tirto.id - Direktur Politik dan Komunikasi Kementerian PPN/Bappenas, Nuzula Anggeraini, mengatakan Indonesia perlu berkomitmen dalam mendesain ulang sistem pemilu agar menjadi lebih bermakna. Hal ini menurut dia untuk kemajuan demokrasi bangsa di masa mendatang.
“Kita semua perlu memiliki komitmen yang kuat untuk mendiskusikan berbagai pendekatan dalam mendesain ulang sistem pemilu menuju pemilu yang lebih berintegritas, transparan, dan efisien untuk masa depan demokrasi Indonesia,” kata Nuzula.
Hal itu ia sampaikan dalam acara Seminar Nasional dengan tema “Mewujudkan Sistem Pemilu yang Inovatif, Berintegritas, Aspiratif, dan Efisien untuk Mencapai Demokrasi Substansial” yang diselenggarakan di Gedung Bappenas, Menteng, Jakarta Pusat, pada Rabu (20/11/2024).
Dia mengatakan, pemilu merupakan sarana masyarakat dalam memilih wakil untuk mengambil keputusan krusial. Sehingga, kata dia, apa yang nantinya menjadi kebutuhan dan keinginan masyarakat dapat terpenuhi.
“Pemilu memberikan kesempatan bagi warga negara untuk menguji apakah berbagai badan yang ada sungguh berfungsi, serta apakah tersedia perlindungan dan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia yang bersifat fundamental,” ujar Nuzula.
Namun, kata dia, pemilu bukan satu-satunya instrumen demokrasi. Selain pengisian dan penggantian pejabat-pejabat pemerintahan melalui pemilu yang bebas dan adil, demokrasi juga membutuhkan warga negara yang aktif dalam kehidupan politik dan bernegara, pemenuhan hak-hak dasar warga negara (human rights), serta pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law).
“Meski bukan faktor tunggal bagi demokrasi untuk berkembang, pemilu adalah komponen penting dari sistem demokrasi mana pun. Terdapat kesepakatan global bahwa kehadiran pemilu yang kompetitif merupakan identifikasi sebuah negara bangsa kontemporer dapat disebut memiliki sistem politik yang demokratis,” jelasnya.
Menurut Nuzula, perbaikan atas aturan kepemiluan harus dilakukan secara komprehensif, mencakup aspek sistem pemilu beserta berbagai variabelnya, manajemen pemilu, aktor-aktor pemilu (pemilih, penyelenggara, dan peserta), serta pengawasan dan penegakan hukum pemilu yang berkeadilan.
“Salah satu pintu masuk dalam melakukan penataan tersebut harus dimulai melalui pemilihan model keserentakan dan sistem pemilu yang tepat, relevan, dan kontekstual untuk Indonesia,” ujarnya.
“Dengan demikian, pencapaian tujuan pemilu dan program pembangunan di Indonesia dapat berjalan secara selaras dan kompatibel satu sama lain,” sambung Nuzula.
Lebih lanjut, Nuzula mengatakan bahwa sistem pemilu merupakan metode untuk mengonversi suara yang didapat oleh peserta pemilu menjadi perolehan kursi di parlemen ataupun eksekutif.
Dalam pandangan banyak pakar, kata dia, terdapat empat elemen utama yang menjadi kunci dalam sistem pemilu. Mencakup pilihan terhadap jenis sistem pemilu, struktur pemberian suara (electoral balloting structure), daerah pemilihan (district magnitude), dan formula penghitungan (electoral formula).
“Sejatinya, secara menyeluruh sistem pemilu memiliki tujuh variabel teknis yang membentuknya, saling terhubung, dan mempengaruhi satu sama lain. Meliputi besaran daerah pemilihan, metode pencalonan, metode pemberian suara, ambang batas perwakilan/parlemen (parliamentary threshold), formula perolehan kursi, penetapan calon terpilih, dan jadwal pemilu (terkait keserentakan dalam desain sistem presidensial),” jelas Nuzula.
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Irfan Teguh Pribadi