Menuju konten utama

Bendamustin, Harapan Baru bagi Pasien Kanker Limfoma

Terapi baru ini memberi harapan hidup lebih panjang pada pasien kanker limfoma.

Bendamustin, Harapan Baru bagi Pasien Kanker Limfoma
Ilustrasi pemeriksaan limfoma. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pria itu adalah pendiri Grup Dexa, salah satu perusahaan farmasi di Indonesia. Namun, empat tahun lalu ia didiagnosis menderita kanker Limfoma Non-Hodgin. Dialah Rudy Soetikno.

Penyakit jantung yang diderita Rudy membuatnya tak bisa mendapatkan regimen kemoterapi standar pasien limfoma. Namun, Rudy tak menyerah. Selama setahun lebih, ia pergi bolak balik Jerman-Indonesia guna mendapatkan terapi alternatif. Seorang sahabat sekaligus dokter ahli kanker, Dr.Med Lothar Boning di Jerman merekomendasikan pengobatan dengan kombinasi bendamustine dan rituximab.

Limfoma adalah istilah untuk berbagai kanker darah dalam sistem limfatik yang menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening. Kanker ini disebabkan karena sel-sel melawan infeksi sistem kekebalan tubuh, yang disebut limfosit. Sel-sel ini berada di kelenjar getah bening, limpa, timus, sumsum tulang, dan bagian tubuh lainnya.

Limfoma berbeda dengan leukemia. Sementara leukemia berawal dari sel pembentuk darah di dalam sumsum tulang, kanker limfoma berawal dari limfosit yang melawan infeksi. Gejalanya bisa berupa pembengkakan kelanjar getah bening di leher, ketiak, atau selangkangan. Lalu reaksi batuk, sesak napas, demam, berkeringat di malam hari, sakit perut, kelelahan, berat badan turun, dan gatal-gatal.

Untuk membedakannya, limfoma dibagi menjadi dua jenis, yakni limfoma Hodgkin (LH) dan limfoma Non-Hodgkin (LNH). Hanya sekitar 10 persen pasien limfoma didiagnosis jenis LH, sementara 90 persen lainnya merupakan pasien LNH. Perbedaannya terletak pada jenis sel limfosit yang diserang kanker. Pada tipe LH terdapat sel abnormal Reed-Sternberg, tapi tidak pada tipe LNH.

Ada beberapa penyebab yang meningkatkan risiko orang terkena limfoma. Salah satunya adalah berjenis kelamin laki-laki dan telah berusia lebih dari 60 tahun. Yang lainnya berkaitan dengan sistem imun lemah, genetika keluarga, kelebihan berat badan, terapi khusus, dan kontaminasi benzena.

Lazimnya, pengobatan limfoma dilakukan dengan kemoterapi, terapi radiasi, atau imunoterapi. Namun, terapi ini tak dapat dilakukan pada pasien yang punya riwayat penyakit tertentu seperti Rudy dengan penyakit jantungnya. Ia beruntung karena bisa menjalani terapi bendamustin di Jerman.

Bendamustin sudah ditemukan sejak 50 tahun lalu, tapi di Indonesia, bahkan Singapura yang digadang punya fasilitas kesehatan lebih maju, saat itu belum punya akses terhadap pengobatan ini.

Pengobatan yang dijalani Rudy di Jerman berhasil. Kanker limfomanya bisa terkontrol selama setahun lebih, meski di penghabisan Juni 2015, ia meninggal akibat serangan jantung pada usia 82 tahun. Meski begitu, pengalaman Rudy menjalani terapi bendamustin di Jerman tak sia-sia. Ia memelopori produksi obat tersebut di Indonesia sejak 2014.

infografik limfoma

Harapan bagi Peserta BPJS

Obat untuk menyembuhkan kanker memang belum ditemukan. Namun, penyakit ini dapat dikendalikan untuk meningkatkan harapan hidup pasien. Begitu juga dengan limfoma. Semakin muda usia pasien, baik performanya (tidak sakit-sakitan), dan rendah stadiumnya, maka penyakitnya semakin mudah ditekan.

“Kita berusaha menekan benjolan pada pasien, tetapi tidak bisa menghilangkannya hingga 100 persen,” kata dr. Hilman Tadjoedin, Sp.PD-KHOM, Ketua Himpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia dalam diskusi di Bintaro, beberapa waktu lalu.

Terapi baru dengan kombinasi bendamustin memberi harapan baru bagi pasien limfoma, terutama kanker dengan stadium rendah. Obat ini dipercaya lebih ampuh menekan sel-sel ganas pada kanker limfoma.

Penelitian yang dilakukan Prof Dr Mathias J Rummel MD dkk, pada 2013 menunjukkan kelebihan terapi bendamustin dibanding terapi lainnya. Peneliti dari RS Universitas Giessen di Jerman ini melakukan uji coba di 81 pusat kesehatan di Jerman, pada 1 September 2003 hingga 31 Agustus 2008.

Sampelnya merupakan pasien berusia 18 tahun atau lebih yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama memakai kombinasi rituximab dengan bendamustin. Kelompok kedua menggunakan rituximab dengan siklofosfamid, doksorubisin, vinkristin, dan prednison (CHOP), standar perawatan pertama untuk pasien dengan limfoma.

Hasilnya bendamustin lebih efektif untuk pengobatan LNH dibanding CHOP. Ia menjadi pengobatan lini pertama yang disukai dibandingkan CHOP karena memberi harapan hidup lebih tinggi dengan efek toksik yang lebih sedikit.

Dalam kesempatan yang sama, Rummel menjelaskan terapi bendamustin dapat meningkatkan masa bebas penyakit pasien LNH sebanyak 73,9 persen selama 10 tahun.

“Angka kematian pasien dengan bendamustin lebih sedikit dibandingkan angka kematian pasien terapi standar,” kata Rummel.

Namun, masalah selanjutnya adalah biaya. Sebelum diproduksi di Indonesia, pasien limfoma yang ingin mendapat terapi dengan bendamustin harus merelakan waktu dan uangnya untuk bolak-balik berobat di luar negeri. Atau, mengimpor obat tersebut dari negara yang memiliki akses, seperti Jerman.

Harganya, bisa mencapai $4,320 per dosis atau sekitar Rp58,5 juta. Untuk satu siklus perawatan, pasien perlu mengeluarkan biaya hingga $8,640, setara dengan Rp117 juta. Namun, produksi dalam negeri mampu memangkas biaya terapi ini hingga mencapai 50 persen. Artinya, pasien harus mengeluarkan uang sekitar Rp60 juta dalam sekali siklus pengobatan.

Masalahnya, bagi masyarakat kelas menengah dan menengah-bawah, biaya sebesar Rp60 juta tetap saja beban berat. Karenanya, RS Kanker Dharmais sedang mendorong obat ini masuk formularium nasional, dan diharapkan dapat digunakan pasien BPJS pada 2018.

Baca juga artikel terkait KANKER atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani