tirto.id - Selepas mengganti sandal dan baju khusus, Kusno Waluyo, 45 tahun, menuntun saya memasuki sebuah lorong zig-zag yang memisahkan antara zona merah dan zona kuning di wilayah peternakannya. Terdapat alat penyemprot cairan desinfektan di dalam lorong yang berfungsi untuk sterilisasi siapapun yang hendak masuk ke zona kuning.
Setiap jarak dua jengkal, alat tersebut berbunyi, mengeluarkan cairan desinfektan di bagian kiri dan kanan dinding. Kusno sengaja memasang pembatas setinggi betis di sela-sela lorong untuk memperlambat laju orang yang lewat di dalamnya. Sistem sterilisasi yang sama juga ia berlakukan ketika berpindah dari zona kuning ke zona hijau.
“Zona merah adalah batas orang atau benda dari luar, zona kuning ada di tengah-tengah, biasanya saya pakai untuk menerima tamu, lalu zona hijau isinya peternakan,” Kusno memaparkan pembagian wilayah pada peternakannya.
Kusno mulai berkecimpung di bidang peternakan ayam layer (petelur) sejak tahun 1988. Saat itu, orangtuanya memulai usaha yang kini diwariskan padanya. Dulu, peternakan Kusno masih seperti peternakan-peternakan ayam umum yang cenderung kumuh, belum memiliki ciri khas untuk dijual, dan yang pasti menggunakan antibiotik kelas berat.
“Ayam belum sakit aja saya kasih Amoxicillin 80-90 mg ke atas.”
Kombinasi antara tata kelola ruang yang buruk dan manajemen pemeliharaan ayam yang salah membikin peternakan Kuusno kurang berkembang. Pemberian antibiotik pada ayam sehat berakibat munculnya Resistensi Antimikrobial (AMR) pada ternaknya. Akibatnya, pernah ada konsumen yang mengeluh gatal ketika mengonsumsi telur milik Kusno. Selain itu, ketika sakit, ayamnya justru kebal terhadap obat antibiotik.
AMR merupakan kondisi ketika mikroorganisme (bakteri, jamur, virus, dan parasit) bermutasi karena terpapar obat antimikroba (antibiotik, antijamur, antiviral, antimalaria, dan anthelmintik). Akibatnya, obat antimikroba kebal mengatasi mikroorganisme baru dalam tubuh, sehingga membuat infeksi terus berlanjut, dan meningkatkan risiko penyebaran kepada orang lain.
Menghalau Kuman dengan Biosekuriti
Tak ada bau kotoran ayam yang menyengat saat saya memasuki peternakan milik Kusno. Ia menyediakan sandal dan baju khusus yang harus dipakai untuk memasuki peternakan yang berada di Desa Toto Projo, Kecamatan Way Bungur, Kabupaten Lampung Timur itu. Masuk ke wilayah zona kuning, karyawan peternakan tengah sibuk menyortir dan menimbang telur yang sudah dibersihkan untuk kemudian dipasarkan.
Zona kuning juga menjadi area bagi para karyawannya melepas lelah di waktu istirahat. Zona hijau menjadi area terakhir peternakan. Di sinilah sebanyak 60 ribu ayam milik Kusno dipelihara. Kusno juga memanfaatkan lahan sisa di zona hijau yang terletak di antara kandang untuk menanam beragam tanaman terapi herbal.
“Saya mulai membangun biosekuriti ini awal januari 2019, habis sekitar Rp200 juta. Total semua manajemen dan pengelolaan ayam diubah,” terang Kusno.
Biosekuriti merupakan usaha mengamankan dan mengurangi risiko masuknya penyakit pada hewan ternak maupun manusia. Inti konsep ini membagi peternakan menjadi wilayah luar (yang terkontaminasi) dan wilayah dalam peternakan (yang harus steril dari kontaminan). Sejatinya, konsep ini bisa diterapkan secara sederhana dan murah. Namun Kusno pilih jor-joran merombak, peternakan ayam layer miliknya menganut sistem paling ideal, yakni biosekuriti tiga zona.
Biosekuriti tiga zona membagi peternakan jadi tiga wilayah : zona merah, kuning, dan hijau. Zona merah berada di area luar peternakan; menjadi batas antara media kontaminan dan peternakan. Zona kuning adalah perantara zona merah dan hijau. Di zona ini orang yang memasuki peternakan harus mandi dan berganti baju kerja, termasuk alas kaki. Zona hijau adalah lokasi peternakan dan pekerja/individu yang sudah steril.
Setelah diterapkan biosekuriti, Kusno merasa kesehatan ayamnya lebih terjamin. Bahkan hampir tak pernah sakit. Kebersihan kandang pun terjaga, kotoran ayam dikeruk setiap seminggu sekali dijadikan pupuk atau dijual. Sistem ini mengurangi secara signifikan penggunaan antibiotik sebesar 40 persen dan desinfektan sebesar 30 persen pada ternak unggas.
“Antibiotik kan impor semua, biayanya mahal dan ayam pasti sakit. Sekarang enggak perlu itu (antibiotik), ditambah tempat kerja bersih dan nyaman.”
Telur Herbal Berstandar Internasional
‘Telur Herbal’ begitu Kusno kini melabeli produk telur keluarannya. Setelah lebih dulu meninggalkan antibiotik dan menerapkan biosekuriti, Kusno menyiasati perlindungan penyakit pada ayamnya menggunakan beragam ramuan herbal yang ia racik sendri. Ramuan tersebut ada yang berbentuk cairan sebagai minuman ayam, tapi ada juga yang dicampur dengan pakan.
Ia mulai melakukan uji coba ramuan sejak tahun 2005 dengan sistem ‘trial and error’. Formula pertama ramuan herbalnya ternyata kurang cocok, membikin ayamnya diare dan produksi telur menurun. Pada tahun 2007, Kusno mulai membikin kandang percobaan dan bekerja sama dengan Pakar Probiotik Unggas, Sri Harimurti pada tahun 2018, untuk meracik ramuan herbalnya hingga sekarang.
Kusno menyebut ramuan herbal untuk ayamnya sebagai ‘jamu pegel linu’. Racikannya terdiri dari madu, sereh, buah pace, temulawak, dan 15 bahan baku herbal lainnya. Sebelum diberikan pada ayam, ramuan tersebut akan lebih dulu ia minum untuk uji klinis pada manusia. Sekarang, setiap harinya Kusno mampu memanen 2,7 ton telur yang dipasarkan di sekitar Lampung.
“Pokoknya di kita, ayam dan citarasa telurnya beda,” kata Kusno mempromosikan bisnisnya.
Lantaran tak mau dianggap omong kosong belaka, Kusno mengambil sebuah telur herbal dan telur dari peternakan lain. Ia lalu memecah kedua telur itu dan saya diminta membandingkan keduanya. Pada telur herbal milik Kusno, kuning telurnya cenderung berwarna gelap dan bisa diangkat dengan dua jari tanpa pecah. Selain itu, ia kurang berbau amis jika dibanding telur yang lain.
Kusno kemudian memperlihatkan hasil penelitian oleh Sri Harimurti yang menyebut telur herbal memiliki Yolk Immunoglobulin sebagai sumber antibodi. Kandungan proteinnya juga lebih tinggi dibanding telur biasa. Jika dilihat dari bentuk mikroskopis, fraksi protein telur herbal lebih kecil sehingga lebih mudah dicerna tubuh, sementara kadar kolesterolnya rendah.
Manfaat lebih yang terkandung dalam telur herbal Kusno diganjar harga jual yang lebih tinggi di pasaran. Jika harga telur biasa berkisar Rp22 ribu per kilo, telur herbal dijual dengan selisih Rp2000 lebih tinggi. Selain itu, ayam yang habis masa produksinya juga masih laku dijual dengan harga Rp27 ribu per kilo.
Atas pencapaiannya menerapkan biosekuriti dan labelisasi ‘Telur Herbal’, pada 20 Juni 2019 lalu, Kusno mendapat sertifikat Nomor Kontrol Veteriner (NKV) dari Kementerian Pertanian. Sertifikat tersebut merupakan bukti bahwa Telur Herbal telah memenuhi standar pangan nasional. Jika sebelumnya Kusno hanya bisa menjual produknya di Lampung, dengan NKV, ia bisa memperluas distribusi telur ke seluruh wilayah Indonesia, bahkan ekspor ke luar negeri.
Editor: Maulida Sri Handayani