tirto.id - Sebuah album klasik milik kelompok The Doors dirilis ulang. Tepat pada November ini, Strange Days (1967), berusia setengah abad. Dari segala ukuran, Strange Days adalah karya abadi berisi nomor-nomor berbahaya oleh band yang pernah jadi simbol protes anak muda 1960an.
Album ini keluar di pasaran delapan bulan setelah album debut The Doors dirilis pada Januari 1967. Bayangkan, hanya dalam waktu satu tahun, dua album hebat dirilis oleh satu kwartet. Tapi buat telinga saya, Strange Days masih lebih baik dibanding pendahulunya. Album ini adalah pernyataan bahwa tak cuma vokalis Jim Morrison yang layak menyandang gelar “manusia setengah dewa”, tapi juga sang kibordis, Ray Manzarek. Lewat Strange Days, kita menyaksikan kejeniusan Ray Manzarek meramu komposisi yang berhasil meningkatkan musikalitas The Doors dalam, lagi-lagi, delapan bulan.
Di Strange Days, Manzarek memainkan banyak instrumen, dari organ, piano bas, harpsichord, hingga marimba, sekaligus jadi pimpinan orkestra yang membimbing permainan rekan-rekannya agar tetap padu. Andilnya Manzarek juga besar dalam menerjemahkan lirik-lirik sublim Morrison jadi kidung perlente. Tanpa sang kibordis, The Doors niscaya bakal berakhir sebagai band medioker yang hanya beredar di pub-pub sopir truk California saban weekend.
Ada 10 lagu dalam Strange Days dengan lagu perdana "Strange Days" yang beraroma psikedelik rock. Synthesizer yang dimainkan Morrison mengalun lembut dan menguar nada-nada eksotik. Pada “Love Me Two Times,” permainan gitar Robby Krieger yang mememadukan nada mayor dan minor secara bersamaan masuk permainan solo yang luar biasa panjang. Sedangkan di “Horse Latitudes,” Morrison rupanya kesurupan roh para penyair romantik-dekaden. Coba lihatlah liriknya: “When the still sea conspires an armor/And her sullen and aborted/Currents breed tiny monster/True sailing is dead.”
Dalam “My Eyes Have Seen You,” riff-riff gitar Robby Krieger terdengar seperti tribut untuk kejeniusan dua musisi mbeling, gitaris Rolling Stones Brian Jones dan pentolan Pink Floyd Syd Barrett. Vokal desperate Morrison menghantui sepanjang lagu “I Can’t See Your Face in My Mind", sementara liarnya gebukan drum John Desmore, sahut-sahutan antara solo kibor Manzarek dan melodi Krieger, hingga lirik Morrison yang terdengar seperti orasi kebudayaan akhirnya jadi persembahan pamungkas Strange Days lewat lagu “When the Music’s Over”.
Perlukah Mendengar Album Remaster?
Selain The Doors, band yang mengeluarkan rilisan album ultah pada November ini adalah The Ramones. Dedengkot punk asal New York ini kembali merilis Rocket to Russia (1977) yang tahun ini resmi menginjak usia kepala empat. Sama belaka dengan Strange Days, Rocket to Russia dirilis dalam versi remaster.
Secara umum, proses remastering dalam album mengacu pada hasil peningkatan kualitas suara. Materi-materi lama yang pada awalnya direkam secara analog diperbaiki agar menghasilkan suara terbaik. Album-album remaster biasanya dilempar ke pasar untuk memperingati momen-momen penting dalam sejarah band yang bersangkutan, atau merilis materi lagu yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya, materi-materi edisi demo (ketika bandnya masih kere dan berjuang untuk dikontrak label) atau edisi panggung.
Ada banyak band (terutama yang sudah berstatus klasik) rutin merilis album remaster dalam kuantitas yang tak main-main, bahkan kadang tidak masuk akal. The Doors dan The Ramones hanya dua dari sekian contohnya. Pada 2011, misalnya, band psikedelik Pink Floyd mengeluarkanbox set berisi 14 album remaster, termasuk karya legendaris The Dark Side of the Moon (1973) hingga Wish You Were Here (1975). Harganya: €176,62.
The Beatles juga pernah melakukan hal yang sama. Empat cowok manis asal Liverpool ini pernah merilis album pertunjukan live mereka dari 1964 sampai 1965 berjudul The Beatles at the Hollywood. “Hal yang menjadi perbedaan paling kentara dalam album ini adalah seberapa keras Ringo [drummer The Beatles] memukul gendering drum,” ungkap Giles Martin, produser album remaster The Beatles at the Hollywood.
Radiohead pun tak mau kalah. Paguyuban seni asal Inggris yang digawangi Thom Yorke itu merilis album remaster OK Computer (1997) dalam rangka haul dua dekade album tersebut. OK Computer OKNOTOK 1997-2017, lengkap dengan tiga buah piringan hitam berukuran 12 inci, dapat ditebus dengan $130.
Sedikit ke pinggir, perilisan album remaster bukan barang baru. The Smiths salah satunya. Idola hipster-hipster indie-pop ini merilis album remaster dari The Queen is Dead (1986), Meat is Murder (1985), serta Louder Than Bombs (1987). Bahkan untuk album Meat is Murder sendiri, The Smiths punya edisi khusus remaster kala tampil di Boston.
Jika dirunut lagi ke belakang, sudah terlalu banyak album remasterdari band-band klasik macam The Beach Boys, Led Zeppelin, Black Sabbath, hingga The Allman Brothers. Namun, seberapa pentingkah esensi album remaster? Kenapa ia jadi fenomena yang terus berlangsung?
Bagi penggemar militan, memiliki album remasterbisa jadi suatu bentuk klangenan, kalau bukan pencarian akan kepuasan mendengarkan kualitas suara yang lebih mantap daripada versi aslinya. Namun sebagai suatu tradisi yang sudah kebablasan, beberapa rilisan remastersama sekali tak menyumbang pengalaman estetik macam mana pun.
Album sebuah band yang kelak berstatus klasik, cult, atau sejenisnya sebetulnya tak perlu berkali-kali dirilis. Sekali remastering saja sudah cukup. Misalnya, album The Velvet Underground (1967) oleh The Velvet Underground dan biduan Jerman Nico yang dirilis ulang untuk merayakan 45 tahun rilis pertamanya. Mau remastering sekali lagi? Ya sama saja mubazir. Vokal Lou Reed akan tetap seperti orang habis teler berat dan gesekan biola John Cale di nomor "Walk Alone" masih terdengar melodius tiada dua.
Sederhananya begini: ketika sebuah album klasik dirilis hingga lebih dari lima kali dalam versi remastering yang berbeda-beda (Ok, saya bicara tentang The Beach Boys sebagai contoh utama), kesakralan musiknya justru hilang. Sebaik-baiknya musik adalah musik yang diedarkan seluas-luasnya, tapi bukan berarti bisa dirilis sampai puluhan kali dengan format sama. Bagaimanapun, merilis versi remaster sebanyak-banyaknya tidak akan merubah isi album secara signifikan. Kalau memang dasarnya album itu sudah bagus, tanpa diubah dan didaur-ulang lewat proses remastering pun hasilnya bakal tetap bagus.
Persoalan berikutnya, hasil dan kualitas suara album remaster yang acapkali disebut-sebut “baik” kadang sama saja dengan album rilisan perdana. Tak jarang, album remaster justru dianggap memperburuk kualitas suara rekaman aslinya. Kasus ini pernah dialami oleh grup new wave Duran-Duran. Maksud hati ingin memacak wajah baru Duran-Duran, hasil remastering album debut tahun 1981 dan album Seven and Ragged Tiger (1983) ternyata malah membuat para penggemar buang muka. Album remaster Duran-Duran dihujani kritik karena merusak kualitas suara produk aslinya.
Dalam konteks yang lebih luas, tidak bisa dipungkiri jika remastering adalah strategi bisnis rekaman menghadapi lesunya industri musik. Perusahaan-perusahaan label sangat jitu menangkap hasrat penikmat musik yang gemar nostalgia. Pertimbangan label rekaman kira-kira begini: "Masa lalu adalah kunci dan masa depan adalah misteri, marilah bikin album remaster."
David Arditti dalam iTake-Over: The Recording Industry in the Digital Era (2014) menjelaskan, rilisan daur ulang album monumental seperti Thriller (1989) karya Michael Jackson akan meraup laba luar biasa sebab publik tahu siapa Michael Jackson dan apa yang ditawarkannya lewat Thriller. Sementara menurut Chris Anderton, Andrew Dubber, dan Martin James dalam Understanding Music Industries (2010), label cenderung berfokus pada artis-artis bernama besar dan album yang populer. Ketimbang mempertaruhkan modal dengan mengontrak artis baru yang belum tentu laku, merilis album remaster adalah jaminan untung.
Adagium klasik di kalangan mahasiswa tingkat akhir berbunyi: "Skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai." Terlepas dari baik-buruk kualitas skripsi tersebut, menyimak album remaster sudah serasa membaca skripsi mahasiswa angkatan Malari yang sudah lulus pada 1976 tapi terus direvisi puluhan kali sampai hari ini.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf