tirto.id - Badan Reserse Kriminal Polri mengungkap kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus menjanjikan korban bekerja di Maroko dan bebas visa selama tiga bulan.
“Korban dijanjikan bekerja di Maroko sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji 350 euro per bulan dan diberangkatkan secara ilegal serta bebas visa selama tiga bulan,” kata Wakil Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes Pol R.Z. Panca Putra di kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (13/9/2018).
Panca menegaskan Maroko merupakan salah satu negara larangan untuk mengirimkan pekerja migran Indonesia. Dalam kasus ini, polisi sudah menangkap tiga tersangka yakni, CS, KH, dan IY. Sedangkan korban dalam kasus ini adalah JJ, SM, AM, dan RS.
Selain itu, kepolisian juga berhasil mengungkap peran para pelaku. Berdasarkan penyidikan, CS berperan sebagai perekrut, penampung dan pengurus berkas (paspor dan medis) para korban. Ia mendapatkan keuntungan Rp6,5 juta dari KH.
Sementara itu, KH yang membiayai perekrutan, tiket penerbangan domestik ke Batam dan penerima pesanan pekerja migran dari Mustofa, warga negara Maroko. Dia mendapatkan Rp2 juta dari Mustofa.
Selain itu, IY berperan menjemput dan menampung korban, mengurus tiket kapal feri dari Batam ke Singapura. Dalam aksinya, IY dibantu oleh Farouk, warga negara Singapura, untuk memberangkatkan korban ke Maroko. Ia mendapatkan Rp500 ribu dari KH.
Diketahui, sejak tiga tahun lalu CS telah menyalurkan lebih dari 20 calon pekerja migran Indonesia kepada KH maupun ke oknum lainnya. Sementara itu, berkat tangan dingin KH, ia berhasil memberangkatkan calon pekerja ke Batam sebanyak 300 orang. Sedangkan IY berhasil memberangkatkan 80 calon pekerja ke Maroko.
Dalam perkara ini, kata Panca, polisi berhasil memeriksa 25 saksi. Kepolisian juga menyita empat paspor, empat boarding pass pesawat Royal Air Maroc dari Casablanca ke Doha, empat boarding pass economy pesawat Royal Air Maroc dari Doha ke Jakarta, dua bundel daftar penumpang bertanggal 12 Desember 2016 dan 23 Februari 2017, satu lembar tiket elektronik dan empat unit telepon seluler.
Atas perbuatan itu, para tersangka dikenakan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dan atau Pasal 81, Pasal 86 huruf (b) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp15 miliar.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Alexander Haryanto