tirto.id - Yayasan Auriga Nusantara memaparkan hasil investigasi lembaganya soal populasi badak Jawa (Rhinoceros sondaicus sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Dalam temuan investigasi Auriga, ada dugaan penurunan populasi badak Jawa yang terjadi selama beberapa tahun terakhir.
Ketua Yayasan Auriga Nusantara, Timer Manurung, menyebut sejak 2020 lalu, kamera deteksi (camera trap) hanya merekam kurang dari 60 individu badak Jawa. Padahal, pada 2018 masih ada 63 individu badak yang terekam kamera.
Angka temuan investigasi Auriga berbeda dengan klaim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pada Agustus 2021 lalu, lembaga pimpinan Menteri Siti Nurbaya itu mengklaim angkanya masih berada di 75 individu badak.
“Demikian juga atas tidak terekamnya 18 individu badak sejak 2019, tidak secuil pun informasi mengenai hal ini diumumkan ke publik,” kata Timer dalam rilisnya, Selasa (11/4/2023) sore.
Kata Timer, ada 18 badak Jawa menghilang di Taman Nasional Ujung Kulon sejak 2019 lalu. Tiga dari 18 individu badan tersebut ditemukan mati.
“Perburuan satwa, termasuk yang mengarah ke badak Jawa, tampaknya sedang menggila di Taman Nasional Ujung Kulon, satu-satunya habitat tersisa badak Jawa saat ini,” tambahnya.
Hasil investigasi Auriga juga menemukan adanya dugaan meningkatnya perburuan satwa di Taman Nasional Ujung Kulon. Timer menyebut musnahnya badak Sumatera di Lampung patut diduga menjadikan para pemburu badak mengarah ke Ujung Kulon yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan Lampung.
“Temuan kami adanya lubang di tengkorak kepala badak jantan Samson yang ditemukan mati pada 2018. Ada jerat yang ditengarai mengarah ke badak atau setidaknya mamalia besar. Serta tingginya penerobos ilegal, termasuk bersenjata api, menjadi petunjuk meningginya perburuan satwa di Taman Nasional Ujung Kulon,” kata Timer.
Timer juga menyebut ada banyak rentetan kematian badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon yang tidak pernah diusut tuntas. Kata dia, ada 11 kematian badan Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon sejak 2012 lalu, namun hanya tiga individu badak yang diumumkan ke publik oleh otoritas.
Timer menyayangkan sikap KLHK yang tidak terbuka soal ini. Padahal, keterbukaan informasi sangat penting. Timer menyebut bahwa pada Februari 1982, terdapat 5 kematian badak Jawa yang diduga disebabkan oleh antraks. Pada 2010, ada 3 kematian badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon yang mana pada serangga-serangga di sekitar titik kematian terdapat parasit darah Trypanosoma.
“Tingginya tingkat kematian tak wajar badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon semestinya menjadi perhatian serius,” katanya.
“Tidak diusut-tuntasnya penyebab setiap kematian ini adalah kesalahan fatal karena tidak menjadi pembelajaran untuk mencegah kematian tak wajar badak Jawa.”
Hasil investigasi yang dilakukan Yayasan Auriga Nusantara disusun berdasar informasi yang dikumpulkan sepanjang September 2022 hingga Maret 2023. Pengumpulan informasi dilakukan di Jakarta, Bogor, Pandeglang, Labuan (tempat di mana Kantor Balai Taman Nasional Ujung Kulon berada), dan desa sekitar Taman Nasional Ujung Kulon di Kecamatan Cimanggu dan Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Informasi yang terkumpul beragam, seperti laporan penelitian, presentasi yang disampaikan pada kegiatan formal, video dan foto-foto lapangan, dan laporan lembaga tertentu.
Melengkapinya, wawancara secara sistematis dilakukan kepada tokoh-tokoh konservasi badak Indonesia, termasuk badak jawa. Tokoh yang diwawancarai seluruhnya 24 orang, mencakup seluruh pihak yang berkecimpung dalam konservasi badak jawa, baik aparat otoritas pengelola (Balai Taman Nasional Ujung Kulon dan atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), aktivis dan praktisi konservasi badak jawa, donor kegiatan konservasi badak, akademisi, dan tokoh masyarakat mitra pengelola Taman Nasional Ujung Kulon.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Restu Diantina Putri