tirto.id - Minggu (5/8/2018), pukul 18.46 WIB, Pulau Lombok diguncang gempa berkekuatan 7 Skala Richter (SR). Pusat gempa bumi berkedalaman 15 km itu terletak di darat dengan jarak 18 km barat laut Lombok Timur, NTB atau 22 km timur laut Lombok Utara, NTB.
Sepekan sebelumnya (29/7/2018), gempa berkekuatan 6,4 SR juga mengguncang Lombok. Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman mengatakan kepada Antara sumber dua gempa yang melanda Lombok adalah satu bidang patahan yang sama.
Danny menjelaskan, gempa dengan kekuatan 7 SR disebabkan oleh pergerakan satu bidang patahan atau sesar dengan kemiringan 30 derajat sejauh dua hingga tiga meter. Gempa tersebut adalah gempa utama, sedangkan gempa yang terjadi minggu sebelumnya adalah gempa pembuka. Menurut Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono, sesar yang menyebabkan gempa Lombok bernama Sesar Naik Flores.
Jumlah korban meninggal dunia dalam gempa Lombok mencapai 98 orang, sementara 236 orang lainnya dilaporkan luka-luka. “Diperkirakan jumlah korban dan kerusakan akibat dampak gempa akan terus bertambah. Mengingat belum semua daerah terdampak gempa dapat dijangkau petugas Tim SAR gabungan," ujar Sutopo Purwo Nugroho selaku Kepala Pusat Data, Informasi, dan humas BNPB melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Senin (6/8/2018) malam.
Korban gempa Lombok tercatat ada di Kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Utara, dan Kota Mataram serta Denpasar. Namun, Sutopo mengatakan bahwa korban meninggal dunia terbanyak ada di Lombok Utara, yakni 72 orang.
Banyak gempa susulan terjadi setelah gempa besar berkekuatan 7 SR mengguncang Lombok. Hingga Senin (6/8/2018) pukul 15.00 WIB, tercatat 170 gempa bumi susulan melanda Pulau Seribu Masjid tersebut.
Sutopo Purwo Nugroho menyatakan bahwa tim gabungan yang diturunkan ke lapangan tengah fokus pada aktivitas pencarian, evakuasi, dan pertolongan pada masyarakat yang terkena gempa. Ia juga menyatakan bahwa masyarakat Lombok membutuhkan beberapa hal dasar yang kini mendesak, salah satunya adalah layanan trauma healing.
Yang Selamat, Yang Depresi
Seperti banyak negara Asia lainnya, Indonesia juga rawan gempa. Menurut Masahiro Kokai dkk dalam Natural Disaster and Mental Health in Asia(2004: 110), letak geografis membuat negara-negara di Asia lebih rentan bencana dibandingkan kawasan-kawasan lainnya. Secara khusus, kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara sering dilanda gempa. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa kedua wilayah berada di jalur Sabuk Gempa Pasifik (Circum-Pasific Seismic Belt). Sekitar 90% dari gempa yang terjadi dan 81% dari gempa bumi terbesar terjadi di daerah yang berada di Sabuk Gempa Pasifik.
Tak hanya menimbulkan kerugian material, gempa bumi dan bencana alam lain turut memengaruhi kesehatan mental para korban selamat. Usai bencana melanda, para korban selamat tak jarang mengalami trauma, ketakutan, dan syok akibat kehilangan keluarga atau kerabat, serta rumah. Di tengah kondisi tersebut, layanan trauma healing seperti yang disampaikan Sutopo Purwo menjadi metode pemulihan kesehatan mental para korban pasca-bencana.
Lewat penelitian terhadap korban gempa bumi Hanshin-Awaji di Jepang pada 1995, Kato H dan rekan-rekannya mendapati fakta bahwa para korban yang selamat menderita gangguan tidur, depresi, gampang marah, dan hipersensitif.
Kato H. dkk meneliti soal gejala jangka pendek pasca-trauma yang dialami oleh warga yang dievakuasi kala itu. Ada 142 orang yang berusia di bawah 60 tahun dan para lansia yang tinggal di dekat pusat gempa yang menjadi responden dalam riset ini. Skala Gejala Pasca-trauma digunakan untuk menilai respons para korban yang tinggal di pengungsian pada minggu ketiga usai gempa bumi berkekuatan 7,2 SR itu terjadi. Sebanyak 123 orang berusia tua dan muda yang tinggal di pusat pengungsian lain pada minggu kedelapan setelah gempa juga menjadi subjek penelitian.
Riset tentang hubungan antara bencana dan gangguan jiwa juga datang dari Masahiro Kokai beserta tim peneliti yang mengangkat isu soal prevalensi morbiditas psikiatri setelah gempa Hanshin-Awaji. Menurut laporan bertajuk "Natural disaster and mental health in Asia" yang diterbitkan jurnal Psychiatry and Clinical Neurosciences (2004) ini, istilah morbiditas psikiatri mengacu pada kerusakan fisik dan psikologis akibat kondisi kejiwaan. Metode yang ditempuh Kokai dkk adalah mengobservasi korban gempa Hanshin-Awaji.yang dirawat jalan di sebuah rumah sakit universitas.
Hasilnya, gangguan kecemasan sebagai dampak langsung dari kejadian yang traumatis jamak ditemukan pada pasien pada bulan pertama setelah gempa. Umumnya, korban bencana mengalami depresi. Namun, jumlah kasus depresi berkurang dalam waktu satu tahun. Korban selamat yang depresi biasanya menganggur, terus memikirkan beban untuk kembali membangun rumahnya, mengalami kelelahan fisik, dan kesulitan menyesuaikan diri di tempat rekolasi.
Selain morbiditas psikiatri, Kokai dkk juga menemukan kasus Gangguan Stress Pascatrauma atau Post-traumatic Stress Disorder (PTSD). Dari 322 pasien yang dirawat jalan di rumah sakit universitas, terdapat enam korban yang menderita PTSD karena gempa. Hasil tersebut didapat setelah tim periset mengamati subjek penelitian dengan menggunakan pedoman Diagnostic and Statistical manusal of Mental Disorders.
Associate Professor Komunikasi dan Kesehatan Publik University of Missouri-Columbia J. Brian Houston dan Manajer Program Kesehatan Mental Bencana Disaster and Community Crisis Center Jennifer M. First mengatakan bahwa PTSD menjadi problem kesehatan mental yang banyak diteliti oleh psikologi dan psikiater terkait topik korban bencana alam. Lebih lanjut, Houston dan First menjelaskan bahwa persoalan kesehatan mental pasca-bencana dapat menimbulkan masalah sosial yang tak kalah gawat, yakni kekerasan domestik.
Houston dan First merujuk kajian yang dilakukan oleh Institute for Women’s Policy Research setelah badai Katrina melanda Amerika Serikat pada 2005. Menurut riset tersebut, perempuan menghadapi potensi kekerasan fisik, mental, dan emosi yang lebih besar di tengah situasi bencana dan pasca-bencana. Kesimpulan ini diperoleh setelah Institute for Women’s Policy Research menemukan bahwa tingkat kekerasan berbasiskan gender (termasuk kekerasan domestik) di negara bagian Mississippi meningkat di antara perempuan yang tinggal di tempat pengungsian sementara.
"Ada kemungkinan si pelaku kekerasan merasa kehilangan kontrol setelah bencana. Mereka melakukan kekerasan agar kembali memperoleh kontrol dalam hubungan-hubungan personal mereka," tulis Houston dan First. Ia menegaskan bahwa acara-acara di balai pengungsian bisa membantu korban selamat untuk kembali terhubung dengan keluarga dan teman, sehingga mengurangi beban mental mereka.
Editor: Windu Jusuf