tirto.id - Baru-baru ini, seniman grafiti misterius, Banksy, kembali membuat heboh: salah satu lukisannya yang terkenal, "Girl with a Balloon", mendadak menghancurkan diri (self-destructing) setelah terjual seharga 1.042.000 poundsterling (Rp20,7 miliar) dalam sebuah pelelangan yang digelar galeri Sotheby's di London.
Tak lama setelah insiden tersebut terjadi, melalui akun Instagram-nya, Banksy mengunggah video yang menjelaskan bahwa mesin penghancur tersebut sudah dipasang sejak lama. ”Beberapa tahun lalu, untuk berjaga-jaga seandainya lukisan ini dilelang.” Ia juga mengutip Picasso sebagai caption: "Daya merusak juga merupakan daya kreatif.”
Banksy adalah seniman jalanan yang hingga kini identitasnya tak pernah diketahui. Ia dikenal karena berbagai grafiti luar ruangannya yang kerap membawa pesan satire dan menohok terkait politik. Salah satunya yang cukup terkenal adalah ketika ia melukis sosok seukuran tahanan Teluk Guantanamo di Tepi Barat Israel dan Disneyland.
Kemisteriusan Banksy tentu menjadi daya tarik bagi siapapun. Sebuah media yang menamakan diri mereka Gish Gallop (dengan kredibilitas yang diragukan) pernah mencoba menguak siapa Banksy dengan membuat laporan mencengangkan: "Graffiti Artist Banksy Arrested At Art Exhibit In Palestine; Identity Revealed".
Di dalam berita tersebut dijelaskan bahwa identitas asli Banksy adalah pria 38 tahun bernama Paul Horner. Ia ditahan polisi Palestina yang bekerjasama dengan Pasukan Anti-Grafiti London. "Horner sedang ditahan tanpa ada tebusan dan tidak dibolehkan berbicara pada orang lain," tulis berita yang dibuat Joyce Barth dan diunggah pada 7 September 2017 itu.
Belakangan diketahui: berita tersebut tipu-tipu belaka.
Bukan sekali ini saja pria bernama Horner itu ditengarai sebagai Bansky. Pada 2014, sebuah situsweb Amerika, National Report, juga pernah membuat laporan bombastis berjudul "Banksy Arrested, Identity Revealed". Laporan palsu yang kini sudah dihapus tersebut berhasil menarik 4,8 juta pembaca. Siapa penulisnya? Tak lain adalah Horner sendiri.
Kendati identitas aslinya masih menjadi teka-teki, ada beberapa keping kehidupan Banksy yang sudah menjadi pengetahuan umum. Misalnya saja tempat ia lahir, yakni di Bristol, Inggris; serta keterangan bahwa ia seorang anak dari teknisi fotokopi. Banksy sempat berlatih sebagai jagal, tapi tren grafiti di akhir 1980-an membuatnya mengubah haluan.
Dalam wawancaranya bersama Smithsonian Magazine pada Februari 2013, Banksy diketahui pindah ke distrik Barton Hill ketika remaja. Sebuah kawasan “keras” yang masih terletak di sekitar Bristol. Mayoritas warganya merupakan kelas pekerja kulit putih yang tak ramah dengan orang asing. “Ayah saya ketika kecil pernah dipukuli di sana,” ujar Banksy suatu ketika kepada rekan seniman grafiti lainnya, Felix Braun, di dalam wawancara tersebut.
Sebelum menggunakan nama Banksy, ia lebih dulu memakai nama Robin Banx. Nama tersebut merupakan plesetan dari “robbing banks” (merampok bank) yang ia pilih sebagai ejekan terhadap kaum borjuis. Namun belakangan ia memendekkan namanya menjadi Banksy agar mudah diingat.
Ulah pertama Banksy dilakoni ketika usianya 18. Kala itu ia bersama kawan-kawannya tengah membuat grafiti di sebuah gerbong kereta sebelum sekelompok aparat dari British Transport Police memergoki mereka. Kawan-kawannya segera tunggang langgang, tapi tidak dengan Banksy.
"Teman-temanku yang lain berhasil masuk ke mobil. Saya menghabiskan lebih dari satu jam bersembunyi di bawah mesin truk dumper yang olinya bocor,” kenangnya.
Mereka yang Terkenal dan Tanpa Identitas
Tak hanya Banksy, ada beberapa seniman lain yang namanya sudah dikenal banyak orang, namun tak pernah jelas seperti apa identitas asli mereka.
Dari Italia, ada seorang novelis perempuan bernama Elena Ferrante. Karyanya yang paling terkenal adalah Neapolitan Novels—empat jilid novel yang mengisahkan tentang dua perempuan cerdas, Elena Greco (Lenu) dan Raffaella Cerullo (Lila), dalam bertahan hidup di tengah masyarakat patriarkis di pinggiran Naples. Ferrante juga pernah masuk ke dalam daftar "100 Orang Berpengaruh Tahun 2016" yang disusun Time.
Marco Santagata, profesor filologi dari University of Pisa yang juga novelis asal Italia, pernah berupaya menguak identitas Ferrante melalui serangkaian teori. Ada tiga elemen yang dipelajari Santagata terkait hal ini: analisis filologis dari tulisan Ferrante, studi mengenai detail lanskap kota Pisa yang muncul dalam novel-novelnya, serta hipotesis bahwa Ferrante cukup ahli dalam politik Italia modern.
Berdasarkan analisis tersebut, Santagata menduga bahwa Ferrante adalah seorang profesor dalam bidang studi Neapolitan yang pernah belajar di Pisa dari 1964 hingga 1966: Marcella Marmo. Dugaan tersebut kemudian segera dibantah, baik oleh Marmo maupun penerbit buku-buku Ferrante.
Pada Oktober 2016, seorang reporter investigatif bernama Claudio Gatti yang berdomisili di New York (ia koresponden Il Sole 24 Ore dan juga menulis untuk New York Times serta International Herald Tribune) pernah menerbitkan sebuah artikel yang berupaya menguak identitas asli Ferrante. Artikel yang tayang di NYBooks tersebut diberi judul: "Elena Ferrante: An Answer?".
Berdasarkan penelusurannya dari catatan keuangan terkait transaksi pembelian rumah dan hasil royalti buku-buku Ferrante, Gatti menyimpulkan bahwa sosok di balik novelis misterius itu adalah Anita Raja, seorang penerjemah yang tinggal di Roma. Namun, selain mendapat bantahan dari pihak penerbit dan Raja sendiri, Gatti juga dikritik keras oleh kalangan dunia sastra karena dianggap telah melakukan pelanggaran privasi.
Seolah ingin menambah kisruh suasana, pada Desember 2016, seorang jurnalis lain asal Italia yang juga dikenal sebagai satiris kontroversial, Tommaso Debenedetti, sempat pula menerbitkan artikel yang berisi pengakuan Raja bahwa ia memang Ferrante. Lagi-lagi pihak penerbit menyebut wawancara tersebut sebagai berita bohong belaka. Dan, ya, memang bohong.
Upaya terbaru dalam menguak identitas asli Ferrante dilakukan pada September 2017 oleh sekelompok tim dari Universitas Padua yang berisikan cendekiawan, ilmuwan komputer, hingga ahli bahasa. Mereka menganalisis 150 novel yang ditulis 40 pengarang berbeda di Italia, termasuk tujuh buku Ferrante. Berdasarkan riset yang mereka lakukan, didapat kesimpulan bahwa suami Raja adalah orang yang berada di balik karya-karya Ferrante. Namanya Domenico Starnone.
Dugaan tersebut hingga sekarang belum mendapat bantahan dari mana-mana. Namun jika melihat wawancara rahasia Ferrante dengan Vanity Fair pada 27 Agustus 2015, ia mengaku sudah beberapa kali mengatakan bahwa dirinya bukan laki-laki. Dugaan tersebut, bagi Ferrante, sejatinya hanyalah sikap meremehkan dan menganggap perempuan tidak memiliki kemampuan untuk menulis dengan bagus.
Nama lain yang sejatinya sudah terkenal namun tidak pernah diketahui identitas aslinya adalah sosok di balik penciptaan mata uang digital Bitcoin: Satoshi Nakamoto.
Banyak yang menduga bahwa nama Satoshi Nakamoto adalah nama samaran. Ada juga yang mengira itu adalah nama suatu kelompok. Namun dalam laporan berjudul "The Face Behind Bitcoin" yang diterbitkan Newsweek pada 3 Juni 2014, Satoshi Nakamoto disebut sebagai nama asli seorang keturunan Jepang berkewarganegaraan Amerika Serikat yang kala itu berusia 64 dan tinggal di California.
Leah McGrath Goodman, jurnalis Newsweek yang membuat laporan tersebut, mengaku telah melakukan riset dengan mewawancarai para developer yang bekerja bersama Nakamoto pada masa-masa awal dibentuknya Bitcoin. Selain itu, ia juga menyebut telah melakukan riset kependudukan, analis forensik, hingga berbicara dengan keluarga Nakamoto langsung.
Berdasarkan laporan tadi, Nakamoto dideskripsikan sebagai seorang sarjana Fisika lulusan California State Polythecnic University yang pernah bekerja di bidang keamanan dan komunikasi untuk lembaga Federal Aviation Administration (FAA). Ia juga diketahui sebagai seorang ahli kriptografi.
Sejak 2011, tersiar kabar bahwa Nakamoto telah meninggalkan Bitcoin dan mengerjakan hal-hal lain. Kepada Goodman dalam laporan tadi, Nakamoto juga mengatakan, "Saya sudah tidak lagi terlibat di dalamnya (Bitcoin), dan tidak ingin membahasnya."
Sementara itu di laman Diginomics, terdapat beberapa spekulasi mengenai identitas Nakamoto. Ada yang menduga ia seorang pria asal Jepang yang lahir pada 5 April 1975. Namun ada juga utak-atik-gatuk yang menyebut bahwa Satoshi Nakamoto merupakan akronim dari beberapa perusahaan raksasa: SAmsung, TOSHIba, NAKAyama, dan MOTOrola.
Masih ada segelintir nama tokoh lain yang memilih menjadi anonim. B. Traven, misalnya, pengarang legendaris yang menulis The Treasure of the Sierra Madre. Ia diperkirakan berasal dari Jerman dan buku-bukunya juga diduga telah terjual hingga 25 juta kopi. Lalu ada Kid Bailey, salah satu pionir gitaris blues generasi paling awal atau dikenal dengan sebutan Mississippi Delta bluesman, yang hingga kini juga tak pernah diketahui identitas aslinya.
Kenapa Memilih menjadi (Seniman) Anonim?
Pada Januari 2018, situs web Hypebeast menerbitkan artikel berjudul: "Why Anonymous Artists Never Reveal Their Identity". Mereka bertanya kepada lima orang seniman visual masa kini yang namanya cukup populer, terutama di Instagram.
Mereka antara lain: Felipe Pantone (@felipepantone), Lushsux (@lushsux), Adam Lucas (@adamlucasNYC), Jasper Wong (@mrjasperwong), dan Daniel Weintraub (@halopigg).
@felipepantone: “Saya hanya ingin ketika orang mencari nama saya di Google, orang melihat karya-karya saya, bukan wajah saya.”
@lushsux: “Saya lebih memilih orang-orang tertarik kepada karya saya ketimbang kacamata $800 yang saya kenakan atau bagaimana bentuk janggut saya.”
@adamlucasNYC: "Sebagai seniman jalanan dan grafiti, ada alasan keamanan yang mesti diutamakan. Beberapa pekerjaan mereka juga dilakukan tanpa izin dan tiap kota biasanya punya unit khusus untuk melacak keberadaan seniman-seniman ini."
@mrjasperwong: “Sepengalaman saya, para seniman yang memilih menjadi anonim biasanya yang melukis secara ilegal di jalanan.”
@halopigg: “Saya kira ini berkaitan dengan kultur para seniman grafiti atau anda berasal dari tempat yang memang tidak terbiasa menunjukkan kepada orang lain apa pekerjaan anda. Anda hanya memberitahunya kepada lingkaran terdekat.”
Kira-kira mana alasan yang paling logis?
Editor: Ivan Aulia Ahsan