Menuju konten utama

Banjir Garut, WALHI Dorong Investigasi Dugaan Pembabatan Hutan

WALHI menilai Uu perlu segera instruksikan ke jajaran untuk melakukan investigasi. Jika terbukti, maka pelanggar harus ditindak tegas hingga ke pemodal.

Banjir Garut, WALHI Dorong Investigasi Dugaan Pembabatan Hutan
Warga mencari barang dan perabotan yang bisa diselamatkan dari rumahnya yang terendam lumpur akibat banjir bandang Sungai Cimanuk di Garut, Jawa Barat, Sabtu (16/7/2022). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/wsj.

tirto.id - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendorong agar pemerintah dapat melakukan investigasi terkait pernyataan Pelaksana Harian (Plh) Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum. Menurut UU, ada pembabatan hutan di daerah hulu yang menyebabkan Banjir di Garut sejak Jumat (15/8/2022) malam.

“Jika pun memang itu benar-benar terjadi, pembabatan hutan yang sangat luas lah, yang besar, sehingga mengakibatkan air hujan tidak terserap dan semua menggelontor ke Sungai Cimanuk, nah semua dinas yang terkait di jajaran pemerintah daerah Kabupaten Garut beserta aparat keamanan, penegak hukum, kan bisa harus langsung melakukan upaya investigasi siapa pelaku yang membabat itu,” kata Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat (Jabar) Meiki Wemly Paendong saat dihubungi Tirto pada Selasa (19/7/2022) sore.

Akan tetapi, dia menjelaskan bahwa sampai saat ini WALHI Jabar belum mendatangi lokasi yang disampaikan oleh Uu yaitu di kawasan hulu.

“Karena logikanya begini menurut kami, kalau sampai misalnya air Sungai Cimanuk meluap dan berujung terjadinya banjir, diakibatkan oleh pembabatan hutan di kawasan hulu, berarti kan luasannya cukup luas itu yang dibabat,” sambung Meiki.

Dia juga meyakini bahwa jika itu pembabatan hutan secara luas benar terjadi, maka ada pemodal di baliknya. Oleh karena itu, harus ada upaya penegakan hukum yang setegas-tegasnya, bukan hanya kepada para penebang pohon.

“Nah mereka [penebang pohon] bisa dilakukan pembinaan, tapi pemodalnya ini harus ditindak tegas, harus ada penegakan hukum yang tegaslah, harus dikenakan juga sanksi pidana lingkungan, itu bisa dijerat dengan pidana lingkungan,” ucap Meiki.

Dia pun menerangkan, jika luas hutan yang dibabat misalnya hanya 10 meter persegi, maka tidak akan bisa menyebabkan banjir. Adapun dia menjelaskan bahwa pembabatan hutan atau alih fungsi lahan hutan yang bisa menyebabkan air hujan itu tidak terserap dan menggelontor semua ke sungai dan mengakibatkan banjir, secara teori bisa dikatakan di atas satu hektar hutan yang dibabat.

“Di bawah satu hektar bisa terjadi, bila terjadi longsor ya,” imbuh Meiki.

Kemudian dia menyebut Uu perlu membuktikan pernyatannya dan harus segera memberikan instruksi ke jajaran terkait agar dilakukan investigasi.

“Kami tidak berani menyatakan dalam bentuk angka, tapi secara normatif pasti akan sangat luas [luas hutan yang dibabat] seandainya sampai mengakibatkan Sungai Cimanuk meluap dan sampai akhirnya berujung terjadinya banjir,” kata Meiki.

Lanjut dia, WALHI berharap agar pemerintah daerah (pemda) membangun sistem peringatan dini (early warning system), upaya adaptasi dan mitigasi lewat tindakan-tindakan pengurangan risiko bencana.

“Jadi, memang pada akhirnya harus hidup berdampingan dengan resiko yang akan terjadi,” tutur Meiki.

Selain itu, dia menyebut pemda dapat menerapkan pendekatan teknologi dan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan teknologi yaitu dengan menyediakan alat pantau di kawasan hulu atau alat peringatan dini. Sedangkan pemberdayaan masyarakat seperti membangun komunitas-komunitas atau desa-desa yang bisa melakukan pemantauan.

“Jadi ada komunitas yang memantau di kawasan hulu, dia akan memantau di saat misalnya akan sudah terjadi hujan lebat dan si komunitas ini akan terhubung dan memberikan informasi ke desa-desa yang berada di bawah, di hilir supaya mereka juga waspada,” beber Meiki.

Baca juga artikel terkait BANJIR GARUT atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri