tirto.id - Penggerudukan kantor Radar Bogor pada Rabu (30/5) oleh para kader PDIP menuai protes para aktivis prodemokrasi dan organisasi pers. Apa yang dilakukan kader PDIP dinilai sebagai ironi atas sejarah perjalanan mereka saat masih bernama PDI yang pernah mengalami intimidasi di era Orde Baru.
“Kalau ini sih (penggerudukan Radar Bogor) dia (PDIP) memperjuangkan demokrasi tapi dia menindas demokrasi. Ada ironi di sana,” kata Pengacara Publik LBH Jakarta Ahmad Fathana Haris saat unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Sabtu (02/03/2018).
Fathana mengatakan penggerudukan yang dilakukan kader PDIP merupakan persekusi pertama yang dilakukan institusi partai politik terhadap lembaga pers. Biasanya, persekusi semacam itu dilakukan oleh oknum perseorangan atau organisasi kemasyarakatan (ormas). PDIP seolah lupa dengan sejarahnya sendiri yang pernah mengalami intimidasi di era Orde Baru dan kemudian mendorong lahirnya reformasi 1998 demi memperbaiki kehidupan berdemokrasi.
Fathan mengatakan mestinya keberatan kader PDIP terhadap judul utama Radar Bogor disampaikan ke Dewan Pers. Namun arogansi untuk enggan menyelesaikan sengketa pemberitaan sesuai ketentuan undang-undang membuat PDIP memilih aksi persekusi.
“Sebenarnya apakah orang-orang itu (kader PDIP) mengikuti instruksi bosnya atau mengikuti instruksi undang-undang? Ketika mengikuti instruksi undang-undang, maka jalurnya lewat Dewan Pers,” katanya.
“Karena ketika berita itu jadi karya jurnalistik, itu kan harus dianggap bahwa ini harus dihargai. Ketika itu tidak dihargai maka munculah premanisme.”
Ketua Serikat Pekerja Lintas Media Adi Briantika menyayangkan penggerudukan yang dilakukan kader PDIP. Sebab menurutnya sebelum menjadi partai penguasa seperti sekarang, PDIP pernah menjadi korban represi penguasa Orde Baru.
Ia merujuk Peristiwa 27 Juli 1996 saat kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat diserang ribuan orang yang tidak ingin Megawati Sukarnoputri menjadi ketua umum meski telah dipilih secara demokratis sesuai mekanisme partai.
“Dulu mereka berjuang supaya bebas dari penggerudukan. Harusnya sekarang mereka melindungi masyarakat, melindungi orang-orang yang tidak ingin digeruduk,” kata Adi.
Adi merasa nilai-nilai demokrasi yang dijargonkan PDIP tidak terserap sampai ke akar rumput. Dalam konteks itu, ia mengatakan elite senior PDIP gagal mewariskan pemahaman tentang demokrasi dan perasaan sebagai pihak yang tertindas ke angkatan yang lebih muda.
Ia berharap persekusi terhadap institusi pers jangan sampai terulang. Ia meminta dua institusi demokrasi: partai politik dan lembaga pers bekerja dalam koridor yang saling memahami hak dan kewajiban. “Harus ada sinkronisasi pemahaman soal bagaimana kita melakukan tugas masing-masing, bagaimana kita memiliki kewajiban dan hak masing-masing,” kata Adi.
“Jadi supaya tidak terjadi gontok-gontokkan lagi."
Januardi dari Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengatakan 20 tahun reformasi tidak membuat kehidupan demokrasi lebih baik. Kebebasan pers, menurutnya, justru dikebiri tidak saja lewat aksi persekusi seperti yang dilakukan PDIP tapi oleh DPR dan pemerintah. Salah duanya terdapat dalam Rancangan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), dan pengesahan Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, DPD (UU MD3) yang ia nilai memiliki banyak pasal yang mengancam kebebasan pers.
“Kesadaran tentang kebebasan pers di elite politik yang sudah luntur, masalahnya di situ. Kalau ada tanggapan dari Fadli Zon dan partai oposisi, itu sangat tendensius dan hanya politis saja menurut saya, bukan benar-benar mengerti dan membela kebebasan pers,” kata Januardi kepada Tirto.
Sebelumnya Aliansi Jurnalis Independen juga telah memperingatkan soal sejumlah pasal di dalam Rancangan RKUHP yang dirasa akan mengekang kebebasan pers. Salah satunya ialah pasal 309 dan pasal 310 yang mengatur tentang pemidanaan terhadap pelaku yang menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat. Termasuk apabila hal tersebut patut diduga bohong.
"Apa masalahnya dari pasal itu? Di situ tidak dicantumkan frasa 'dikecualikan untuk pers'," kata Januardi. Akibatnya, wartawan pun terancam terjerat pidana oleh pasal tersebut.
Selain itu di UU MD3 Pasal 122 juga terdapat poin yang menyatakan "Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR".
Selain itu Januardi juga menyoroti soal persekusi yang dilakukan sejumlah ormas terhadap media massa beberapa waktu lalu. Salah satunya ialah penggerudukan yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) di kantor Tempo, di Palmerah Barat, Jakarta Selatan (16/03/2018) lalu. "Di Jakarta masih agak mending, tapi di daerah seperti Yogyakarta lebih parah. Bukan hanya kebebasan pers tapi kebebasan berpendapat juga banyak digeruduk ormas-ormas," terang Januardi.
Januardi menambahkan faktor lain yang memicu berkurangnya penghargaan terhadap lembaga pers ialah karena maraknya berita hoax, misinformasi, dan hate speech. Menurutnya ada kesalahpahaman di kalangan pemangku kebijakan dalam memahami karya jurnalistik dengan hoax dan hate speech. Kesalahpahaman ini yang berujung pada munculnya aturan-aturan yang mengekang kebebasan pers.
"Kalau di media massa itu kan ada metodologinya bagaimana jurnalistik bekerja," kata Januardi.
Januardi juga menyesalkan persekusi yang dilakukan kader PDIP terhadap para pekerja media di Radar Bogor. Pasalnya, PDI-P ialah salah satu partai yang pernah mendorong demokrasi dan jadi salah satu basis massa terbesar saat reformasi.
"Nah bagaimana teman-teman PDI-P bisa berperilaku seperti itu? ketika ada aksi dari massa dan partisipannya di daerah, PDIP di pusat juga tidak mengeluarkan sikap justru malah membenarkan," kata Januardi.
Penjelasan PDIP
Tirto sebelumnya telah memuat laporan soal pembelaan elite PDIP pasca insiden penggerudukan Radar Bogor. Penggerudukan itu karena Radar Bogor dianggaptelah menyakiti kader PDIP lewat pemberitaan memojokkan Megawati Sukarnoputri, dengan headline atau judul utama “Ongkang-Ongkang Kaki Dapat Rp 112 Juta”
“Ibu Megawati Sukarnoputri bagi PDIP bukan sekadar ketum. Kami ada ikatan emosional dengan ibu ketua umum, itu ibu kami. Kalau ibu kami itu dihina dan dilecehkan, kira-kira apa yang terjadi pada kau?” kata Sekretaris Fraksi DPP PDIP Bambang Wuryanto di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (31/5/2018).
Sementara itu, Politikus PDIP Artheria Dahlan mengatakan DPP PDIP tidak pernah menginstruksikan kadernya untuk menggeruduk kantor Radar Bogor. “Kami sama sekali tidak pernah mengetahui ada peristiwa itu, kami baru tau dari pemberitaan media makannya kami ingin menggali fakta lebih jauh ya,” ujar Artheria di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (31/5).
Saat ini, kata Artheria, DPP PDIP sudah meminta keterangan dari kader PDIP Bogor. Namun, ia belum bisa memastikan apakah kader-kader tersebut akan diberi sanksi partai atau tidak. “Ya kami belum tahu ini bagaimana fakta hukumnya, kemudian sampai kejadian itu terjadi, kan tidak mungkin kejadian itu tanpa sebab tanpa alasan gitu,” kata Artheria.
Artheria menyatakan PDIP menempuh jalur hukum atas pemberitaan Radar Bogor. "PDIP partai yang matang dan sangat dewasa tentunya segala sesuatu kami hormati dan taat hukum, biarlah hukum sedang bekerja ini berjalan, internal kami melakukan proses hukum," kata Artheria.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Jay Akbar