Menuju konten utama

Bendungan & Limbah, Dua Sisi Pengelolaan Air yang Belum Teratasi

Pembangunan bendungan dan penanganan limbah di Indonesia ternyata banyak menyebabkan masalah lingkungan. Apa saja?

Bendungan & Limbah, Dua Sisi Pengelolaan Air yang Belum Teratasi
Foto udara Bendungan Ameroro di Kecamatan Uepai, Konawe, Sulawesi Tenggara, Selasa (14/5/2024). ANTARA FOTO/Jojon/foc.

tirto.id - Universitas Diponegoro (UNDIP) menggelar forum jurnalis dan akademisi bertajuk "Menghadapi Krisis Air: Tantangan dan Solusi Untuk Keberlanjutan di Indonesia", via Zoom, Minggu (29/9/2024).

Dalam diskusi tersebut, Guru Besar Fakultas Teknik UNDIP, Syafrudin, menjelaskan soal permasalahan Sumber Daya Air (SDA) di Indonesia.

"Yang pertama kita tahu, adalah meningkatnya jumlah limbah, perubahan penggunaan tata guna lahan, sehingga mengakibatkan erosi," kata Syafrudin, dalam diskusi, Minggu (29/9/2024).

Kemudian, kata Syafrudin, rendahnya kesadaran peran masyarakat, dan pengawasan terhadap mekanisme perizinan terhadap pemanfaatan air yang tidak dilakukan dengan baik.

Padahal, kata Syafrudin, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air, telah diatur, soal menjamin pelestarian fungsi air dan sumber air untuk menunjang pembangunan.

Kemudian, dalam Undang-Undang tersebut, juga diatur terkait pemberian izin dari pemerintah kepada pengguna sumber daya air, untuk kebutuhan komersial.

Oleh karena itu, Syafrudin mengatakan, terdapat Perspres 37/2023 tentang Kebijakan Nasional Sumber Daya Air dan PP Nomor 30 Tahun 2024.

"Sejak itu kita mengenal adanya IWRM, atau Integrated Water Resorce Managemen yang terpadu. Nah pengelolaan sumber daya air yang terpasu inilah, yang kita harapkan untuk mengatasi di dalam persoalan-persoalan ke depan," ujarnya.

Selain itu, Syafrudin mengatakan, untuk mengelola sumber daya air yang berkelanjutan, bisa dilakukan dengan pemanenan air hujan, dengan prinsip tampung, resapkan, alirkan.

"Kita bisa lakukan pada saat musim hujan, dan kita gunakan pada saat musim kemarau, kita lakukan pada skala rumah tangga," tuturnya.

Selain itu, para pelaku industri juga bisa melakukan tampung air hujan, agar tidak menggunakan air tanah secara berlebihan.

Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Teknik UNDIP lainnya, Nyoman Widiasa, mengatakan, telah terdapat teknologi membran yang dapat digunakan untuk pengelolaan air.

Nyoman mengatakan, membran tersebut berbentuk lembaran atau serat, yang memiliki sifat selektif, terhadap perpindahan massa.

Membran ini, kata Nyoman, mampu menyisihkan warna, bakteri, virus, logam berat dan garam, sehingga dapat menghasilkan air bersih.

Namun, dalam perjalanan teknologi ini, kata Nyoman, mendapatkan banyak hambatan untuk diterapkan.

"Sebagus apa pun peraturan kalau tidak memberikan manfaat langsung kepada yang melakukan itu. Itulah sebenarnya kendala utama," kata Nyoman.

Sambil menunjukkan alat buatannya, Nyoman mengatakan banyak kendala yang dihadapi dalam proses pembuatannya, hingga sempat merasakan patah semangat.

"Membuat mesin ini, patah semangat, karena banyak kendala, kemudian sekarang didorong lagi oleh UNDIP untuk bisa berjalan di daerah ya, berjalan lagi," tuturnya.

Nyoman mengatakan, alatnya tersebut, telah didesain menggunakan truk kecil yang bisa dibawa ke desa-desa untuk membantu menyaring air bersih.

Kemudian, narasumber lainnya, Alief K. Sahide, yang merupakan Guru Besar Universitas Hasanuddin mengatakan, adanya masalah pencemaran air di lingkungan, tidak dapat diatasi dengan giat bersih-bersih sungai.

Alief mengatakan, hal tersebut semacam tindakan lempar tanggung jawab dari pemerintah pada masyarakat. Seharusnya, penggalakan terhadap perilaku buruk masyarakat yang kerap membuang sampah sembarangan harus diatasi terlebih dahulu.

"Secara cepat kita merasa, wah ada gerakan bersih sungai, misalnya ya, ini bersih tapi, satu minggu setelahnya hancur lagi, karena tidak ada inspranata lokal yang dibangun secara komuning," kata Alief.

Selain itu, Alief juga menyebut soal pembangunan bendungan di Indonesia, yang mengakibatkan kekeringan dilingkungan sekitarnya.

"Di Eropa sudah mulai sadar, mereka banyak menghancurkan bendungan mereka, karena banyak meninggalkan banyak masalah tapi kita tetap terus saja memproduksi banyak bendungan-bendungan besar," ujarnya.

Alief mengatakan, dirinya menyaksikan langsung bagaimana warga di sekitar bendungan Bili-bili, Makassar mengalami kekeringan akibat bendungan tersebut.

Alief menyebut, dengan adanya sebuah bendungan dapat menghambat laju sedimen ke laut sehingga memperburuk erosi pantai.

Selain itu, keanekaragaman hayati di sekitar bendungan juga tergerus, dan sungai yang sebelumnya menjadi jalur migrasi ikan, dan menuju laut terblokade, atau mengalami penurunan debit air.

"Seiring dengan waktu, kompleksitas masalah yang ditimbulkan dari bendungan-bendungan besar ini, banyak menimbulkan isu sosial, isu ekonomi, dan isu keadilan," ujarnya.

Baca juga artikel terkait BENDUNGAN atau tulisan lainnya dari Auliya Umayna Andani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Auliya Umayna Andani
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Anggun P Situmorang