Menuju konten utama

Berapa Desibel Suara Speaker Masjid Agar Ramah Kuping?

Suara toa yang menggelegar dari masjid tidak hanya bermasalah dari volumenya, tapi juga dari kualitas suara.

Berapa Desibel Suara Speaker Masjid Agar Ramah Kuping?
Ilustrasi Toa Masjid. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Beberapa waktu lalu Zaskia Adya Mecca, artis penggondol SCTV Award dalam kategori "Famous Supporting Actress" untuk perannya sebagai Aya dalam serial Para Pencari Tuhan, mengkritik penggunaan pengeras suara masjid di daerah rumahnya untuk membangunkan masyarakat sahur. Melalui video yang ia unggah di akun Instagram, Zaskia menyatakan teriakan "sahur" (dengan "u" dan "r" yang sangat panjang) nan keras yang dikumandangkan masjid tidak etis dan mengganggu.

"Trus etis ga si pake toa masjid bangunin model gini? Apalagi kita tinggal di Indonesia yang agamanya pun beragam. Apa iya dengan begini jadi tidak mengganggu yang lain tidak menjalankan Shaur?" tulis Zaskia.

Kritik atas penyalahgunaan penggunaan pengeras suara masjid berbuah hujatan, berbuah tagar #ZaskiaMabokToa di Twitter khususnya dari mereka para warga maya Indonesia. Beruntung bagi Zaskia, hujatan berakhir usai ia mengundang sosok di balik teriakan sahur dan mengunggahnya di Youtube.

Tentu, kritik penyalahgunaan penggunaan pengeras suara masjid tak hanya dilayangkan Zaskia. Pada 2018 silam, warga Tanjung Balai, Sumatera Utara bernama Meiliana pun melakukan hal serupa. Ia mengeluhkan dan mengkritik kebisingan dari pengeras suara masjid di dekat rumahnya terutama adzan. Penggunaan pengeras suara yang tidak pada tempatnya itu juga sering dilakukan dalam tempo yang lama. Sayang, tak seperti akhir kisah Zaskia, keluhan Meilina berbuah gugatan pasal 156 subsider 156a KUHP Pidana tentang penistaan agama oleh pihak kepolisian hingga menyebabkan dirinya dikurung selama 1,5 tahun.

Meskipun Zaskia tidak bernasib seperti Meilina, tagar #ZaskiaMabokToa merupakan bukti bahwa Zaskia merupakan korban dari penyalahgunaan pengeras suara masjid. Korban dari, mengutip apa yang disebut mantan Ketua Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla, "polusi udara."

Toa yang Menggelegar

Sejak Masjid Agung Surakarta menjadi yang pertama menggunakan pengeras suara untuk mengumandangkan adzan, lebih dari 239.000 masjid di seluruh Indonesia melakukan langkah serupa. Kala itu, pada 1970-an, polemik apakah pengeras suara bid'ah atau tidak mulai sirna.

Pengeras suara, yang umumnya dipakai masjid berjenis speaker corong buatan TOA Electric Manufacturing Company asal Jepang (dan karenanya tenar dengan sebutan "Toa"), menjamur di masjid-masjid. Toa tak hanya digunakan untuk peruntukan utamanya, adzan, tetapi juga untuk mengumandangkan puji-pujian, dzikir, pengajian, ceramah, tarhim (membangunkan orang sebelum waktu Subuh tiba), hingga membangunkan sahur.

Sayangnya, speaker corong ala Toa bukanlah sound system seperti yang digunakan konser-konser musik.

Pada 2018 silam, Tirtomewawancarai dua orang yang sehari-hari bergelut dengan suara. Gunawan, teknisi sekaligus pebisnis jual-beli sound system di Jakarta, menuturkan bahwa pengeras suara yang digunakan pada konser musik umumnya mengedepankan kualitas suara, sementara speaker yang digunakan masjid lebih mementingkan radius keterdengaran suara. Agar suara dapat terdengar jauh, speaker corong umumnya harus memiliki frekuensi antara 200 Hz hingga 6.000 Hz (setara dengan 0,2 kHz hingga 6 kHz).

Yogie Natasukma, seorang sound engineer asal Jakarta, menyebut bahwa speaker yang umum dipasang di masjid-masjid Indonesia memiliki frekuensi antara 1 kHz hingga 5 kHz. Maka, tatkala speaker yang digunakan dalam konser musik cuma dapat terdengar dalam radius 15 meter, Toa yang digunakan masjid bisa didengar dalam radius 500 meter dari titik speaker berada, dan meningkat hingga 1 kilometer di malam hari atau di wilayah perkampungan yang renggang penduduknya. Dalam radius yang besar ini, speaker Toa menghasilkan tingkat kebisingan suara (tekanan suara) sebesar 110 dB (desibel). Ia mengatakan, frekuensi speaker corong memang unggul soal radius, tetapi "suara yang keluar dari speaker tidak nyaman di telinga manusia" apalagi dalam tempo yang terlalu lama. Ini pangkal masalah dari kritik yang diutarakan Zaskia ataupun Meilina.

Panshaiskpradi, dalam studi berjudul "Resepsi Khalayak Mengenai Tarhim" (Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 2 2019), yang bersumber dari penelitiannya di Masjid Jami' Ar-Rohmah, Bandung, menyatakan keluhan dari masyarakat muncul tatkala speaker masjid disetel dalam volume tinggi, khususnya dalam penggunaan speaker di luar adzan. Keluhan umumnya berasal dari mereka yang tinggal dekat dengan masjid. Sayangnya, jarang ada warga di sekitar Masjid Jami' Ar-Rohmah yang berani mengutarakan keluhan karena, mengutip salah satu responden, "gak berani".

Sejurus dengan temuan Panshaiskpradi, melalui kuisioner terhadap 342 warga Indonesia, Anugrah Sabdono Sudarsono, dalam studi berjudul "The Perception of Sound Quality in a Mosque" (Advanced Industrial technology in Engineering Physics 2019), menyebut 45 persen responden mengaku merasa negatif terhadap kualitas suara speaker masjid. Mereka menganggap kualitas speaker bermasalah dan atau terlalu keras.

Al Shimemeri, dalam studinya berjudul "Assesment of Noise levels in 200 Mosque in Riyadh, Saudi Arabia" (Avicenna Journal of Medicine, Vol. 1 2011), menyatakan bahwa tingkat kebisingan tertinggi di 200 masjid di Riyadh yang ditelitinya dalam rentang September hingga Oktober 2007 berada di angka 85,8 dB (untuk speaker yang berada di dalam masjid) dan 87,8 dB (untuk speaker yang berada di luar masjid). Sementara itu, titik terendah tingkat kebisingan berada di angka 56,6 dB (di dalam) dan 58,4 dB (di luar).

Seturut dengan itu, dalam studi berjudul "Evaluation of Noise Pressure Level at Mosque at the Time of Religious Ceremonies" yang dilakukan Mohammad Samsoddin, tingkat kebisingan speaker di Iran, tanpa mengikutkan adzan, berada di sekitaran 87,14 dB, 90,31 dB, dan 93,91 dB.

Masalahnya, menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) hingga National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH, badan yang mengurus masalah kesehatan di Amerika Serikat), manusia umumnya akan mengalami gangguan kesehatan tatkala mendengarkan suara yang memiliki tingkat kebisingan di atas 55 dB, wabilkhusus yang terdengar dalam tempo lama.

NIOSH merekomendasikan suara yang memiliki tingkat kebisingan yang berada lebih dari 90 dB tidak boleh didengarkan lebih dari 1 jam. Artinya, relatif tidak ada masalah yang ditimbulkan manakala speaker masjid digunakan untuk keperluan utamanya, adzan. Namun akan menghasilkan dampak negatif apabila, seperti yang dikritik Zaskia, digunakan untuk membangunkan orang saat sahur atau keperluan lainnya.

Baca juga artikel terkait SAHUR atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf