Menuju konten utama

Berkat Televisi, Donald Trump Bisa Jadi Presiden

Banyak yang tak menyangka dan tak menerima akhirnya Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Padahal, modal yang dimilikinya memang sudah besar, yakni popularitas yang didapatnya lewat acara-acara di televisi seperti The Apprentice.

Berkat Televisi, Donald Trump Bisa Jadi Presiden
Donald Trump tampil di acara talk show "The Tonight Show Starring Jimmy Fallon." di stasiun tv NBC. Andrew Lipovsky/NBC via AP

tirto.id - Menanggapi aksi bertajuk Women's March yang diikuti sebanyak 4.721.500 peserta dari seluruh dunia, sutradara film dokumenter Jeremy Newberger mencuit dengan nada elegan, lucu, sekaligus merepresentasikan penolakan peserta aksi atas pelantikan Donald J. Trump sebagai orang nomor satu di Amerika Serikat. Postingan di Twitter bertanggal 22 Januari 2017 itu berbunyi:

“@RealDonaldTrump baru saja memecahkan rekor untuk seorang laki-laki yang ditolak oleh perempuan dengan jumlah terbanyak dalam satu hari sepanjang sejarah umat manusia.”

Ketidaksukaan kaum perempuan kepada Trump sesungguhnya telah terbentuk jauh sebelum kemenangan Trump dalam pemilu AS November lalu. Dalam laporan Associated Press sebulan sebelum pemilihan suara, lebih dari 20 orang yang diwawancarai menyebut perilaku Trump terhadap perempuan sangatlah tak pantas dan cenderung kasar.

Sikap “asli” Trump tercermin kala mantan kontestan dan staf The Apprentice, serial laris yang diproduseri sekaligus dibintangi Trump, buka suara. Trump diketahui sering membincangkan ukuran payudara perempuan dan hasratnya untuk berhubungan seksual di lokasi pengambilan gambar. Katherine Walker, mantan produser The Apprentice, berkata bahwa Trump kerap menggunjingkan tubuh perempuan, terutama kontestan perempuan yang menurut Trump pintar bermanuver di ranjang.

Bahkan, kebiasaan Trump itu membuat juru kamera perempuan The Apprentice merasa tak nyaman. Delapan mantan anggota kru mengungkapkan jika Trump memang memberikan perhatian khusus pada kru perempuan yang dipandangnya menarik perhatian.

Komentar Trump bermacam-macam, mulai dari memuji paras sang juru kamera, hingga komentar tak pantas soal betapa bagusnya pantat yang bersangkutan. Masih ada banyak cerita tak senonoh yang dilakukan Trump dan berhasil terekam kamera, meski akhirnya diedit dan tak dimasukkan dalam episode-episode The Apprentice.

Melihat rekam jejak Trump, wajar jika para perempuan AS meramaikan Women's March. Ada sisi kehidupan Trump sebelum ia mencalonkan diri lewat sokongan Partai Republikan yang bisa dilacak, saat ia masih aktif wara-wiri di industri hiburan Hollywood.

The Apprentice menjadi panggung terbesar Trump sejak 2004 hingga 2009. Meski demikian, jauh sebelum itu, ia pernah menjadi cameo di sejumlah film layar lebar maupun serial televisi. Di serial The Nanny (1995), Trump terlihat menjadi cameo seorang pebisnis yang sedang disibukkan dua telepon genggam. Di serial laris yang dibintangi Will Smith, The Fresh Prince of Bel-Air (1994), kemunculannya membuat seorang pemeran dengan latar belakang orang konservatif AS, Carlton, jatuh pingsan.

Kemunculan pertama Trump di serial televisi tercatat di serial The Jeffersons yang mengudara di tahun 1985 dengan episode berjudul “You'll Never Get Rich”. Satu dekade setelahnya, Trump berkesempatan mendampingi walikota New York Randall Winston dalam komedi situasi Spin City. Ia memasuki tempat syuting berlatar belakang kantor walikota dengan congkak sebab sedang dimintai bantuan Winston untuk menulis riwayat hidupnya dalam sebuah biografi.

Publik juga tak akan lupa saat Trump muncul dalam acara gulat Worldwide Wrestling Enterntainment (WWE) bersama sang pemilik acara, Vince McMahon. Pertandingan gulat yang dilihat oleh jutaan pemirsa sedunia itu berakhir dengan dijatuhkannya Trump ke matras dan seluruh penonton di arena berteriak-teriak histeris bak orang kesurupan. Penampilan cameo Trump yang tak akan terlupa lain adalah saat ia mencoba merayu tokoh Samantha di episode “The Man, the Myth, the Viagra” dalam serial terkenal Sex and the City (1999).

“Sang Donald” yang Sombong dan Arogan

Trump mesti berterima kasih dengan televisi, terutama The Apprentice. Tanpa bantuan medium itu, ia takkan memperoleh popularitas sebagai pebisnis AS yang ulung dan berlimpah kekayaan materi. Jauh sebelum bertarung di dunia politik level elit, ia paham bahwa menyertakan diri di acara televisi akan membuat namanya moncer. Bukan sekadar asal numpang, tapi sebagaimana uraian Jennifer Keishin Armstrong di BBC, yakni dengan menjadi seorang taipan super-sukses yang sombong dan arogan.

Trump memang seringkali bangkrut dan mendapat reputasi yang buruk atas perilakunya sendiri, tapi ingatlah prinsip marketing: “Tak ada yang namanya publikasi yang buruk.” Ia tak merasa perlu gerah saat mendapat citra buruk dari sejumlah acara televisi yang mengolok-olok dirinya sendiri. Contohnya di tahun 2005 silam, acara televisi Sesame Street memparodikan dirinya sebagai Donald Grump, karakter penggerutu yang kerap menyahut “Akulah rongsokan paling tak bermutu!”

Gerilya cameo Trump berlanjut ke layar lebar. Ia mampir “nampang” sebentar dalam satu adegan di film yang paling sering diputar saat libur Natal tiba, Home Alone 2: Lost in New York (1992). Trump menjadi penunjuk jalan bagi sang tokoh utama, Kevin McCallister (Macaulay Culkin), saat Kevin sedang mencari lobi hotel New York's Plaza. Trump muncul juga sebagai cameo dalam film anak-anak yang cukup laris, The Little Rascals (1994).

Keberhasilan “Sang Donald” mewujud sebagai sosok yang arogan membuatnya sebagai inspirasi salah satu karakter utama dalam film Back to the Future II (1989), Biff Tannen. Penulis naskah film tersebut, Bob Gale, mengakui bahwa Trump adalah inspirasi untuk musuh sang tokoh utama dalam film fiksi sainsnya.

Mengapa? Dalam sebuah pernyataan yang dikutip Variety, Gale berkata bahwa Trump dan Biff memiliki kesamaan sifat: arogan, sombong, dan hobi bulliying.

Citra suka mem-bully terbangun selama Trump bermain di serial The Apprentice. Ia terkenal dengan ucapan “Anda dipecat!” kepada kandidat yang kalah di tiap episode. Semua makin terlihat jelas saat Trump berkampanye. Ia memaki imigran, kelompok muslim AS, hingga komentar tak pantas yang dilayangkannya pada kaum perempuan.

Arogansi Trump diakui oleh pencipta serial The Nanny, Peter Marc Jacobson, yang berkata pada New York Times, bahwa Trump memang sengaja bersikap demikian di depan kamera. Saat Trump membaca naskah untuk kemunculannya di salah satu episode, salah satu pembantunya keberatan dengan status “jutawan (millionaire)” Trump. Trump ingin disebut sebagai “miliuner (billionaire)” dan ingin naskahnya diperbaharui. Agar ego Trump makin terpuaskan, maka Jacobson sekalian menggantinya dengan istilah yang lebih spektakuler: “zillionaire”.

Trump berkata pada The Washington Post bahwa dulu ia mengabaikan nasihat dari agennya saat menandatangani kontrak untuk menjadi tuan rumah The Apprentice pada 2004. Toh acara itu terbukti menjadi “demam” bagi pemirsanya di AS dan dunia, menggaet 20 juta penonton di tahun pertama. Laporan Washington Post menyebut bahwa Trump menilainya sebagai potensi untuk meraup dukungan dari kalangan muda di AS. Maka, ia pun memasukkan namanya sebanyak mungkin ke dalam acara tersebut.

Ia kemudian melangkah lebih jauh yakni dengan menegosiasikan 50 persen kepemilikan acara tersebut dan dalam musim pertama penayangan saja ia melancarkan banyak perubahan kebijakan. Hasilnya keluar sesuai harapan. Ia dikenal sebagai Simon Cowell-nya AS, mengkritik banyak kebijakan bisnis AS, dan giat mempromosikan kejayaan ekonomi AS lewat metode bisnisnya. The Apprentice mengubah dirinya dari tokoh lokal asal New York menjadi sosok kesayangan orang-orang AS di sejumlah negara bagian (yang pada pemilu kemarin menyumbang suara untuknya).

Infografik Jejak Trump di Layar Lebar & Televisi

Kepopuleran Trump membantunya untuk mengubur nama politisi Republikan lain saat mencalonkan diri sebagai calon presiden di tahun 2015. Segala skandal terkait Trump University maupun kebangkrutan beberapa usahanya tertutup dengan sedemikian rapatnya oleh citranya sebagai pebisnis jenius berjuluk “zillionaire”. Kemampuannya menyulap acara yang membosankan menjadi penuh gairah membantu Trump merebut hati para pemilik TV kabel.

Produser The Apprentice Bill Pruitt sempat mengaku menyesal telah membantu Trump meraih jalur popularitasnya. Ia mengungkapkan itu dalam sebuah email pribadi kepada Vanity Fair sesaat setelah Trump memenangkan pertarungan di pemilu. Ia mengakui acaranya adalah penipuan publik yang bertujuan hanya demi rating. Dan yang paling Pruitt sesalkan adalah cerita tentang Trump di acara hiburannya itu dipersepsikan oleh publik sebagai kebenaran.

Meski penyesalannya begitu dalam, Pruitt tak bisa berbuat apa-apa. Sang zillionaire kini telah duduk di kursi tertinggi. Jika bisa diringkas, tak ada yang lebih patut untuk diberi terima kasih sebesar-besarnya oleh Trump kecuali televisi dan industri hiburan yang telah membesarkan namanya. Bukan keluarga, apalagi rakyat Amerika.

Baca juga artikel terkait DONALD TRUMP atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani