tirto.id - Kasus mafia migas yang melibatkan Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) akhirnya dibongkar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi antirasuah menemukan bukti dugaan suap terhadap petinggi anak usaha Pertamina yang dibubarkan Presiden Joko Widodo pada Mei 2015.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menjelaskan kasus ini terkait perdagangan minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Energy Service Pte. Ltd (PES), yang dikendalikan oleh Petral. Menurut dia, Petral yang berkedudukan di Hong Kong, berposisi sebagai paper company. Sementara PES yang sebenarnya menjalankan kegiatan perdagangan migas, berkantor di Singapura.
"Jadi memang sengaja dipisahkan, yang kelihatan di luar Petral. Tapi, yang melakukan kegiatan trading itu PES," kata Loade dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (10/9/2019).
KPK menetapkan satu tersangka, yakni Bambang Irianto (BTO). Dia pernah menjabat Direktur Utama Petral sebelum diganti pada 2015. Ia juga pernah memegang jabatan penting di PES.
Berdasar penuturan Laode, pada 2009-2012, Kernel Oil Pte Ltd beberapa kali menjadi rekanan PES. Bambang yang saat itu menjabat Vice President Marketing PES diduga mengamankan jatah untuk Kernel Oil dalam tender pembelian atau penjualan minyak yang dilakukan perusahaannya.
PES bahkan tidak mematuhi arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2012 soal urutan prioritas rekanan, yakni National Oil Company, Refiner (produsen kilang), penjual/pembeli potensial.
“BTO bersama sejumlah pejabat PES menentukan rekanan yang diundang mengikuti tender. Salah satu yang sering diundang dan akhirnya menjadi pihak yang mengirimkan kargo untuk PES adalah Emirates National Oil Company atau ENOC,” ujar Laode.
ENOC disinyalir adalah kamuflase National Oil Company yang diundang ikut tender supaya PES dapat memenuhi syarat pengadaan. Adapun minyak yang dibeli PES tetap berasal dari Kernel Oil.
Atas bantuannya kepada Kernel Oil, pada 2010-2013, Bambang diduga menerima suap sekitar 2,9 juta dolar AS lewat rekening di luar negeri milik perusahaan Siam Group Holding Ltd. Perusahaan cangkang yang didirikan Bambang itu berkedudukan di British Virgin Island, negara surga pajak.
Di kasus ini, KPK menjerat Bambang dengan pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut Laode, KPK menyelidiki kasus ini sejak Juni 2014 dan sampai sekarang sudah memeriksa 53 saksi, serta menelusuri dokumen di berbagai negara. Kata dia, pengusutan kasus ini memakan waktu lama karena melibatkan otoritas banyak negara dan lebih rumit dibandingkan perkara lain.
“Semoga perkara ini menjadi kotak Pandora untuk mengungkap skandal mafia migas,” ujar Laode.
Bambang Irianto dan Mafia Migas di Petral
Sesuai catatan KPK, Bambang Irianto pernah memegang sejumlah jabatan strategis, selain Direktur Utama Petral hingga 2015. Bambang pernah menjabat Managing Director PES periode 2009-2013. Selain itu, mulai 6 Mei 2009, dia menempati posisi Vice President Marketing PES.
Saat menjadi VP Marketing PES, tugas Bambang ialah membangun dan mempertahankan jaringan bisnis dengan komunitas perdagangan, mencari peluang dagang, mengamankan ketersediaan suplai minyak untuk kebutuhan nasional, serta mengatur kegiatan perdagangan perusahaan.
Dari hasil penelusuran KPK, Bambang mulai berkomunikasi dengan perwakilan Kernel Oil saat masih bertugas di kantor pusat PT Pertamina (Persero), pada 2008.
Bambang Irianto dan Petral kerap dikaitkan dengan mafia migas sejak akhir 2014. Semula, Presiden Jokowi membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai Faisal Basri, pada November 2014.
Tim yang bekerja enam bulan di bawah koordinasi Kementerian ESDM itu kemudian menemukan sejumlah praktik curang oleh Petral dan PES dalam tender pengadaan minyak mentah.
“Tim menemukan cukup banyak indikasi adanya kekuatan 'tersembunyi' yang terlibat dalam proses tender oleh PES,” demikian salah satu kesimpulan dalam rekomendasi tim Faisal.
Tim tersebut kemudian dikabarkan merekomendasikan pembubaran Petral dengan didahului penggantian sejumlah petingginya.
Saat pembubaran tersebut masih menjadi wacana, Bambang yang menjabat Dirut Petral mengaku tidak mempersoalkannya. "Itu hak pemerintah, Kami hanya pelaksana dan pekerja profesional," kata dia pada 17 Desember 2014, seperti dikutip dari CNN.
Bambang tercatat resmi dicopot dari posisi Dirut Petral pada 19 Januari 2015. Dia digantikan oleh Toto Nugroho yang sebelumnya memegang jabatan manajer Integrated Supply Chain Pertamina. Tapi, kala itu hanya Dirut yang dicopot.
Saat Tim Reformasi Tata Kelola Migas masih aktif, Faisal juga pernah mengungkap pendapatan besar Bambang Irianto sebagai Direktur Utama Petral. Menurut Faisal, gaji Bambang mencapai 44.000 dolar Singapura per bulan atau setara Rp572 juta sesuai kurs di masa itu. Kediaman dinas Bambang juga berupa apartemen mewah di Four Season.
Faisal pun mengungkap pesangon jumbo yang diterima Bambang saat jabatannya sebagai Dirut Petral berakhir, yakni 1,19 juta dolar Singapura. Nilai pesangon itu jauh melampaui yang biasa diterima presiden direktur perusahaan minyak di Indonesia.
Pada 13 Mei 2015, pemerintah akhirnya mengumumkan pembubaran Petral. Dua anak usahanya, PES dan Zambesi Investments Limited juga dilikuidasi. Pemerintah menyatakan pembubaran Petral akan didahului audit investigasi untuk mengusut penyelewengan di perusahaan itu.
Audit tersebut sempat terhambat. Menteri ESDM saat itu Sudirman Said mencontohkan, salah satu hal yang menghambat adalah Bambang Irianto pernah mengaku tidak memiliki data Petral dengan dalih laptopnya hilang.
Editor: Abdul Aziz