Menuju konten utama

Bapak Berulah, Anak Kena Getah

Fadli Zon kembali bikin geger, kali ini terkait suratnya yang meminta penjemputan dan pengantaran anak perempuannya di New York. Unjuk pamer kekuasaan, atau sekadar insting melindungi seorang bapak?

Bapak Berulah, Anak Kena Getah
Fadli Zon. Antara Foto/Sigid Kurniawan

tirto.id - Ada satu pepatah Jawa yang menggambarkan betapa anak kerap merepotkan bapaknya: anak polah, bapak kepradah. Kalau diterjemahkan secara bebas bisa diartikan, anak berulah bapak yang kena masalah. Pepatah ini bisa menggambarkan pola patriarki antara bapak dan anak. Dalam budaya Jawa, bapak selalu menjadi tulang punggung. Termasuk dalam menyelesaikan masalah. Padahal, biasanya kalau anak kena masalah, seorang ibu yang paling bersedih hati.

Namun, pendapat itu bisa saja berubah sekarang ini. Bapak polah anak kepradah. Bapaknya bikin ulah, anak yang menanggung akibatnya.

Fadli Zon, Wakil Ketua DPR yang terhormat itu, beberapa hari lalu kepergok mengirimkan surat resmi --dengan kop DPR RI-- kepada Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia. Isinya adalah mengembalikan uang bensin sebesar 100 dolar (plus tip untuk supir). Sebelumnya, Fadli meminta staff KJRI untuk menjemput putrinya, Shafa Sabila, di Bandara JFK, New York, untuk diantar ke Queens. Jaraknya sekitar 13 kilometer.

Surat yang bocor itu tentu mengundang kecaman. Tingkah polah pejabat seperti ini tipikal perilaku pejabat Orde Baru. Minta dilayani mentang-mentang pejabat. Fadli tentu berkilah. Menurutnya, dia minta staff KJRI menjemput anaknya karena dia tiba pukul 2 pagi. Bohong, tentu saja.

"Putri Fadli Zon mendarat di New York pukul 14.15 siang," tulis Konsul Jenderal RI di New York, Benny YP Siahaan dalam keterangan pers.

Ini tentu bukan kasus pertama yang menimpa pejabat atau keluarga pejabat. Bapak Orde Baru, Soeharto, memberi contoh yang baik bagaimana anak pejabat harusnya diberikan keistimewaan. Setidaknya ada 3 dari 6 anaknya yang mendapat banyak privilese, terutama dalam hal menambang uang.

Sigit Harjojudjanto punya sekitar 40 perusahaan. Bre-X Mineral, perusahaan tambang emas yang kemudian boroknya dibongkar oleh Bondan Winarno, menggandeng Sigit sebagai konsultan. Tentu izin jadi lebih mudah keluar. Dia juga menjadi salah satu pemilik Nusamba, perusahaan berkedok yayasan, yang bergerak di bidang pertambangan hingga produksi kertas. Belum lagi keikutsertaannya dalam berbagai proyek energi. Forbes pernah menulis kalau Sigit memiliki 40 perusahaan dan memiliki kekayaan sekitar Rp4,5 triliun.

Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut juga begitu. Dia pernah punya sekitar 12 perusahaan konstruksi. Yang terbesar adalah Citra Marga Nusaphala Persada, yang banyak membangun proyek konstruksi di luar negeri. Selain itu, Mbak Tutut juga pernah mempunyai 75 persen saham di Televisi Pendidikan Indonesia, yang kemudian berubah jadi Media Nusantara Citra (MNC).

Si Bungsu Tommy Soeharto juga tak kalah mentereng. Dia punya perusahaan Humpuss yang bergerak di bidang energi, pertambangan, dan juga transportasi. Semua petani cengkeh di era 90-an juga pasti masih masih memelihara dendam kepada Tommy. Pada 1992, Soeharto mengeluarkan Kepress Nomor 20, tentang berdirinya Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh. Salah satu unsur di dalam badan itu adalah PT Kembang Cengkih Nasional milik Tommy. Dengan lembaga itu, petani wajib menjual cengkeh pada BPPC. Harganya jauh lebih murah ketimbang harga pasaran, tentu karena sudah dikorup. Para petani cengkeh meradang dan memilih menebang ribuan pohon cengkehnya. Saat dibubarkan pada 1998, negara diperkirakan merugi Rp3 triliun karena lembaga ini.

Selepas runtuhnya kerajaan Cendana, nyaris belum ada lagi anak Presiden yang memilih dekat dengan kekuasaan. Kecuali anak-anak Megawati dan SBY. Anak Habibie, Gus Dur, juga Jokowi, banyak dipuji karena memilih jalannya masing-masing. Menolak kemudahan yang harusnya bisa didapat cukup dengan modal muka tebal.

Sejarawan Bonnie Triyana dalam dinding Facebook Made Supriatma pernah berkisah tentang seorang anak Presiden yang ketika bersekolah di Jerman tak pernah minta dilayani. Para staf KJRI di sana malah bingung dan khawatir, walau akhirnya kemudian jadi terbiasa.

"Tahu tidak itu anak siapa? Gus Dur!" tulis Bonnie.

Anak-anak Jokowi malah memilih jalan yang sama sekali berbeda. Gibran, anak pertamanya, menekuni dunia wirausaha boga. Ia memilih tak meneruskan bisnis bapaknya di bidang mebel. Kaesang, anak bungsu, masih kuliah sembari terus aktif di Twitter dan belakangan merambah Youtube sebagai vlogger. Sedangkan Kahiyang, putri satu-satunya, bahkan tak diterima jadi PNS.

Shafa Sabila, anak Fadli itu, sebenarnya juga memilih jalan yang berbeda dari bapaknya. Ini patut dipuji. Alih-alih kursus politik atau ekonomi yang dekat dengan dunia sang bapak dan tentu sangat prospektif, dia memilih untuk kursus pentas --nyanyi, tari, akting, dan kegiatan pentas lain-- di Stagedoor Manor. Banyak dugaan kalau Shafa, sebagai anak generasi milenial dan punya akses informasi luas, pasti bisa berbahasa Inggris. Pun tahu tentang jalan maupun akses transportasi. Stagedoor Manor juga menyediakan jemputan dari bandara menuju lokasi kursus.

Para analis politik tentu berpikir kalau ini adalah unjuk kekuatan dan kekuasaan seorang Wakil Ketua DPR RI, sama seperti apa yang dilakukan Soeharto dan para pejabat-pejabatnya. Seolah negara hadir untuk melayani para pejabat, bukan sebaliknya. Analisis itu tentu benar adanya.

Tapi dengan kacamata yang lebih sederhana, kita seharusnya bisa melihat bahwa ini tak lebih dari kelakuan seorang bapak yang overprotektif terhadap anak perempuannya. Sialnya, hal ini jadi salah karena sang bapak memanfaatkan posisinya untuk meminta pelayanan dari negara.

Di Instagram Shafa, anak perempuan manis berambut panjang sebahu itu, sudah banjir makian. Dari anak yang tak tahu malu, anak koruptor, dan segala macam makian yang keji. Padahal siapa yang tahu, ini pengandaian, kalau sehari sebelum Shafa berangkat ke New York dia bertengkar dengan sang bapak. Shafa tak mau dijemput. Maunya berangkat ke lokasi kursus bersama kawan-kawan barunya. Tapi sang bapak yang terlalu berlebihan dalam melindungi dan kebetulan punya kekuasaan, memaksa Shafa untuk diantar-jemput. Tapi akhirnya sang anak kalah posisi. Tentu Shafa tak akan mengira kalau perundungan keji akan mampir di akun Instagramnya, yang selama ini bebas dari bau-bau politik yang anyir itu.

Kalau memang benar seperti itu kasusnya, maka pepatah Jawa itu memang layak berganti. Bapak kepolah, anak kepradah!

Baca juga artikel terkait DPR atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Politik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti