup untung. Sehingga jika ada banyak coworking space yang akhirnya bangkrut, dia pun memakluminya.
“Kalau kita mengandalkan sewa ruangan, itu nggak bakal berhasil. Bisa berhasil, tapi marginnya nggak tahu berapa,” kata Erwin.
Sama seperti Aryo, Erwin juga menyiapkan Cre8 bukan sekadar tempat berkantor, tapi juga untuk mencari bibir start up potensial yang bisa dibiayai oleh perusahaan Capital Venture yang ada di belakang Cre8. “Kita buka saja, memang arah kita juga ke sana, untuk Capital Venture,” tutur Erwin.
Penyebab Tak Dilirik
Salah satu yang membuat coworking space belum banyak dilirik oleh para start up, lantaran biaya yang tidak ramah di kantong. Para start up pemula yang belum memiliki modal, bakal merasa berat jika harus mengeluarkan uang untuk menyewa satu kursi dan meja.
Misalnya di Freeware Space, untuk paket Warrior, di mana orang hanya bisa menggunakan tempat sebanyak 3 kali, dihargai Rp500 ribu per bulan. Sedangkan untuk share desk dihargai Rp1,2 juta dan private office space dihargai Rp8,5 juta.
Begitu juga di Cre8, untuk 30 jam coworking dikenai biaya Rp480 ribu. Untuk paket unlimited dikenakan biaya Rp2,2 juta. Sementara di beberapa tempat lain harganya bervariasi. Ada yang mematok harga Rp50 ribu per jam, ada juga yang Rp200 ribu per hari.
Di Freeware Spaces sendiri, saat ini ada 14 perusahaan yang berkantor di sana. Sementara di Cre8, baru ada 10 perusahaan. Jumlah tersebut masih lebih sedikit dari kapasitas ruang yang mereka miliki.
Aryo mengakui jika biayanya memang relatif lebih mahal dibandingkan dengan menyewa rumah toko untuk kantor. Apalagi di Jakarta, pengeluaran untuk membuat coworking space sangat mahal, sehingga biaya yang dibebankan kepada member juga mahal.
“Kalau di New York, dulu saya juga di coworking space, jadinya murah, karena kalau sewa sendiri mahal banget. Kalau di sini masih ada ruko. Di sana nggak ada. Jadi memang ini tantangannya,” jelas Aryo.
Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Hari Santoso Sungkari mengatakan, biaya coworking space yang terlalu mahal memang menjadi masalah bagi para start up pemula. Pada saat iklim start up yang belum kuat di Indonesia, dipastikan para pebisnis coworking akan gulung tikar jika hanya mengandalkan sewa tempat.
“Tidak bisa kalau hanya mengandalkan tempat saja. Mereka juga harus membuat kegiatan yang mendatangkan benefit bagi start up. Dengan begitu mereka mau untuk datang,” ungkap Hari.
Kondisi semakin diperparah dengan para pelaku start-up di Indonesia yang sebenarnya belum siap untuk berwirausaha. Menurut Hari, hampir semua start up di Indonesia memiliki masalah yang sama, yakni soal kesiapan menjalankan bisnis.
“Saya memperkirakan, start-up yang berhasil itu kurang dari 10 persen dari 2.000 start up menurut data Tech in Asia. Mereka itu masalahnya sama, belum tahu apa itu berwirausaha. Selain itu, produk yang mereka bikin kebanyakan bukan produk yang diinginkan pasar,” ungkapnya.
Bukan Bisnis Properti
Meski demikian Hari menganggap, coworking space adalah tempat yang dibutuhkan untuk para start-up. Sebab di sana mereka bisa bertemu dengan komunitas yang bisa membuat mereka berkembang. Oleh sebab itu, Bekraf pada awal tahun 2016 menggandeng Telkom untuk membuat coworking space di daerah-daerah. Program itu diberi nama BEK-Up (Bekraf for Pre Start Up).
Sudah ada sebelas kota yang mempunyai tempat yang dirintis, yakni di Medan, Tangerang, Depok, Bekasi, Bandung, Yogyakarta, Solo, Malang, Surabaya, Makassar dan Balikpapan. Di sana, para pre start up yang terdaftar di Bekraf mendapatkan fasilitas gratis. Mulai dari tempat hingga mentoring.
“Sebenarnya start-up itu membutuhkan coworking space, bukan virtual office. Sebenarnya tinggal bagaimana mengemas coworking space supaya bisa murah dan diminati,” kata Hari.
Menurutnya, cara paling tepat agar coworking space bisa tetap hidup adalah dengan membuat event yang bisa dikerjasamakan dengan pihak sponsor. Kehadiran sponsor akan menambah pemasukan bagi coworking space, sehingga tidak lagi hanya mengandalkan sewa ruangan.
“Coworking space itu arwahnya bukan menyediakan ruangan, bukan bisnis properti. Kuncinya adalah menyediakan kegiatan, di mana para start up bertemu dengan mentor. Kalau dia datang tapi nggak dapat benefit apa-apa, nggak akan datang. Karena itu perlu ada kegiatan yang sifatnya inkubasi, seminggu sekali ketemu mentor ini, lalu ketemu mentor apa lagi,” pungkasnya.
Jika tawaran coworking space masih itu-itu saja, tampaknya persoalan gulung tikar hanya menunggu waktu. Diperlukan terobosan agar coworking space benar-benar dibutuhkan oleh para start-up.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti