tirto.id - Suatu hari dalam keadaan perut kosong, seorang pemuda menghabiskan waktu dengan cara merenung di bawah pohon rindang, di tepi sungai yang airnya mengalir sangat jernih. Angin bertiup semilir, udara terasa sangat sejuk.
Di tengah keheningan perenungannya, ia melihat sebiji buah delima hanyut di tengah sungai. Rasa lapar mendorongnya untuk segera mengambil buah delima yang ranum itu. Buah delima pun berpindah ke dalam genggaman tangan. Tanpa pikir panjang, ia segera melahapnya.
Delima pun tandas. Perutnya yang keroncongan seketika berhenti. Beberapa saat kemudian bunyi serdawa terdengar. Pertanda si pemuda telah kenyang.
Malang, penyesalan tidak pernah tidak datang belakangan. Ia baru sadar buah delima yang dimakannya bukan haknya dan tidak jelas asal-usulnya. Kalaupun jelas asalnya, belum tentu si pemilik memberikan restu padanya. Ia menyesal. Namun, penyesalan tidaklah cukup pikirnya. Ia bertekad untuk mencari pemilik delima demi mengharap restu dan ikhlas dari si pemilik.
Setelah melakukan pencarian, pemuda itu mendapati sebuah pekarangan belakang sebuah rumah yang ditumbuhi pohon delima. Sepanjang penelusuran yang dilakukan olehnya, hanya pekarangan rumah itu yang di dalamnya terdapat pohon delima. Ia pun segera bertamu ke rumah yang agak mentereng untuk ukuran saat itu.
Setelah membuka percakapan, sang pemuda akhirnya mengutarakan keperluannya untuk meminta rida atas perbuatannya, yakni memakan buah delima milik tuan rumah yang hanyut terbawa arus sungai.
“Tidak bisa dan tidak semudah itu. Jika kau hendak mencari kehalalan delima yang sudah kau makan, ada syarat yang harus kau penuhi,” ucap tuan rumah.
“Apa syarat itu?” tanya si pemuda.
“Begini. Untuk menghalalkan delima itu, kau harus mengaji sekaligus menjadi pelayanku selama dua tahun. Sanggup?”
Meski perasaannya sedikit bimbang, tapi persyaratan yang diajukan tuan rumah ia jawab dengan anggukan. Kebimbangan bertarung dan akhirnya kalah oleh tekad bulatnya yang ingin menghalalkan buah delima yang telah ia makan.
Dinikahkan dengan Gadis "Buta, Tuli, dan Bisu"
Dua tahun berlalu dengan penuh suka duka. Pemuda itu berhasil melewatinya dengan catatan rapor yang gemilang. Tuan rumah sangat terkesan dengan segala tindakan dan terutama kecerdasan serta akhlaknya.
Merasa telah melewati persyaratan dengan baik, si pemuda menagih janji kepada tuan rumah untuk berikrar mengikhlaskan sebiji delima yang dua tahun lalu ia makan. Ternyata tuan rumah bergeming. Ia tak kunjung memberikan ikrar. Malah ia memberikan syarat tambahan.
“Menikahlah dengan putriku yang buta, tuli, bisu, lumpuh, dan buruk rupa,” ujarnya.
Bagai disambar petir, perasaan campur aduk menghampiri pemuda itu. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga.
Pikirannya berontak. Ia pemuda tampan, hatinya berkata mana mungkin harus menikah dengan perempuan yang seluruh inderanya tidak berfungsi. Namun, sekali lagi, hati kecilnya tetap mendorongnya untuk bertekad mencari kehalalan buah delima yang telah ia makan.
Pada hari yang ditentukan, pernikahan pun dilangsungkan. Setelah akad, si pemuda dipersilakan masuk ke dalam kamar pengantin. Ia mendapati seorang perempuan yang sangat cantik rupawan. Pemuda itu mendekatkan diri. Ia mengamatinya dari dekat.
“Bukan. Saya pasti salah kamar,” katanya dalam hati.
Ia bergegas keluar kamar di mana ayah mertuanya tengah berdiri. Keduanya terlibat percakapan. Sang mertua meyakinkan bahwa pemuda itu tidak salah kamar.
Mertuanya mengatakan perempuan di dalam kamar pengantin benar putrinya yang memang tuli karena telinganya tidak pernah digunakan untuk mendengarkan gosip. Buta karena matanya tidak pernah digunakan untuk maksiat. Bisu karena bibirnya tidak pernah digunakan untuk menghujat dan mencibir. Serta lumpuh karena ia tidak pernah pergi selain ke tempat-tempat ibadah.
Senyum di bibir pemuda itu mengembang. Air matanya menetes. Bahagia campur haru menjadi satu.
Pemuda itu bernama Idris. Dari perkawinannya dengan perempuan anak pemilik pohon delima, kelak lahir seorang ulama besar bernama Muhammad bin Idris Asy-syafi’i atau yang populer dengan sebutan Imam Syafi’i. Seorang imam mazhab yang dianut oleh mayoritas penduduk di negara-negara Asia Tenggara.
Cerita tentang Idris variatif. Riwayatnya bermacam-macam. Salah satunya diriwayatkan oleh M. Cholil Bisri dalam Menuju Ketenangan Batin (2008: 161). Ada yang menulis latar ceritanya saat bulan puasa, ada pula yang tidak.
Sebagian menulis nama gadis yang dinikahkan dengan Idris adalah Ruqaiyyah, sebagian lagi menulisnya Fatimah. Namun, inti cerintanya sama, yakni integritas seseorang seringkali dibalas dengan ganjaran yang tidak terduga.
Menikah dengan Putri seorang Imam
Senyampang itu, Abul Wafa Ibnu Āqil juga mengalami hal sama ketika sekali waktu di kota Makkah ia menemukan seuntai kalung. Ibnu Āqil mencari-cari pemilik kalung tersebut. Berbulan-bulan melakukan pencarian sampai akhirnya ia menemukan sang pemilik, yaitu seorang imam masjid di sebuah distrik di kota Makkah.
Ibnu Āqil segera mengembalikan kalung tersebut yang bagi si pemilik sangat berharga. Atas dasar itu, sang pemilik bersikeras untuk memberikan imbalan atas integritas Ibnu Āqil. Namun, ia menolak imbalan tersebut.
Bertahun kemudian, setelah imam masjid itu meninggal, berdasarkan catatan Khaled Abou El-Fadl dalam Conference of Book (hlm. 56), Ibnu Āqil akhirnya menikah dengan putri sang Imam yang diam-diam jatuh cinta pada kejujuran dan ketulusannya.
Tangan Tuhan bekerja mengusap-usap siapa saja yang memiliki integritas tinggi dengan memegang kejujuran dan ketulusan hati. Tuhan mengganjar tindakan-tindakan integritas dengan cara-Nya yang kerap tidak pernah kita duga.
==========
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.
Editor: Irfan Teguh