Menuju konten utama

Berbagi Formulir C1, Crowdsourcing ala Indonesia

Aksi yang kini ngetren bukan hanya selfie memamerkan jari berwarna ungu, tetapi juga memotret formulir perolehan suara dan membagikannya di media sosial atau grup Whatsapp. Ini awal yang baik untuk membangun tradisi berbagi dan partisipasi publik.

Berbagi Formulir C1, Crowdsourcing ala Indonesia
Seorang netizen sedang mengamati tabulasi suara Pilgub DKI Jakarta 2017. Tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Ada yang bebeda dalam pemilu dan pilkada yang berlangsung belakangan ini. Pemilih tak hanya antusias mengikuti perhitungan dan bersorak-sorai. Banyak orang memotret formulir C1 dan mengirimkannya ke grup-grup percakapan dan media sosial.

Internet memang mengubah cara hidup kita. Ia bukan sekadar saluran komunikasi dan informasi, tapi juga medium berbagi. Dalam internet, penggunanya bisa berbagi apapun: uang, informasi, hingga dukungan dalam bentuk tanda tangan digital. Hal-hal tersebut populer dikenal dengan istilah crowdsourcing.

Di Indonesia, crowdsourcing juga digunakan, terutama untuk memantau pemilihan umum.

Pada pemilihan presiden tahun 2014, Kawal Pemilu yang beralamat di kawalpemilu.org mencuat. Kawal Pemilu, melakukan pemeriksaan terhadap formulir C1. Layanan tersebut memanfaatkan database KPU yang terbuka dan bisa diakses siapa saja. Kawal Pemilu digagas oleh Ainun Najib yang turut mengajak teman-temannya: Felix Halim dan Andrian Kurniady. Belakangan, diketahui bahwa teman-teman Ainun adalah "Googler”, panggilan bagi karyawan Google.

Kawal Pemilu berhasil menjaring sekitar 700 relawan yang bahu-membahu memeriksa formulir C1. Sebagaimana diberitakan Kompas.com, selain “bermodalkan” kerelaan relawan, Kawal Pemilu dibiayai dana sebesar $54 yang kala itu setara dengan Rp640.000. Dana tersebut dipakai untuk membeli domain kawalpemilu.org dan hosting di Google dan Amazon.

Di pilkada DKI yang baru selesai dihelat pencoblosan, crowdsourcing juga eksis, terutama dalam medium Twitter dan aplikasi bernama Kawal Pilkada.

Dalam aplikasi Kawal Pilkada, pengguna bisa melakukan urun daya dalam bahu-membahu memberikan informasi seputar jalannya pilkada DKI yang mereka saksikan. Pengguna, diharapkan men-foto formulir C1. Kemudian, hasil foto tersebut masuk ke server Kawal Pilkada dan terdapat tim yang menverifikasi urun daya tersebut. Selesai diverifikasi, informasi yang relefan kemudian ditampilkan dalam aplikasi Kawal Pilkada.

Dihubungi wartawan Tirto, Khairul Anshar, inisiator dan penanggung jawab Kawal Pilkada mengatakan bahwa aplikasi tersebut sepenuhnya memanfaatkan dukungan relawan untuk mengumpulkan informasi. Khairul mengatakan bahwa aplikasi Kawal Pilkada, “betul-betul dibuka ke semua, siapa pun bisa men-download (dan menggunakan aplikasi).” Ia menambahkan bahwa Kawal Pilkada “menargetkan ada sekitar 8 ribu sample (yang akan digunakan untuk proses penghitungan yang mereka lakukan).”

Kawal Pilkada mengklaim tidak mendapatkan dana sokongan dari pasangan manapun dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Kegiatan tersebut murni didukung oleh relawan.

Di jagat Twitter, banyak akun yang memposting foto-foto formulir C1 – KWK – PLANO. Formulir tersebut berisi informasi perolehan suara saat penghitungan dimulai.

Selain di Indonesia, crowdsourcing juga eksis di jagat internet seluruh dunia.

Kickstarter dan Indiegogo merupakan contoh layanan internet yang mendulang dana dari para netizen. Kedua layanan tersebut sering disebut sebagai crowdfunding, atau urun dana. Di layanan tersebut, siapa pun pengguna internet yang memiliki ide dalam membuat berbagai konten baik film, musik, pertunjukan, buku, dan gajet, dipersilakan “meminta” dana dari pengguna internet lainnya.

Ide yang diunggah di layanan tersebut, akan dibantu secara bahu-membahu oleh para netizen lain yang merasa ide itu layak diwujudkan. Melalui layanan tersebut, banyak orang-orang bisa mewujudkan cita-citanya membikin sesuatu yang dulu, sebelum internet ada, sulit dilakukan.

Selain itu, ada situsweb bernama Wikipedia. Situsweb tersebut merupakan bagian dari crowdsourcing atau urun daya. Situsweb tersebut menghimpun informasi dari para pengguna internet dalam membangun ensiklopedia online. Setiap orang yang terhubung melalui internet, dipersilakan membagikan pengetahuan yang mereka miliki pada pengguna internet lainnya.

Wikipedia dimaksudkan bagi netizen di seluruh dunia untuk bahu-membahu membangun ensiklopedia yang sangat besar dan menghimpun banyak pengetahuan dan dalam beragam bahasa di dunia. Hasilnya, Wikipedia menjadi salah satu situsweb yang paling banyak dikunjungi dan dijadikan referensi dari berbagai informasi di dunia.

Lain Kickstarter dan Wikipedia, lain pula Change.org. Change.org memungkinkan netizen menanggapi isu atau masalah yang ada di sekitarnya. Isu atau masalah yang ia persoalkan akan dimintakan dukungan melalui situsweb tersebut. Netizen yang merasa suaranya diwakili dalam suatu isu atau masalah bisa memberikan suara mereka dalam bentuk tanda tangan digital melalui situsweb Change.org. Hasilnya, banyak isu atau masalah yang mampu diselesaikan melalui petisi yang terdapat dalam situsweb tersebut.

Dikutip dari situsweb Change.org, situsweb tersebut mengklaim terdapat 180.793.499 orang yang berpartisipasi dalam berbagai isu atau permasalahan. Selain itu, Change.org juga mengklaim memperoleh kemenangan atas 20.666 isu atau permasalahan di 196 negara di dunia. Sebagai contoh, di Indonesia kasus Gloria Natapraja Hamel yang gagal diterjunkan dalam pasukan pengibar bendera pusaka, diklaim dimenangkan atas petisi yang dibuat di situsweb tersebut. Petisi Gloria tersebut, didukung oleh 25.132 tanda tangan digital netizen di Indonesia.

Diwartakan PC World, layanan yang serupa dengan Change.org juga dimiliki oleh Gedung Putih di Amerika Serikat sana. Di tahun 2011, Gedung Putih membangun sebuah inisiatif web yang beralamat di petitions.whitehouse.gov. Jika suatu isu ditandatangani digital lebih dari 5.000 dalam kurun waktu 30 hari sejak suatu isu diposting oleh pengguna internet yang memanfaatkan situsweb tersebut, Presiden Barack Obama berjanji akan langsung membahas isu tersebut.

Dalam masa pemilihan umum, hal yang sama juga terjadi.

Di Kenya, orang-orang memanfaatkan crowdsourcing untuk memonitor kekerasan selama pemilihan di tahun 2007. Informasi-informasi yang terhimpun dikirim melalui SMS, Twitter, dan email yang diintegrasikan dengan Google Maps ke sebuah layanan bernama “Ushahidi” yang berarti “kesaksian.”

Kesuksesan Ushahidi merembet pada peristiwa-peristiwa lain yang turut memanfaatkan source-code atau sumber kode Ushahidi di banyak negara. Di Mesir, Ushahidi dimanfaatkan untuk menghimpun informasi perihal kekerasan seksual. Di Suriah, Ushahidi digunakan untuk merekam serangan yang dialami pada masyarakat sipil. Di Haiti, Ushahidi dimanfaatkan untuk memetakan area pertolongan pasca-gempa bumi yang terjadi di negara tersebut.

Infografik Crowdsourcing

Lalu, mengapa crowdsourcing populer digunakan, terutama dalam masa pemilihan?

Ainun Najib kepada Financial Timesmengatakan bahwa, “kami melakukan ini untuk mengantisipasi robeknya menjadi dua bagian karena adanya dua klaim kemenangan yang tidak bisa diverifikasi siapa pun.” Philips Vermonte, analis politik dari CSIS mengatakan bahwa upaya Kawal Pemilu adalah "lompatan besar terhadap demokrasi Indonesia.”

Apa yang dilakukan Ushahadi, Kawal Pemilu, Kawal Pilkada, dan jagat Twitter adalah antisipasi dari kesesatan informasi yang mungkin ditimbulkan. Saat internet belum sehebat hari ini, informasi hanya dimiliki oleh segelintir orang atau kelompok. Masyarakat umum, sulit melakukan konfirmasi atau verifikasi atas informasi yang mereka miliki. Akibatnya, bukan hal yang aneh terjadinya kekerasan atau hal-hal negatif lainnya.

Selain itu, sebagaimana disarikan dari Wired, urun daya atau crowdsourcing hadir karena 3 hal. Pertama adalah hyperconnectivity. Manusia yang saling terhubung akan mudah memberikan informasi atau apapun satu sama lain.

Faktor kedua adalah critical mass: manusia zaman kini telah berada pada titik kritis dalam koneksivitas online. Manusia akan jauh lebih kritis terhadap permasalahan yang hadir, karena banjir informasi.

Faktor ketiga adalah energy, yang berarti manusia kini memiliki kekuatan berlebih untuk melakukan sesuatu hal. Gabungan ketiga hal tersebut akhirnya melahirkan manusia-manusia yang aktif dan mencoba melawan keadaan.

Lihatlah contoh-contohnya. Kickstarter hadir untuk melawan dominasi kekuatan modal dalam mewujudkan konten. Wikipedia hadir untuk melawan kebodohan melalui pengetahuan yang mudah diperoleh setiap orang yang terhubung ke internet, dan Change.org berperan mengkritik permasalahan-permasalahan yang eksis dalam bermasyarakat. Aplikasi Kawal Pemilu dan Kawal Pilkada maupun para netizen di Twitter hadir untuk bahu-membahu mengontrol jalannya ajang demokrasi.

Optimisme menaungi jagat internet di seluruh dunia.

Baca juga artikel terkait PILGUB DKI JAKARTA 2017 atau tulisan lainnya

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani & Ahmad Zaenudin