Menuju konten utama
Mozaik

Batik Lasem di Antara Kultur Tionghoa dan Kaum Santri

Sebagaimana batik Yogyakarta, Surakarta, atau daerah lain yang sarat dengan nilai filosofis, batik Lasem juga menyimpan makna dalam motif dan warnanya.

Batik Lasem di Antara Kultur Tionghoa dan Kaum Santri
Header Mozaik Batik Lasem. tirto.id/Quita

tirto.id - Batik Lasem memiliki riwayat yang berkelindan dengan kebijakan pemerintah yang diskriminatif. Seturut Yesi Mekarsari dan Mochamad Iqbal Jatmiko dalam “The Resilience of Chinese Minorities: Transformation of Chinese Entrepreneurs in Lasem Batik Industry, Central Java, Indonesia” (2020:180), ini terlihat dari merosotnya jumlah pelaku industri tersebut, dari 140 produsen pada 1950 menjadi hanya 20 produsen pada 2006.

Pada 2016 atau hampir dua dasawarsa setelah reformasi, industri ini kembali naik pamor. Salah satu faktor paling signifikan adalah kebijakan pemerintah Kabupaten Rembang yang menjadikan batik Lasem sebagai seragam sekolah. Seakan mengulang kejayaan di era 1950-an, sekitar 120 produsen batik yang tersebar di Lasem dan sekitarnya bermunculan.

Dari Liong hingga Merah Getih Pitik

Bertambahnya jumlah produsen batik ini sekaligus menandai perubahan sosial-ekonomi yang terjadi di dalam industri tersebut, yakni saat etnis Jawa menggeser dominasi etnis Tionghoa sebagai produsen. Sebelumnya, bahkan sejak batik khas pesisir ini baru berkembang, peranakan Tionghoa adalah pemain utama.

Itulah alasan motif batik Lasem sarat dengan unsur budaya Tionghoa, di antaranya bunga seruni (Chrysanthemums), uang logam, dan makhluk-makhluk mitologis, seperti naga, burung hong (phoenix), dan kilin atau singa api. Di samping itu, batik Lasem dengan corak warnanya yang berani, terutama merah darah, juga menunjukkan hal tersebut.

Sebagaimana batik Yogyakarta, Surakarta, atau daerah lain yang sarat dengan nilai filosofis, batik Lasem juga menyimpan makna dalam motif dan warnanya. Merah getih pitik (darah ayam) adalah lambang keberuntungan, kegembiraan, dan keberlimpahan. Sementara naga (long, atau liong dalam dialek Hokkian) bermakna perlindungan, tolak bala, dan kesuburan.

Burung hong adalah lambang keanggunan, kesetiaan, kemanusiaan, dan ketulusan. Kilin atau singa api melambangkan kemurnian, kebenaran, keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian.

Batik Yogyakarta dengan motifnya yang khas seperti Sekar Jagad, Kawung, Udan Liris, dan Parang turut memengaruhi batik Lasem. Namun, para pembatik di kota pesisir itu juga memperkenalkan motif-motif baru yang unik, yang berakar pada kondisi alam, cerita lokal, serta binatang dan tumbuhan setempat. Motif-motif tersebut antara lain Watu Pecah, Latohan, Ringgit, dan Batik Tiga Negeri.

Watu Pecah (Batu Pecah) terinspirasi dari penderitaan buruh pemecah batu yang dilibatkan dalam pembangunan Jalan Raya Pos (DeGroote Postweg) Anyer-Panarukan pada era Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Sementara Latohan merujuk pada latoh, sejenis tanaman laut yang merupakan menu pendamping untuk makanan para nelayan.

Cheng Ho, Na Li Ni, dan Sejarah Batik Lasem

Sebelum kedatangan imigran dari Tiongkok, penduduk Lasem sudah mengembangkan keterampilan membatik dengan berbagai motif, mulai awan, candi, wayang, juga flora dan fauna. Namun, hasil interaksi antara budaya Tionghoa dan Jawa yang tervisualisasi dalam batik menandai puncak perkembangan batik Lasem dan menjelma identitas lokal yang melekat hingga kiwari.

Batik Lasem tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Tionghoa di kota itu. Bukan hanya karena secara jumlah cukup besar dan merupakan pelaku usaha dalam industri tersebut, tapi karena batik itu mula-mula dipopulerkan oleh imigran asal Tiongkok.

Menurut Vera Jenny Basiroen dalam “The Acculturation of Batik Lasem’s Culture with Chinese Motif in the 18th to 20th Century” (2019:60), Lasem merupakan kota pertama tempat para pelaut dan saudagar Tionghoa mendarat, sebelum melanjutkan ke Kudus, Demak, dan kota-kota lain di utara Pulau Jawa.

Pada 1413, seorang laksamana Muslim yang juga penjelajah dan diplomat dari Dinasti Ming bernama Cheng Ho (1371-1433) berlabuh di Lasem. Kala itu kota kecil yang kini merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Rembang tersebut sudah dikenal sebagai Tiongkok Kecil (Little Tiongkok atau La Petite Chine).

Kedatangan para pelancong dari Tiongkok itu merupakan cikal bakal berkembangnya batik Lasem. Setelah singgah di beberapa kota, Cheng Ho dan kaptennya yang bernama Bi Nang Un menetap di sebuah desa yang bernama Bonang.

Infografik Mozaik Batik Lasem

Infografik Mozaik Batik Lasem. tirto.id/Quita

Mpu Santi Badra dalam Babad Lasem menulis bahwa Adipati Lasem yakni Wijaya Badra bermurah hati memberikan sepetak tanah kepada Bi Nang Un di Kamandhung. Setelah menjemput istrinya yang bernama Na Li Ni di Tiongkok, Bi Nang Un mendirikan Pecinan di daerah itu. Karena memiliki kegemaran terhadap seni, Na Li Ni jatuh cinta kepada batik dan mempelajari cara membuatnya.

Dalam Carita Sejarah Lasem karya Raden Panji Kamzah disebutkan lebih dari setengah abad sejak kedatangan Cheng Ho yakni pada 1479, Lasem sudah menjadi pusat kerajinan batik di wilayah yang kini disebut Jawa Tengah. Pada masa kolonial Belanda, Lasem merupakan satu dari enam kota produsen batik terkemuka, di samping Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, Banyumas, dan Cirebon.

Seiring waktu, produksi batik Lasem mengalami pasang-surut. Pada 1931, pemerintah Hindia-Belanda bereaksi keras terhadap para pengusaha yang melakukan eksploitasi terhadap buruh batik. Saking seriusnya masalah itu, status Lasem sebagai kabupaten (regentschap) sampai diturunkan menjadi kelurahan (onderdistric).

Pada masa pendudukan Jepang, industri batik Lasem semakin lesu, terutama karena banyak warga Tionghoa yang dijatuhi hukuman mati akibat bersekongkol dengan Belanda. Situasi memburuk setelah pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang mereka terlibat dalam menentukan perekonomian Indonesia.

Meski masa penjajahan dan selanjutnya perang kemerdekaan berakhir, pendulum nasib belum berpihak pada etnis Tionghoa. Pada dekade 1950, Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden (PP) Nomor 10 tahun 1959 yang melarang warga negara asing melakukan aktivitas dagang di pedesaan. Sejarah mencatat bahwa meski dalam PP tersebut tertulis “warga negara asing” tapi bisnis warga Tionghoa peranakan ikut terdampak.

Lasem Kota Santri

Lasem adalah kota yang multikultur, baik secara etnis maupun agama. Selain Islam yang kini merupakan mayoritas, sebagian penduduk Lasem beragama Kristen, Katolik, Buddha, dan Konghucu. Ini tercermin dari keberadaan 31 masjid, 130 musala, 11 gereja Protestan, 12 gereja Katolik, 3 klenteng, dan 3 wihara.

Seturut Siti Nurindah Sari dan Mohammad Syifauddin dalam “Local Wisdom of the Lasem Community for Tolerance” (2022:121), sebagai kota pesisir yang kosmopolitan, Lasem merekam jejak toleransi yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Selain Batik Lasem, sejumlah bangunan dengan arsitektur yang mencerminkan silang budaya antara Tiongkok, Belanda, dan Jawa baik pesisiran maupun Mataraman menunjukkan hal tersebut, seperti terlihat pada sebagian rumah, tempat ibadah, dan makam.

Toleransi di antara masyarakat Lasem salah satunya terlihat dalam perayaan Idul Fitri, ketika warga non-muslim turut berpartisipasi dengan melakukan silaturahmi kepada para tetangga. Pada momen Mauludan atau perayaan hari lahir Nabi Muhammad, umat Islam mengirimkan nasi berkat termasuk kepada komunitas Tionghoa non-muslim.

Pengaruh kerajaan-kerajaan Islam yang menguasai Lasem, di antaranya Demak, Pajang, dan Mataram dalam penyebaran Islam di kota kecil itu sangat signifikan. Tak heran, Lasem yang dulu berjuluk Tiongkok Kecil kini lebih dikenal sebagai Kota Santri. Bukan semata-mata karena banyaknya institusi pendidikan Islam di wilayah tersebut, tapi karena sejak lama Lasem melahirkan banyak ulama besar.

Satu di antaranya adalah KH. Ma’shoem, ayah KH. Ali Maksum, Rais ‘Aam PBNU periode 1981-1984. KH. Ma’shoem adalah guru KH. Abdul Hamid Pasuruan, KH. Abdullah Faqih Langitan, dan KH. Bisri Musthofa Rembang, ayah KH. Musthofa Bisri (Gus Mus).

Ada juga Syekh Masduqi Al-Lasimy, pendiri Pondok Pesantren Al-Islah dan guru KH. Mahrus Aly Lirboyo. KH. Mahrus adalah guru KH. Cholil Bisri, ayahanda Yaqut Cholil Qoumas yang tak lain Menteri Agama Republik Indonesia periode 2020-2024.

Dengan komposisi masyarakat yang beragam dan pengaruh Islam yang kuat, nyaris tidak pernah terjadi konflik antar golongan di Lasem. Batik Lasem yang bermotif naga, burung ho, kilin, dan warna getih pitik-nya yang menyimpan makna filosofis dan berakar dari ajaran Tao dan Konfusius dikenakan secara bebas oleh kalangan santri.

Baca juga artikel terkait BATIK atau tulisan lainnya dari Firdaus Agung

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Firdaus Agung
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Nuran Wibisono