tirto.id - Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin mempertanyakan sikap kepolisian yang menganggap tidak ada unsur pidana dalam penggerudukan kantor Radar Bogor oleh kader PDI Perjuangan, pada Rabu (30/5). Kesimpulan tersebut dinilai berpotensi menjadi ancaman bagi kebebasan pers.
“Pernyataan tersebut bisa dianggap permisif terhadap tindakan main geruduk kepada media. Bila tidak ada kecaman dan tindakan hukum, saya khawatir akan ada tindakan sejenis yang lebih banyak,” kata Nawawi kepada Tirto, Senin (4/5/2018).
Nawawi mengatakan kepolisian seharusnya melakukan penyelidikan lebih mendalam terhadap kasus ini, bukan justru bersikap sebaliknya dan tergesa-gesa menyimpulkan. “Polisi perlu buat penyelidikan supaya jelas ada atau tidaknya tindak pidana dan lebih proaktif dalam memberikan perlindungan kepada pers,” kata dia.
Pernyataan Nawawi ini menjadi respons atas komentar Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Setyo Wasisto yang menyebut tidak ada unsur pidana dalam peristiwa penggerudukan itu. Menurut Setyo, hal itu berdasarkan informasi yang didapat dari Kapolres Bogor Kota, Kombes Pol Ulung Sampurna Jaya yang menangani kasus tersebut.
“Info terakhir dari Polresta Bogor yang pertama tidak ada masalah pidana,” kata Setyo, di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Minggu (3/6/2018).
Selain itu, masih berdasarkan dari informasi Kombes Pol Ulung Sampurna, kata Setyo, kedua belah pihak, baik dari PDIP maupun Radar Bogor sudah menggelar pertemuan terkait peristiwa pengerudukan itu.
Pernyataan Setyo direspons negatif oleh sejumlah pihak, mulai dari LBH Pers hingga Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak.
“Bagi saya sikap polisi seperti itu seperti menghina nalar sehat publik, seperti mempertontonkan ekstravaganza ketidakadilan tanpa malu-malu. Kasus penyerangan dan intimidasi seperti ini seringkali tidak diselesaikan secara hukum sampai tuntas,” kata Dahnil kepada Tirto, Senin kemarin.
Menurut Dahnil, tindakan penggerudukan terhadap pers seperti Radar Bogor merupakan bentuk tindakan pidana dan ancaman terhadap demokrasi di Indonesia.
“Intimidasi kepada siapa saja termasuk pers harus ditindak secara pidana agar tidak terulang, seperti juga yang terjadi kepada Kompas, Tempo dan terakhir Radar Bogor. Intimidasi terhadap pers adalah intimidasi terhadap jantung kebebasan berpendapat,” kata dia.
Dahnil mengingatkan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian bisa saja menurun, serta muncul anggapan kalau polisi hanya tegas terhadap lawan politik penguasa.
“Jadi, jangan salahkan publik apabila menganggap polisi tidak bisa berlaku adil, seringkali tegas kepada mereka yang menjadi lawan politik penguasa, namun tidak demikian dengan pendukung pemerintah,” kata dia.
Hal senada diungkapkan pengacara LBH Pers Ade Wahyudin. Ia menyebut, jika kasus ini tidak diusut tuntas, maka kepolisian sudah melakukan pembiaran terhadap tindak pidana atau pelanggaran HAM, termasuk didalamnya kebebasan pers.
Menurut Ade, jika merujuk pada pemberitaan di media massa tentang dugaan adanya tindakan intimidasi dan pengrusakan properti, maka kasus penggerudukan yang terjadi di kantor Radar Bogor itu berpotensi melanggar sejumlah pasal.
Pertama, Ade menilai, tindakan kader PDIP tersebut merupakan tindakan pidana yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yaitu Pasal 18 ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000.
Kedua, terkait dugaan kasus tindak pidana kekerasan terhadap orang dan barang secara bersama-sama di kantor Radar Bogor, kata Ade, para pelaku berpotensi melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara lima tahun enam bulan atau penganiayaan sebagaimana dalam Pasal 351 ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
Ketiga terkait dugaan kasus tindak pidana pengerusakan alat-alat kantor, kata Ade, maka para pelaku juga berpotensi melanggar Pasal 406 ayat 1 KUHP dengan ancaman penjara dua tahun delapan bulan. “Pasal di atas merupakan delik umum sehingga pihak kepolisian bisa aktif melakukan proses hukum tanpa harus menunggu adanya pengaduan dari korban,” kata Ade.
Untuk itu, Ade menuntut, agar Kapolri Jendral Polisi Tito Karnavian segera memerintahkan anggotanya mengusut tuntas peristiwa dugaan tindakan-tindakan tersebut, tanpa harus menunggu pelaporan atau pengaduan dari pihak korban, untuk mencegah kejadian tersebut terulang kembali.
Radar Bogor Meminta Maaf
Pemimpin Redaksi Radar Bogor Tegar Bagja tidak mau berkomentar terkait ada tidaknya unsur pidana dalam penggerudukan kemarin.
“Saya enggak kompeten untuk menegaskan apakah aksi kemarin ada atau tidak unsur pidananya. Itu ranah Polri. Toh rekaman video terkait hal ini viral di media sosial,” kata Tegar kepada Tirto, Senin kemarin.
Dalam kasus ini, Tegar mengatakan, pada 1 Juni 2018 sudah ada pertemuan antara pihak Radar Bogor dan PDIP di Graha Pena Radar Bogor. Pada pertemuan itu, Tegar mengatakan, kalau dirinya telah meminta maaf kepada Megawati terkait infografis yang dimuat Radar Bogor soal gaji pejabat BPIP.
“Saya meminta maaf kepada Bu Mega jika infografis yang dibuat dinilai tendensius,” kata dia.
Menurut Tegar, permintaan maaf dirinya membuat kasus tersebut sudah selesai. Tetapi pada pertemuan itu tidak ada kesepakatan kedua belah pihak untuk tidak membawa kasus tersebut ke ranah hukum.
“Sengkarut kami sudah selesai dipertemukan yang kemudian menghasilkan permintaan maaf saya ke Bu Mega. Setelah itu tidak ada pertemuan dan kesepakatan lainnya,” kata Tegar.
Tegar mengakui bahwa dalam insiden tersebut telah terjadi perusakan properti dan pemukulan terhadap staf Radar Bogor. "Mereka merusak properti kami, meja rapat hancur, kursi dibanting-banting. Secara fisik satu orang staf kami ada yang dipukul tapi ditangkis,” ucap Tegar.
Sayangnya kasus tersebut belum dilaporkan kepada pihak kepolisian. Tegar beralasan jika dirinya menunggu perintah dari pimpinan perusahaan Radar Bogor untuk menindaklanjuti kasus tersebut.
“Kami perusahaan pers. Ada pimpinan dan komisaris. Jika ada situasi yang prinsipil dan menyangkut perusahaan, saya tunggu mandat mereka,” kata Tegar.
Sikap Tegar Bagja disayangkan Koordinator Divisi Penelitian Remotivi, Muhammad Heychael. Menurutnya respons simpatisan PDIP yang melakukan penggerudukan amat tidak tepat karena melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan bersifat anarkhis.
"Saya kira tidak tepat bila Redaktur Radar Bogor meminta maaf, karena sama saja membenarkan tindakan premanisme," ucap Heychael kepada Tirto, Selasa (5/6/2018).
Heychael menyarankan agar Radar Bogor melaporkan kasus tersebut ke pihak kepolisian. “Harusnya justru laporkan ke polisi dengan UU Pers dan meminta pihak terkait yang merasa dirugikan menggunakan jalur Dewan Pers,” kata dia.
Sedangkan menurut Ade Wahyudin, permintaan maaf yang dilakukan Tegar Bagja tidak berarti Radar Bogor mengakui kesalahan dalam pembuatan berita tentang Megawati. Menurutnya permintaan maaf Tegar juga bisa diartikan sebagai bentuk kerendahan hati dari pihak Radar Bogor.
“Meminta maaf bukan berarti dirinya salah, tapi kebesaran atau kerendahan hati seseorang. Misalkan meminta maaf jika berita Radar Bogor menimbulkan ketidaknyamanan di partai dan lain sebagainya,” kata Ade.
Ade menegaskan, kalau terkait kode etik jurnalistik, hanya Dewan Pers yang berhak memutuskan apakah pemberitaan di Radar Bogor itu melanggar kode etik atau bukan. Tetapi untuk dugaan tindakan kekerasan dan pengrusakan properti kantor harus tetap diusut melalui hukum pidana.
“Maaf itu terkait berita, sedangkan tindakan kekerasan murni pidana,” kata Ade.
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Abdul Aziz