Menuju konten utama

Beras Merah yang Sarat Serat Versus Beras Putih

"Belum makan kalau belum makan nasi" adalah sebuah pameo yang lazim di masyarakat Indonesia. Bisa juga diganti dengan ini: "Belum makan kalau belum makan nasi merah."

Beras Merah yang Sarat Serat Versus Beras Putih
Ilustrasi. Beras merah dan Beras. Foto/Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Bertahun-tahun mengidap penyakit diabetes, Oon Project Pop akhirnya meninggal dunia pada Jumat (13/1/2017). Orang terdekat dan rekan-rekannya menganggap Oon mengonsumsi nasi berlebihan yang jadi biang keladi penyakit diabetesnya.

Bagi banyak orang Indonesia, terutama daerah-daerah dengan kebudayaan agraris seperti Jawa dan Sumatera, nasi memang makanan utama. Anda dianggap belum makan jika belum menyantap nasi, meski sudah makan penganan lain-lain.

Data International Rice Research Institute (IRRI) menunjukkan konsumsi beras masyarakat Indonesia yang tertinggi di dunia, mencapai 160 kg/kapita/tahun pada 2000. Sementara itu data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan, konsumsi beras per kapita pada 2014 mencapai 97,23 kg/kapita/tahun.

Beras atau nasi yang kita konsumsi sehari-hari ini memang dipercaya jadi bomwaktu bagi kesehatan. Namun apa boleh buat, kita sudah disuapi sejak kecil dengan makanan pokok yang satu ini. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti Harvard diketahui bahwa konsumsi nasi yang tidak terkendali dapat meningkatkan risiko diabetes tipe dua.

Riset yang dilakukan di empat negara, Cina, Jepang, Amerika Serikat, dan Australia itu menunjukkan bahwa orang yang memakan banyak nasi memiliki 11 persen risiko lebih tinggi mengalami diabetes tipe dua ketimbang yang tidak. Riset yang diikuti oleh 352.384 partisipan ini dilakukan terhadap mereka yang berusia 4 sampai 22 tahun. Penelitian mencakup makanan, pola makan, dan aktivitasnya. Setiap partisipan yang ikut penelitian ini didiagnosis bebas diabetes saat riset dimulai.

Penelitian itu memang belum dapat menyimpulkan apa penyebab naiknya potensi diabetes pada pemakan nasi, tetapi salah satu peneliti menyebutkan bahwa nasi memiliki kandungan tinggi glycemic index (GI).

Tingginya kandungan GI dapat berimbas pada peningkatan risiko penyakit diabetes. Qi Sun, profesor dari Harvard School of Public Health, menyebut banyak orang Asia (90 persen konsumsi beras) yang mengonsumsi beras putih akan berpotensi memiliki diabetes jika tidak hati-hati.

Kesadaran semacam ini sudah menjadi keputusan sebagian orang untuk mencoba mengonsumsi beras alternatif, seperti beras merah yang dianggap lebih sehat. Gita Wirjawan, mantan menteri perdagangan dan ketua PBSI yang sejak beberapa tahun lalu hijrah dari beras putih ke beras merah. Tentu ini bukan keputusan yang mudah. Rasa dan tekstur yang jauh berbeda jauh dengan beras putih membuat beras merah tak mudah jadi pilihan seseorang.

“Memang awalnya tak gampang, namun saya paksa dan akhirnya terbiasa,” kata Gita dikutip dari AyoGitaBisa.

Beras merah dianggap banyak manfaat salah satunya kaya serat yang berkhasiat menekan risiko diabetes dan lainnya. Jenis beras ini hanya contoh dari berbagai varian beras yang ada dengan spesifikasi kandungan nutrisi yang berbeda.

Infografik Nasi Merah

Serat si Merah Versus Putih

Di dunia diperkirakan ada 40.000 varietas beras, tapi secara umum beras dibagi berdasarkan tiga kategori yaitu dari ukurannya yang meliputi beras pendek, medium, hingga panjang. Kategori beras juga mengacu pada kekhususannya seperti basmati, jasmine, dan japonica. Makanan pokok masyarakat di Asia ini juga dikotak-kotakan dari warnanya seperti beras putih, beras merah, hingga beras hitam.

Beras yang paling umum adalah beras putih yang memiliki keunggulan tekstur dan rasa, sehingga banyak dibudidayakan dan dijual di pasar Indonesia, sedangkan beras merah sebaliknya. Harga beras merah memang jauh lebih mahal dari beras putih, bisa 100 persen lebih tinggi. Satu kilogram beras merah dijual sekitar Rp20.000-24.000, bandingkan dengan beras putih yang hanya kurang lebih Rp12.000-13.000 per kg. Mahalnya harga beras merah, ditambah rasa yang tak familiar di lidah orang kebanyakan, membuat beras merah tak mudah dilirik. Padahal, beras ini punya sisi keunggulan daripada beras putih.

Beberapa rumah sakit di Indonesia mencoba mengulas soal manfaat beras merah bagi kesehatan dalam situs resminya. Misalnya Rumah Sakit Mitra Keluarga dan RS IMC Bintaro. Beberapa dokter juga secara gamblang mengungkapkan keunggulan beras ini antaralain, dr. Manfaluthy Hakim, Sp.S(K), yang pernah jadi Ketua Kelompok Studi Neurofisiologi dan Saraf Tepi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) seperti dikutip dari laman Antara.

Nutrisi dalam beras merah sangat penting untuk pembentukan selubung mielin yang melindungi saraf. Beras merah juga dipercaya bermanfaat untuk kesehatan jantung, menurunkan kadar kolesterol jahat, antioksidan. Beras ini juga bisa mengurangi lemak pada tubuh, karena beras merah yang kaya serat membantu dalam membakar lemak, akibat butuh energi lebih banyak untuk mengurainya.

Berdasarkan Self Nutrion Data, dalam setiap 100 gram nasi merah mengandung dieter fiber atau serat makanan sebanyak 2 gram. Bandingkan dengan nasi putih yang nihil. Serat ini lah yang menjadi salah satu keunggulan utama dari beras merah. Kandungan serat pada beras merah berdampak pada glycemic index (GI) yang rendah. GI rendah berimbas pada level glukosa yang juga rendah masuk ke dalam darah. GI merupakan angka yang menunjukkan potensi meningkatnya gula darah yang berasal dari karbohidrat.

“Beras merah sebuah pilihan untuk sehat yang bisa diandalkan. Penelitian menunjukkan dengan beras merah Anda bisa mendapatkan manfaat kesehatan seperti peningkatan asupan serat makanan,” kata Kelly Toups, seorang pakar diet yang terdaftar pada Whole Grains Council seperti dikutip Live Science.

Beras putih atau beras merah itu hanya pilihan. Pilihan-pilihan itu ada di masing-masing orang untuk investasi kesehatan di masa depan. Pilihan yang tepat tentunya akan menentukan kesehatan, tapi apapun pilihannya, sesuatu yang berlebihan tentunya juga tidak baik.

Baca juga artikel terkait DIABETES atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Suhendra & Arman Dhani
Penulis: Suhendra
Editor: Maulida Sri Handayani