tirto.id - Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra bicara soal bubarnya NKRI.
"Saudara-saudara. Kita masih upacara. Kita masih menyanyikan lagu kebangsaan. Kita masih pakai lambang-lambang negara. Gambar-gambar pendiri bangsa masih ada di sini, tetapi di negara lain mereka sudah bikin kajian-kajian di mana Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030," ucap Prabowo berapi-api dalam sebuah acara Partai Gerindra.
Pernyataan itu langsung viral lantaran videonya diunggah di akun resmi Facebook Partai Gerindra. Beberapa politisi yang dimintai tanggapan meminta balik kepada Prabowo agar menjelaskan maksud dari pidatonya itu.
Dilansir dari Antara, Prabowo mengklaim sumber pernyataannya adalah prediksi para ahli dari luar negeri. "Jadi itu ada tulisan dari luar negeri. Banyak pembicaraan seperti itu di luar negeri," kata Prabowo Subianto seusai menjadi pembicara kunci dalam acara Wadah Global Gathering di Jakarta, Kamis (22/3).
Kajian yang dirujuk oleh Prabowo ternyata berupa novel fiksi karangan P.W. Singer dan August Cole berjudul "A Novel of the Next World War: Ghost Fleet". Baik Singer dan Cole punya latar belakang ilmuwan politik AS. Cole menguasai kebijakan luar negeri, kebijakan dan strategi keamanan AS. Adapun Singer adalah pakar pertahanan yang pernah bekerja di lembaga think tank Brookings Institution. Area risetnya mencakup perang siber, masa depan perang, dan kebutuhan pertahanan AS.
"Di luar negeri", klaim Prabowo, ada yang dinamakan "scenario writing" yang bentuknya bisa seperti novel, akan tetapi tetap ditulis oleh para ahli intelijen strategis. Prabowo juga mengaku bahwa ia hanya bermaksud menyampaikan kajian para ahli dari luar negeri agar semua pihak bisa waspada dan tidak menganggap enteng persoalan yang ia bicarakan.
Menurut Ron Bradfield dkk. dalam "The origins and evolution of scenario techniques in long range business planning" yang diterbitkan di jurnal Futures pada 2005, "Scenario writing" atau lebih dikenal dengan nama "Scenario planning" adalah sebuah metode simulasi perencanaan strategis yang biasa dipakai tak hanya oleh penentu kebijakan di badan-badan pertahanan, tetapi juga komunitas ilmuwan, lembaga pendidikan, hingga perusahaan. Metode ini berguna untuk menguji keputusan-keputusan jangka panjang yang akan diambil, di samping memperkirakan risiko di masa depan, dan mempersiapkan rencana-rencana darurat.
Ketika Ron Bradfield menulis paper tersebut, scenario planning telah populer selama 30 tahun. Dengan kata lain, sudah jadi praktik yang lazim. Persoalannya sejauh pada scenario planning (apalagi dalam bentuk fiksi) bisa dilakukan untuk meramalkan kegagalan suatu negara di masa depan?
Ukuran Negara Gagal
Ada sebuah lembaga yang fokus memprediksi apakah suatu negara bakal bubar atau berada di ambang kehancuran, yakni Fragile State Index (FSI). Lembaga think tank asal AS yang disokong oleh LSM Fund for Peace (FFP) dan majalah Foreign Policy ini tiap tahun merilis prediksi tentang negara mana saja yang sedang menggali kuburnya sendiri.
Rilisan FSI terbaru tahun 2017 menunjukkan bahwa Sudan Selatan, negara yang baru berdiri pada 2011, menduduki peringkat teratas negara yang paling rawan. Peringkat Sudan Selatan hanya bergeser dari peringkat kedua pada 2016. Posisi Sementara untuk negara teraman (peringkat 178) jatuh pada Finlandia yang tak pernah berubah sejak pertama kali FSI merilis laporannya pada tahun 2006 silam.
Karena konsisten merilis data tahunan yang terperinci, FSI kerap jadi rujukan untuk memantau perkembangan politik global. Untuk menilai negara mana yang paling aman dan stabil hingga yang terancam bubar, FSI memakai empat indikator besar (Kohesi, Ekonomi, Politik, Sosial) yang dipecah lagi jadi 12 indikator, yakni "aparat keamanan", "faksionalisasi elite", "kemarahan kelompok dalam masyarakat", "pertumbuhan ekonomi yang tidak merata", "taraf brain drain dan jumlah warga yang meninggalkan negara", "legitimasi negara", "layanan publik", "HAM dan penegakan hukum", "tekanan demografi", "jumlah pengungsi", serta "intervensi asing".
Negara-negara yang dinilai digolongkan ke dalam 10 kategori, yaitu "very high alert", "high alert", "alert", "high warning", "elevated warning", "warning", "stable", "very stable", "sustainable", "very sustainable". Kategori pertama mencakup negara-negara yang diperkirakan bubar dalam waktu dekat. Semakin mendekati kategori akhir, sebuah negara akan semakin aman, stabil, dan berkelanjutan. Semakin bontot peringkatnya, semakin baik.
FSI juga mengklaim sederet indikator tersebut diambil secara real time.
Menurut laporan FSI tahun 2017 (PDF), Indonesia berada di peringkat 94 dari (178 negara), dan masuk dalam kategori "elevated warning". Namun FSI juga mencatat bahwa Indonesia berada di antara negara-negara yang menunjukkan "perbaikan jangka panjang yang berkelanjutan" seperti Georgia, Laos, Panama, Romania, dan Uzbekistan. Tahun lalu, Indonesia mendapat ranking 86.
Sejumlah lembaga think tank internasional memperkirakan ekonomi Indonesia akan berjaya pada 2030 mendatang. McKinsey Global Intitute (2012, PDF) menyebut perekonomian Indonesia dapat menembus peringkat tujuh besar dunia. Adapun laporan PricewaterhouseCoopers (PwC) tahun 2017 yang bertajuk "The long view: how will the global economic order change by 2050?" menempatkan Indonesia di peringkat empat dunia dari segi ekonomi di tahun 2050, diukur dari prediksi PDB dan paritas daya beli. Sementara itu, laporan Global Trend 2030 (PDF) yang diterbitkan oleh National Intelligence Council pada 2012 tak mencantumkan nama Indonesia di jajaran negara yang berisiko tinggi gagal pada 2030.
Namun, laporan FSI pun tak lepas dari kritik. Profesor Ilmu Politik dari University of Pretoria Henning Melber mempertanyakan posisi Finlandia yang terus konsisten di posisi puncak sebagai negara teraman dan jauh dari kata gagal. Sebab, paramiliter sayap kanan dan menebarkan sentimen anti-imigran tengah tumbuh pesat di Finlandia.
Partai-partai ultra-nasionalis dengan tendensi xenofobia juga tengah mekar di beberapa negara Skandinavia seperti Norwegia, Denmark dan Swedia. Namun dalam laporan FSI, negara-negara tersebut masih berada di kategori negara paling "sustainable" alias berkelanjutan, sementara negara-negara Afrika terus ditempatkan di peringkat teratas.
Komentar keras disuarakan Elliot Ross di Guardian dengan judul "Failed states are a western myth" (2013). Ross yang ketika itu berstatus mahasiswa doktoral di Columbia University menulis status Fund for Peace sendiri sulit dikatakan independen. Direkturnya, J.J. Messner, tulis Ross, adalah seorang mantan pelobi industri militer swasta. Masalah lain yang ditunjukkan oleh Ross adalah ketiadaan data mentah yang disertakan dalam laporan tahunan FSI.
Konsep negara gagal, lanjut Ross, dimunculkan oleh segelintir ilmuwan politik pada 1990an. Masalahnya tak ada tawaran moda analisis apapun di dalamnya. "Negara gagal", demikian Ross, adalah retorika tanpa dasar teoritis dan historis yang substansial," terang Ross seraya mengklaim bahwa pemeringkatan negara gagal adalah cara untuk merasionalisasi campur tangan negara-negara Barat di tempat-tempat seperti Irak dan Afghanistan.
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf