Menuju konten utama

Belajar Berenang Sebelum Mati Tenggelam

Renang bukan hanya olahraga, menguasai renang sama saja bagian dari survival diri. Kematian akibat tenggelam akibat tak bisa renang bisa dialami siapa saja tak kecuali anak-anak. WHO bahkan khawatir dengan banyaknya anak-anak yang mati karena tenggelam.

Belajar Berenang Sebelum Mati Tenggelam
Ilustrasi mengajari anak berenang. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pada Sabtu 22 April lalu sebuah speedboat membawa rombongan siswa Taman Kanak-kanak (TK) karam di Sungai Silat, Desa Nanga Lungu, Kecamatan Silat Hulu, Kapuas Hulu, Kalimatan Barat. Dalam insiden nahas itu, enam orang dilaporkan tenggelam, empat di antaranya siswa TK. Anak-anak merupakan kelompok usia paling rentan dalam kecelakaan di perairan, kebanyakan dari kematian yang terjadi karena mereka tenggelam tak bisa berenang.

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mengeluarkan pernyataan tenggelam di dalam air jadi risiko bagi anak-anak di bawah usia 15 tahun. Tenggelam merupakan risiko paling mematikan bagi anak-anak di 48 dari 85 negara yang masuk dalam survei WHO. Dalam laporan WHO berjudul Global Report on Drowning: Preventing a Leading Killer menunjukkan setidaknya ada 372.000 orang yang meninggal akibat tenggelam setiap tahun di seluruh dunia.

Kematian akibat tenggelam merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian anak paling tinggi di berbagai bagian dunia. Setiap hari lebih dari 40 orang meninggal akibat tenggelam. Kematian ini kebanyakan karena kelalaian, seperti anak kecil yang terpeleset masuk sumur, ditinggal sendirian sekitar kolam, atau kecelakaan di perairan.

Sementara itu, untuk orang dewasa banyak kematian tenggelam karena terkait alkohol atau di bawah pengaruh narkoba. Laporan WHO itu menekankan pentingnya tindakan pencegahan seperti pendidikan berenang untuk anak-anak agar angka kematian akibat tenggelam bisa ditekan.

Global Report on Drowning adalah laporan pertama WHO terkait kejadian tenggelam. Laporan ini disusun karena belum ada riset yang komprehensif terkait kematian akibat tenggelam khususnya pada anak-anak. Menurut Dirjen WHO Margaret Chan, kematian akibat tenggelam sangat bisa dicegah, ini merupakan tantangan bagi seluruh pemerintahan dunia untuk menekan kematian akibat tidak bisa berenang. Laporan tersebut menunjukkan apa saja penyebab kematian yang terkait tenggelam, bagaimana mencegahnya, dan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin perlindungan terhadap warganya.

Analisa Guardian menyebutkan bahwa kematian akibat tenggelam pada anak-anak paling rendah terjadi di negara-negara maju seperti di Eropa. Hal ini disebabkan karena masing-masing negara memiliki regulasi ketat terkait keselamatan perairan, pendidikan memadai tentang keselamatan, dan juga perlindungan seperti penjaga pantai.

Sementara itu, negara-negara Afrika merupakan yang paling tinggi penyebab kematian anak usia di bawah 14 tahun karena tenggelam. Data worldlifeexpectancy.com menyebutkan bahwa Mozambik adalah negara dengan kematian akibat tenggelam paling tinggi dengan rata-rata 19,07 per 100.000 orang, disusul oleh Komoro dan Burundi dengan rata-rata 16 orang per 100.000 orang.

Kematian akibat tenggelam masih menjadi area asing yang tak banyak didalami melalui riset. Margaret Chan menyebut perlu ada penelitian berkelanjutan tentang tenggelam. Hal ini karena banyak populasi dunia yang menggantungkan hidupnya di sekitar perairan.

Perlu ditemukan alat atau metode penyelamatan baru yang bisa mengamankan nyawa saat bencana sekitar perairan terjadi. WHO menganggap kematian akibat tenggelam menjadi beban yang sama seperti diare pada 1970-an dan campak pada 1980-an. Mereka berharap kelak akan ada temuan baru yang bisa menyelamatkan manusia dari ancaman tenggelam dengan lebih baik lagi.

WHO menganggap tenggelam sebagai permasalahan serius yang menyebabkan kematian, tapi kerap diabaikan oleh pemerintah dunia. Sebanyak 90 persen kematian akibat tenggelam yang terjadi setiap tahunnya pada negara dengan pendapatan menengah sampai rendah. Kematian akibat tenggelam nyaris sepertiga kematian akibat kekurangan gizi dan kematian akibat malaria. Namun, berbeda dengan kurang gizi atau malaria, nyaris tak ada perlindungan atau pencegahan yang dibuat pemerintah untuk mengurangi kematian akibat tenggelam.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk bisa mengurangi kematian akibat tenggelam. Pada tataran komunitas, pemerintah bisa mengirimkan pihak terkait untuk melakukan penyuluhan dan pendidikan tentang kematian akibat tenggelam.

Infografik Belajar Berenang

WHO merekomendasikan masyarakat untuk membuat parameter perlindungan di daerah genangan air. Di Indonesia kematian kerap terjadi di area bekas tambang. Jatam Kalimantan Timur menyebut pada 2016 ada 24 anak meninggal karena lubang bekas tambang. 15 orang di Samarinda, 8 di Kutai Kartanegara dan satu orang di Penajam Paser utara.

Berdasarkan data yang dihimpun Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) di Kalimantan Timur terdapat 4.464 lubang tambang dari total 1.488 Izin Usaha Pertambangan (IUP), dengan cakupan luas 5,4 juta hektar. Khusus di Kota Samarinda, ada 232 lubang milik 32 perusahaan yang letaknya dekat permukiman. Tanpa adanya perlindungan lubang-lubang itu akan terus membunuh banyak anak-anak. WHO menyebut setidaknya perlu ada edukasi pada anak tentang bahaya bermain di sekitar perairan di sungai ataupun laut. Dalam konteks Kalimantan Timur, edukasi tidak cukup hanya pada anak, tapi juga seluruh lapisan masyarakat.

Menurut data Kementerian Kesehatan penyebab kematian pada 2011 di 15 kabupaten/kota, di Indonesia sebagian besar kejadian tenggelam sering terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun. Anak usia di bawah 5 tahun menempati tingkat kematian tertinggi akibat tenggelam di seluruh dunia.

Tenggelam merupakan penyebab kematian nomor tiga pada kelompok umur 5-14 tahun setelah kecelakaan lalu lintas dan demam berdarah. Hampir 80 persen korban meninggal akibat tenggelam adalah laki-laki. Tenggelam merupakan penyebab kematian nomor 5 pada laki-laki pada kelompok umur 15-24 tahun.

Upaya pengendalian yang utama adalah mencegah dan menghindari masyarakat dari faktor risiko yang menyebabkan terjadinya tenggelam pada anak (0-18 tahun), diikuti dengan upaya sosialisasi kepada guru dan orang tua yang sangat erat hubungannya dengan pengawasan terhadap anak.

Keberhasilan upaya tersebut sangat membutuhkan pemahaman, kesadaran, dan peran aktif masyarakat. Ini yang menjadi dasar Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan mengeluarkan buku saku pengendalian tenggelam pada anak.

WHO juga merekomendasikan kepada sekolah-sekolah untuk mengajarkan murid-murid mereka tata cara berenang, dasar-dasar pelatihan keselamatan dan penyelamatan perairan, serta melatih mereka untuk tahu apa yang harus dilakukan jika ada teman yang tenggelam.

Bagi mereka yang sudah dewasa pada tingkat SMA perguruan tinggi perlu diajarkan tentang Cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau Resusitasi jantung paru. CPR adalah tindakan pertolongan pertama pada orang yang mengalami henti napas karena sebab-sebab tertentu. CPR bertujuan untuk membuka kembali jalan napas yang menyempit atau tertutup sama sekali.

Kesadaran publik tentang bahaya tenggelam dan memahami potensi kecelakaan lingkungan perlu ditingkatkan. Parit, kolam, dan sungai yang deras mesti diawasi secara berkala. Jika hidup di sekitar galian lubang tambang, perlu ada kapal sederhana atau pagar yang mengelilingi lokasi agar tak mudah diakses.

Untuk kapal perlu ada pelampung dan regulasi yang ketat mengenai jumlah penumpang. Selain itu saat banjir warga juga perlu waspada tentang potensi terseret arus. Perumusan regulasi juga harus menjadi kebijakan nasional mengingat Indonesia merupakan dengan jumlah pulau yang sangat banyak. Tentu yang tak perlu diabaikan, belajar berenang bagi yang belum bisa berenang atau orangtua memberi pelajaran bagi anak-anaknya.

Baca juga artikel terkait KOLAM RENANG atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Suhendra