Menuju konten utama

Betapa Berlebihan Menjatuhkan Sanksi untuk Penolak Vaksin COVID-19

Ada daerah yang telah mencantumkan sanksi bagi penolak vaksin; ada juga yang baru berencana. Ini semua tak tepat.

Betapa Berlebihan Menjatuhkan Sanksi untuk Penolak Vaksin COVID-19
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menunjukkan contoh kemasan botol vaksin COVID-19 saat kunjungan kerja di Command Center serta Sistem Manajemen Distribusi Vaksin (SMDV) di Bio Farma, Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/1/2021). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/aww.

tirto.id - Pemerintah sebentar lagi bakal mulai menyelenggarakan vaksinasi massal COVID-19. Salah satu yang mereka upayakan agar program ini diikuti warga adalah mengancam akan memberikan sanksi bagi yang menolak. Beberapa pakar mengkritik ancaman ini. Mereka menilai itu berlebihan.

Salah satu yang berencana memberikan sanksi adalah Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy. “Kalau ada yang tidak loyal, tidak mau divaksin, maka akan diberi sanksi,” ujar Richard, Selasa (5/1/2020), mengutip Kompas. Di sana, sebanyak 3.762 tenaga kesehatan--golongan prioritas--akan divaksinasi pada 14 Januari.

Di DKI Jakarta pun demikian, bahkan sudah tercantum dalam peraturan. Pasal 30 Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan COVID-19, ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 12 November 2020, menyebut setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi COVID-19 dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5.000.000.

Tak semua orang setuju dengan cara-cara ini. Seorang warga bernama Happy Hayati Helmi mendaftarkan gugatan uji materi atas peraturan tersebut ke Mahkamah Agung pada Desember lalu.

Viktor Santoso Tandiasa, kuasa hukum Happy, menyatakan ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang memberikan hak kepada setiap orang secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Pengenaan sanksi denda juga ia anggap bertentangan dengan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Berlebihan

Inisiator LaporCovid-19 Irma Hidayana tidak sepakat jika penolak vaksin diberi sanksi. Menurutnya alih-alih mengancam, agar efektif pemerintah perlu memastikan vaksin itu aman dipakai dan efektif. “Tugas pemerintah menjamin pemberian vaksin yang aman dan bermanfaat atau terbukti mampu mencegah infeksi COVID-19,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (7/1/2021).

Hal inilah yang menurutnya belum bisa dilakukan pemerintah. Temuan survei mereka cukup membuktikan itu.

Pada Oktober 2020, survei yang digelar LaporCovid-19 menemukan 69 persen responden ragu-ragu hingga tidak bersedia menerima vaksin Biofarma-Sinovac yang sekarang tengah menjalani uji klinis fase tiga. Penerimaan responden terhadap vaksin Merah Putih yang tengah dibuat LBM Eijkman-Biofarma sedikit lebih baik: 44 persen bersedia dan 56 persen ragu-ragu hingga tidak bersedia menerima.

Survei juga melihat pemahaman dan penerimaan mereka terhadap obat COVID-19 yang diracik oleh Universitas Airlangga. Hasilnya, 15 persen responden menyatakan obat buatan Unair dapat menyembuhkan COVID-19; 59 persen merasa belum tentu efektif; 36 persen ragu-ragu; dan 5 persen menyatakan efektif dapat menyembuhkan; serta 70 persen responden ragu-ragu hingga tidak bersedia mengonsumsi obat Unair.

Meski belum mendapatkan izin edar darurat (EUA) dan tak jelas pula kapan itu keluar, beberapa pejabat daerah telah menyebut secara spesifik kapan vaksinasi dimulai dan berapa orang yang bakal jadi sasaran. Beberapa pihak khawatir ujung-ujungnya izin yang dikeluarkan penuh dengan intervensi alias tidak benar-benar mematuhi standar ilmiah.

Dosen hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga sependapat. Dia menjelaskan bahwa pengenaan denda terhadap orang yang tidak mau atau menolak divaksin bermakna pula bahwa penyuntikan adalah sebuah kewajiban. Padahal, cara pengobatan adalah pilihan dan menjadi hak setiap individu. “Karena itu [vaksinasi] tidak bisa menjadi paksaan atau kewajiban,” ucap Fickar ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis.

Peneliti ICJR Maidina Rahmawati menjelaskan lebih jauh mengapa sanksi tersebut tak tepat. Pertama-tama ia menjelaskan bahwa pemberian vaksinasi adalah respons nasional terhadap pandemi. Maka pengaturan sanksi, jika mau diadakan, tak cukup sekadar lewat peraturan daerah. “Menyerahkan kewenangan pemberian sanksi pada pemerintah daerah justru akan membuat kerancuan, padahal vaksin adalah respons nasional,” katanya lewat keterangan tertulis.

Kemudian, pemerintah pusat pun harus menentukan terlebih dulu sampai mana perbuatan menolak vaksin itu dapat berdampak terhadap situasi darurat kesehatan. Hal ini tak tercantum dalam Keputusan Presiden No 11 tahun 2020 tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat COVID-19.

Maka, alih-alih sanksi, yang lebih tepat dilakukan agar program ini berhasil adalah pemberian insentif. “Misalnya penanggungan biaya iuran BJPS selama beberapa bulan, jaminan akses layanan kesehatan, atau pun insentif untuk masuk dalam proses pendataan untuk bantuan sosial.”

Pemerintah pusat lewat Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengisyaratkan tak bakal memberikan sanksi terhadap penolak vaksin. Dalam acara Mata Najwa, dia mengatakan “percaya bahwa dengan cara persuasif lebih baik.”

Meski demikian, ia tetap menegaskan bahwa “vaksin ini enggak akan berhasil kalau enggak [menjangkau] 70 persen populasi.”

Baca juga artikel terkait VAKSIN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino