tirto.id - Suryo Utomo resmi menjadi Dirjen Pajak baru menggantikan Robert Pakpahan yang pensiun akhir Oktober 2019. Untuk ke sekian kalinya, Dirjen Pajak yang dilantik Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Jumat (01/11/2019) ini berasal dari internal Ditjen Pajak (DJP).
Pria lulusan dari University of Southern California ini sudah lama malang melintang di DJP. Pelbagai jabatan pun sudah diemban, mulai dari Kepala Kanwil DJP Jawa Tengah hingga direktur di DJP pusat.
Sebelum menjabat Dirjen Pajak, Suryo menempati posisi Staf Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak sejak 2015. Jika melihat rekam jejaknya, Suryo memiliki modal yang cukup kuat untuk memimpin DJP.
Suryo juga selama ini aktif dan dekat dalam penyusunan UU Pengampunan Pajak, UU Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, sekaligus masuk dalam Tim Reformasi Perpajakan.
Namun, menjadi Dirjen Pajak adalah tugas yang berat. Sri Mulyani bahkan meminta Suryo merealisasikan target penerimaan pajak sebesar Rp1.578 triliun tahun ini. Padahal, realisasi penerimaan pajak per 31 Agustus saja baru 51 persen atau sebesar Rp801 triliun. Dengan sisa dua bulan ini, jelas target itu tidak realistis.
“Saya harap meski 2019 tinggal 2 bulan lagi, pak Suryo fokus mencapai target penerimaan negara di bidang pajak yang mengalami tekanan yang berat," kata Sri Mulyani di kantor Kementerian Keuangan, Jumat (1/11/2019).
Di tempat yang sama, Suryo menyatakan bahwa dirinya masih perlu melakukan konsolidasi terlebih dahulu. Ditanya mengenai strategi mengejar penerimaan pajak, Suryo minta waktu untuk menyiapkannya.
“Kami akan konsolidasi dulu. Perkiraan penerimaan pajak atau shortfall pada tahun ini kami akan hitung dulu,” ucap Suryo kepada wartawan.
Shortfall Menahun Karena Pemerintah
Target utama DJP sebenarnya hanya satu, yakni merealisasikan target penerimaan pajak yang ditetapkan pemerintah. Hanya saja di lapangan, merealisasikan target tersebut tidak semudah membalikkan tangan.
Lihat saja rekam jejak DJP dalam satu dekade terakhir ini. Meski Dirjen Pajak beberapa kali berganti, toh target penerimaan pajak secara konsisten gagal tercapai atau shortfall, sehingga menyebabkan defisit anggaran—di mana akhirnya defisit itu harus ditutupi utang.
Tahun ini pun, target penerimaan pajak sudah pasti meleset. Pelbagai kalangan pun tidak lagi memprediksi tercapai atau tidak tercapai target penerimaan, justru yang diprediksi adalah berapa nilai shortfall pajaknya.
Lembaga kajian independen, Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) memprediksi shortfall pajak 2019 akan mencapai Rp160 triliun. Sementara prediksi DJP lebih ‘optimistis’, yakni sekitar Rp140 triliun.
Peneliti Pajak Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Mohammad Reza menilai shortfall yang menahun ini bukan salah DJP semata, namun juga karena pemerintah tidak rasional dalam mematok target penerimaan pajak.
Menurut Reza, target penerimaan pajak yang kerap meleset akan berbahaya bagi Indonesia lantaran akan bergantung terhadap utang. Apalagi target penerimaan pajak dalam satu dekade terakhir ini kerap meleset, sehingga utang terus membengkak.
Untuk diketahui, utang pemerintah selama periode pertama Presiden Jokowi melonjak hampir dua kali lipat dari Rp2.609 triliun pada 2014 menjadi Rp4.680 triliun per Agustus 2019, dan utang itu masih berpotensi melonjak lagi.
Oleh karena itu, Reza menyarankan pemerintah mematok target penerimaan pajak yang lebih realistis sebagaimana kondisi di lapangan. Bila tidak, siapa pun bos pajaknya, target pajak itu akan sulit dicapai, dan shortfall akan menjadi kebiasaan.
“Keputusan target penerimaan pajak seharusnya berdasarkan di temuan lapangan. Belanja negara juga ada baiknya direm, menyesuaikan dengan penerimaan,” kata Reza saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (1/11/2019).
Pendapat yang sama juga diutarakan Ketua Bidang Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widyaprathama. Menurut Siddhi, penentuan target penerimaan pajak kerap kali terlalu tinggi.
“Kami imbau pemerintah membuat target dari yang sudah tercapai bukan dari angka target tahun lalu yang lalu dinaikkan tahun depannya,” ucap Siddhi kepada wartawan saat ditemui di kantor Kementerian Keuangan, Jumat (1/11/2019).
Apa yang dikatakan Siddhi ada benarnya. Pada 2018 misalnya, pemerintah mematok target penerimaan pajak sebesar Rp1.424 triliun atau naik 24 persen dari realisasi penerimaan pajak 2017 sebesar Rp1.147,5 triliun. Padahal, dalam 5 tahun terakhir ini, rata-rata realisasi penerimaan pajak hanya tumbuh 7,59 persen per tahun.
DJP Perlu Jadi Badan Semi Otonom?
Pengamat pajak dari Universitas Pelita Harapan Ronny Bako menilai target penerimaan pajak yang dipatok pemerintah selama ini memang terlampau tinggi. Meski begitu, target tinggi itu bukan hal yang mustahil untuk dikejar.
“Syaratnya ya DJP terpisah dengan Kemenkeu. Berikan DJP wewenang yang lebih dalam mengurus lembaganya sendiri dalam mengejar target [penerimaan] pajak,” kata Ronny saat dihubungi reporter Tirto.
Isu pemisahan DJP dari Kemenkeu atau DJP menjadi badan semi otonom bukanlah hal yang baru. Presiden Jokowi pun sempat berencana menjadikan DJP sebagai badan semi otonom. Namun hingga saat ini rencana itu masih wacana.
Kemunculan isu tersebut bukan tanpa alasan. Selama ini, wewenang DJP terbilang sangat terbatas. Otoritas pajak kerap sulit mendesain organisasi sendiri secara cepat karena proses birokrasi.
Imbasnya, DJP tidak mampu melakukan perubahan atau pengembangan sistem administrasi pajak, termasuk perbaikan internal secara cepat mengikuti perkembangan bisnis yang dinamis dan cepat di lapangan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai peluang DJP untuk mengejar target penerimaan yang tinggi masih terbuka lantaran saat ini masih banyak sumber penerimaan yang belum terjamah.
“Tak dapat dipungkiri masih terdapat sumber penerimaan baru yang dapat ditindaklanjuti dan menghasilkan tambahan penerimaan. Informasi dari AeoI bisa dimanfaatkan untuk mengejar itu,” kata Yustinus kepada Tirto.
Apa yang dibilang Yustinus ada benarnya. Lihat saja rasio antara penerimaan pajak dengan PDB atau rasio pajak Indonesia. Pada 2017, rasio pajak Indonesia hanya 10,8 persen, lebih rendah ketimbang negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Filipina.
Gara-gara rasio pajak Indonesia yang rendah, Sri Mulyani mengaku sampai malu.
“Waktu itu standar threshold rasio pajak di suatu negara yang pantas adalah 15 persen. Waktu saya pulang ke Indonesia, rasio pajak di bawah 12 persen. Kan saya malu sama teman-teman di Bank Dunia,” tutur Sri Mulyani.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Ringkang Gumiwang