tirto.id - Megawati Soekarnoputri baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke 76 tahun. Politikus kelahiran Yogyakarta, 23 Januari 1947 ini merupakan putri dari Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno dan istrinya Fatmawati.
Megawati adalah sosok yang disegani dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Perjalanan politik Megawati tidak bisa dipisahkan dengan nama Partai Demokrat Indonesia Perjuangan (PDIP).
Bersama PDIP, Megawati tercatat pernah menjadi wakil presiden, presiden wanita pertama Indonesia, hingga sosok di balik menangnya Presiden Jokowi dalam pemilu 2014 dan 2019. Berikut adalah sepak terjang Megawati dalam percaturan politik di Indonesia.
Megawati Gabung PDI Diajak Soerjadi
Pada masa orde baru, hanya ada tiga partai politik saja yang diakui di Indonesia, yaitu Golkar, PPP, dan PDI. Hal itu membuat persaingan politik di Indonesia sangat sengit.
Kala itu, yang menjadi partai penguasa adalah Golkar. Maka tak pelak, kedua partai oposisi PPP dan PDI berlomba untuk meningkatkan elektabilitas mereka.
Sebagai Ketua Umum PDI, Soerjadi melancarkan manuver politik untuk menggerek elektabilitas partai. Dia mengajak Megawati yang merupakan putri Soekarno untuk meningkatkan suara rakyat.
Ajakan dan rayuan Soerjadi berhasil membawa Megawati masuk ke PDI. Pada tahun 1987 Megawati resmi menjadi anggota PDI.
Saat itu, partai yang didirikan pada 10 Januari 1973 tersebut bakal mengikuti pemilihan umum untuk ketiga kali melawan Golongan Karya dan Partai Persatuan Pembangunan. Pada dua Pemilu sebelumnya, PDI selalu di posisi bawah.
Suara yang diperoleh partai hasil fusi empat partai golongan demokrasi pembangunan—PNI, IPKI, Parkindo, Murba, dan Partai Katolik—itu cuma 8,05 persen (29 kursi) pada Pemilu 1977 dan 6,66 persen (24 kursi) pada Pemilu 1982.
Megawati direkrut karena garis keturunannya sebagai putri Sukarno, yang dinilai mampu menarik pemilih. Strategi Soerjadi ternyata ampuh. Laporan Tempo (25 Desember 1993) menyebutkan nama Megawati efektif menarik pemilih di Jawa Tengah.
Saat perempuan bernama lengkap Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri itu tampil di panggung kampanye, massa PDI selalu membludak. Suara yang diperoleh PDI dalam Pemilu pun meningkat.
Pada Pemilu 1987, PDI meraih 10 persen (40 kursi), dan 14 persen (56 kursi) pada Pemilu 1992. Namun, Soerjadi memandang menguatnya capaian PDI itu memicu kegusaran pemerintah.
Kenaikan Pamor Megawati di PDI
Kehadiran Megawati sukses menaikkan pamor PDI. Akan tetapi, Soerjadi berpikir bahwa pencapaian ini menimbulkan keresahan dan tidak disukai pemerintahan Soeharto.
Pada 21 Juli 1993, Kongres IV PDI dilaksanakan di Medan. Pada pertemuan ini, Soerjadi dipilih menjadi Ketua Umum PDI. Namun, jabatan ini tidak disetujui oleh beberapa pihak.
Dalam artikel yang diterbitkan USU, salah satu orang yang menentang adalah Jacob Nuwa Wea. Ketika penyusunan struktur partai baru diadakan, Jacob menerobos bersama pasukan yang dibawanya ke kongres.
Pada Agustus 1993, Menkopolhukam Soesilo Sudarman mengatakan Kongres Medan tidak sah dan memutuskan menggelar kongres luar biasa (KLB) PDI di Surabaya (selanjutnya KLB Surabaya).
Dalam masa-masa itu, Megawati diusulkan menjadi kandidat Ketua Umum PDI 1993. Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI dan lebih dari 100 orang lainnya mendukung wanita tersebut. Bahkan, mereka mendatangi Megawati di tempat tinggalnya.
Melalui Kongres Luar Biasa (KLB) yang diselenggarakan di Surabaya pada 2 hingga 6 Desember 1993, nama Megawati diajukan. Akhirnya, Megawati secara de facto ditunjuk menjadi Ketum PDI periode 1993-1998.
Selanjutnya, Megawati ditunjuk secara aklamasi menjadi Ketum PDI pada 22-23 Desember melalui Musyawarah Nasional (Munas) di Kemang, Jakarta Selatan.
Peristiwa Kudatuli Perebutan Kekuasaan di PDI
Dalam tulisan Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia (2005), Edward Aspinall mengungkapkan, pada 1996, PDI yang dipimpin Megawati mengalami kegusaran.
Penyebabnya, terdapat laporan bahwa Departemen Dalam Negeri dan ABRI meminta PDI untuk menandatangani Kongres Luar Biasa (KLB) yang akan dilakukan pada 1996. Pada KLB Medan yang diselenggarakan pada 20-23 Juni 1996, Soerjadi terpilih menjadi Ketum PDI.
Namun, acara itu tidak dihadiri oleh Megawati selaku Ketum PDI versi Munas Jakarta. Dari sana, terjadilah dualisme kepemimpinan di tubuh Partai Demokrasi Indonesia.
Sedangkan dalam Indonesian Politic Crisis: The Long Fall of Suharto, 1996-1998 (1999:24), Eklof menerangkan, pelaksanaan KLB dan upaya mengganti Megawati sebagai Ketum PDI tidak lain adalah siasat dari pemerintah.
Hari Sabtu, 27 Juli 1996, terjadi kerusuhan antara pihak pendukung Megawati (hasil Munas) dan Soerjadi (hasil Kongres Medan). Pada pukul 08.00 WIB, Andoes Simbolon, wartawan Harian Terbit, mendapatkan kabar dari Ketua DPC PDI Jakarta Selatan, Audy I.Z. Tambunan, kantor DPP PDI diserbu massa Soerjadi. Wartawan tersebut pergi ke lokasi kerusuhan.
Di sana, ia menjelaskan bahwa kedua kubu saling melemparkan benda dan batu demi mempertahankan ketua mereka masing-masing. Mengutip laporan Kompas tanggal 29 Juli 1996, kejadian yang dikenal sebagai Kudatuli ini berlangsung selama 1,5 jam di Jalan Diponegoro.
Komnas HAM melakukan identifikasi terhadap peristiwa tersebut. Berdasarkan catatannya, ada 5 orang tewas, 149 luka, serta 23 orang yang hilang. Selain itu, komisi yang mengurus perihal hak asasi manusia tersebut juga mengungkapkan pelanggaran-pelanggarannya. Akan tetapi, hingga sekarang kasus ini masih belum menemui kejelasannya.
Megawati Jadi Wapres Abdurrahman Wahid
Setelah runtuhnya orde baru pimpinan Soeharto pada tahun 1998, Indonesia dipimpin oleh B.J. Habibie tetapi tidak berlangsung lama.
Pada pemilihan presiden tahun 1999, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari PKB terpilih menjadi Presiden, sedangkan Megawati menjadi wakilnya. Megawati memperoleh 313 suara dalam sidang umum MPR, berada di bawah Gus Dur yang memperoleh 373 suara.
Kepemimpinan Gus Dur tidak berlangsung lama, pada tahun 2001 terjadi pergolakan politik. Gus Dur pada masa itu hendak mengeluarkan dekrit membubarkan DPR/MPR. Mahkamah Agung menilai tindakan tersebut bertentangan dengan hukum. Sehingga, memakzulkan kepemimpinanya.
Otomatis, Megawati yang saat itu Wakil Presiden, dilantik menggantikan Gus Dur. Dengan demikian, Megawati resmi menjadi Presiden pertama wanita di Indonesia.
Megawati Jadi Presiden Indonesia Periode 2001–2004
Megawati resmi dilantik menjadi Presiden pada Senin, 23 Juli 2001 pukul 17.03 WIB. Melansir laporan Tempo pada 12 Desember 2003, pada pemungutan suara sidang istimewa, sebanyak 591 anggota menyatakan setuju memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid dan mengangkat Megawati sebagai presiden.
Saat menjadi Presiden, Megawati berpasangan dengan Hamzah Haz. Pada masa kepemimpinan Megawati sebagai pemimpin wanita kerap menimbulkan pro dan kontra.
Megawati Kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono
Pada tahun 2004, setelah berakhir periode kepemimpinan Megawati. Pemilihan presiden dikembalikan langsung ke tangan rakyat. Kala itu, Megawati berusaha menduduki kembali kursi Presiden dengan mencalonkan diri kembali dan berpasangan dengan Hasyim Muzadi.
Pilpres putaran I berlangsung dengan menyisakan 5 paslon. Nomor urut 1 diduduki pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid yang diusung Partai Golkar. Di belakangnya ada Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi yang dicalonkan PDIP. Kemudian, nomor urut 3 ditempati pasangan Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo yang dicalonkan PAN.
Sementara nomor urut 4 ditempati pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang diangkat oleh 3 parpol sekaligus: Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Terakhir, pasangan Hamzah Haz dan Agum Gumelar yang dicalonkan PPP menempati nomor urut ke-5.
Pilpres 2004 putaran I ditutup dengan kemenangan SBY-Jusuf Kalla. Karena tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara di atas 50 persen, maka harus diadakan pemilihan putaran II yang diadakan selang tiga bulan setelah putaran I. Putaran II ini diikuti paslon Megawati-Hasyim Muzadi dan SBY-Jusuf Kalla.
SBY dan Jusuf Kalla ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia terpilih periode 2004-2009. Pelantikan keduanya dilangsungkan pada 20 Oktober 2004 dalam sidang Paripurna MPR yang dihadiri pemimpin dan perwakilan negara-negara sahabat.
Sayangnya, Megawati menolak menghadiri pelantikan Presiden Indonesia ke-6 tersebut. Menurut Tempo, Mega meragukan kredibilitas SBY sebagai perwira lantaran tidak jujur menanggapi isu pencalonan dirinya sebagai presiden.
SBY berhasil menduduki kursi Presiden selama dua periode. Di periode kedua 2009–2014, SBY berpasangan dengan Boediono. Selama kepemimpinan SBY, megawati konsisten membawa PDIP menjadi oposisi politik.
Megawati Sukses Dukung Jokowi dalam Dua Periode
Setelah SBY menunaikan masa jabatannya, Megawati bersama PDIP mengusung Joko Widodo sebagai calon Presiden. Saat itu, pamor Jokowi memang sedang di atas angin.
Kejelian PDIP terbukti. Pada pemilu 2014, Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla berhasil menumbangkan Prabowo dengan Hatta Rajasa.
Meski terjadi pasang surut hubungan antara Megawati dan Jokowi, sebagai seorang kader partai, nyatanya Jokowi masih membutuhkan Megawati dan PDIP untuk berjuang memenangkan pertarungan pemilihan presiden kedua pada tahun 2019.
Megawati dan PDIP Jadi Partai Penguasa Dua Periode
Meski belum mampu sepenuhnya mengurai masalah di Indonesia, PDIP tetap menjadi partai paling favorit pilihan masyarakat Indonesia selama dua periode. Baik di Pileg 2014 dan 2019, PDIP menjadi partai pemenang mengalahkan Partai Gerindra dan Partai Golkar.
Dua tahun berkuasa, PDIP berhasil mendominasi parlemen dengan pilihan suara dominan. Pada tahun 2014, PDIP berhasil mengumpulkan 109 suara atau 19,5 persen.
Posisi ini semakin meningkat saat kemenangan kedua mereka pada Pemilu 2019. Pada tahun itu, PDIP resmi menguasai kembali parlemen dengan menduduki 128 kursi atau 19,33 persen dari total parlemen.
Siapa yang akan Didukung PDIP pada Pemilu 2024, Puan atau Ganjar?
PDIP berhasil mencatat sejarah sebagai partai pemenang pemilu setelah era reformasi sebanyak dua kali berturut-turut.
Dengan capaian seperti ini, PDIP punya modal besar untuk ikut kontestasi dalam pilpres 2024 mendatang, jika ambang batas pencalonan presiden masih 20 persen seperti sekarang.
Menuju Pemilu 2024, sampai saat ini Megawati dan PDIP belum mengumumkan calon Presiden yang akan mereka usung.
Namun, ada dua nama yang santer terdengar, yaitu Ganjar Pranowo dan Puan Maharani. Lantas, siapakah yang akan Megawati pilih untuk menjadi kandidat calon presiden?
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Alexander Haryanto