tirto.id - Terlahir sebagai anak keempat dari lima bersaudara kandung, Sujatin bersama kedua kakaknya sempat mengenyam bangku pendidikan Hollands Inlandsche School (HIS) di Karanganyar. Kakak perempuan tertuanya bersekolah di Yogyakarta, sementara adik lelaki satu-satunya masih balita. Kakak Sujatin yang lain lahir dari pernikahan pertama dan kedua sang ayah. Ibu Sujatin sendiri adalah istri ketiga.
Setiap hari Sujatin dan kakak-kakaknya pergi dan pulang ke sekolah naik kereta api dari Sumpiuh ke Karanganayar, sebuah perjalanan yang cukup melelahkan bagi anak usia enam tahun seperti Sujatin. Meskipun demikian, Sujatin tetap antusias bersekolah. Kebetulan ayah Sujatin adalah seorang kepala Stasiun Kereta Api di Sumpiuh, sebuah jalur yang menghubungkan Stasiun Kroya dan Yogyakarta.
Bertahun-tahun kemudian Sujatin berhasil mendirikan organisasi Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Bersama Perwari, Sujatin dikenal cukup keras menentang poligami. Menurut Nina Nurmilla dalam Women, Islam and Everyday Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia, saat tengah menjabat Ketua Umum Perwari pada 1954, Sujatin memimpin pergerakan demonstrasi Perwari menentang pernikahan kedua Presiden Soekarno sampai-sampai mendapat ancaman pembunuhan (2009, hlm. 51).
Mengenai pernikahan, Sujatin kerap kali berkaca pada sosok Kartini dan juga ibu kandungnya sendiri. Susan Blackburn dalam Women in Southeast Asian Nationalist Movements: A Biographical Approach mempertegas anggapan Sujatin yang menunjuk nasib Kartini yang dimadu terjadi akibat lemahnya posisi perempuan dalam kapasitasnya menghidupi diri sendiri. Oleh karena alasan itu, Sujatin bekerja keras sebagai guru sejak muda untuk mendapatkan penghasilan sendiri (2013, hlm. 82).
Terlepas dari suaranya yang nyaring mendukung perbaikan nasib perempuan di dalam pernikahan, siapa sangka Sujatin sendiri pernah kesulitan menemukan tambatan hati. Akibat kesibukannya mempersiapkan Kongres Perempuan Indonesia dari 1928 hingga 1932, cinta Sujatin pernah berkali-kali kandas.
Mempersiapkan Kongres
Sekitar peristiwa Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda ke-2 pada 28 Oktober 1928, timbul hasrat dari para perempuan Indonesia berpendidikan untuk mengadakan pertemuan serupa. Tak terkecuali Sujatin.
Dalam biografi Mencari Makna Hidupku: Bunga Rampai Perjalanan Sujatin Kartowijono yang ditulis Hanna Rambe, Sujatin menuturkan bahwa ketika keinginan mengadakan pertemuan muncul ia sudah terlibat dalam perkumpulan Poetri Indonesia. Perkumpulan yang didirikan pada 1926 tersebut diketuai oleh Sujatin dan beranggotakan perempuan-perempuan yang bekerja sebagai guru (1983, hlm. 40).
Dengan segera Sujatin bersama sejawatnya menggalang tenaga untuk mengadakan kongres. Menurut kisah Sujatin, saat itu para perempuan sama sekali tidak memiliki pengetahuan cukup untuk mengadakan pertemuan berskala besar. Ia menyebut segala upaya yang dilakukan kala itu hanya bermodal “kerja keras model amatir dan sukarela”.
Sepanjang November 1928, Sujatin dan kawan-kawannya bekerja lebih keras. Melalui rapat Panitia Kongres Perempuan Indonesia yang pertama di Yogyakarta, diputuskan bahwa Nyonya Soekonto dari organisasi Wanita Oetomo terpilih sebagai ketua dan Nyi Hadjar Dewantara dari Wanita Taman Siswa akan mendampingi sebagai wakil. Sujatin sendiri terpilih sebagai ketua pelaksana.
Pekerjaan sebagai ketua pelaksana nampaknya amat dinikmati oleh Sujatin. Di usianya yang baru 19 tahun, ia mampu melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati demi kesuksesan acara. Ia harus hilir mudik keliling kota dengan sepeda onthel untuk menemui tokoh-tokoh penting, memesan hotel, dan mengantar surat-surat yang semuanya ditulis dengan tangan. Belum lagi serangkaian rapat yang amat menyita waktu.
Cinta Pertama, Kedua dan Terakhir
Di tengah kesibukan mempersiapkan kongres, Sujatin kedatangan tamu pemuda necis dari Batavia. Dia adalah tunangan Sujatin. Pemuda yang telah lama dikenalnya itu merupakan anggota Jong Java sekaligus mahasiswa hukum di Batavia. Selama keduanya aktif berorganisasi dalam perkumpulan masing-masing, kisah cinta Sujatin hanya berlangsung di atas lembar-lembar surat.
Lama tak jumpa, tunangan Sujatin bergegas mengajak pujaan hatinya berjalan-jalan berdua. Tapi, Sujatin menolaknya. “Aku sedang sibuk sekali menyiapkan kongres. Terpaksa ajakan untuk berkencan ke Kaliurang, ke bioskop atau tempat lain tidak dapat kuterima”, kata Sujatin dalam biografinya.
Mendengar penolakan Sujatin, sang arjuna jadi gusar. Padahal dia sangat rindu, tetapi kekasihnya malah terlihat tak mempedulikannya. Sujatin menyadari hal itu, tapi apa daya kongres pertama teramat penting bagi Sujatin.
“Keberhasilan dan kegagalan kongres pertama ini mejadi tanggung jawabku. Aku tidak ingin menjadi tokoh yang gagal. Sudah pasti semua rapat menyita waktuku, menjauhkan diri dari tunanganku yang sedang rindu,” lanjut Sujatin.
Setelah bertengkar hebat, sang pacar kembali ke Batavia. Sujatin pun mengambil keputusan yang radikal. “Pacar saya marah-marah, tidak mau menerima hal ini. Padahal dalam suratnya, ia selalu mendorong saya agar aktif berorganisasi. Ternyata teori dan praktek amat berbeda. Daripada cekcok terus saya putuskan saja hubungan dengan dia. Sekalipun saat itu orang tuanya sudah mau datang melamar,” tutur Sujatin dalam wawancara dengan majalah Femina No. 50-X (21 Desember 1983).
Pilihan antara tugas dan cinta kembali menguji Sujatin di tengah persiapan kongres 1930 di Surabaya. Pada saat itu, Sujatin sedang menjalin kasih dengan mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB) di Bandung. Keduanya sama-sama menyukai musik seriosa dan sering bermain musik bersama. Semuanya baik-baik saja sampai ketika sang pacar kembali menyambangi Sujatin di Yogyakarta menjelang kongres.
Sujatin mengkisahkan kalau pacarnya kali ini juga sangat kecewa. Kendati demikian, Sujatin juga tidak sampai hati mengabaikan nasib para perempuan yang sedang diperjuangkannya. Kebetulan pada saat itu, Sujatin sudah mempersiapkan ceramah mengenai pendidikan wanita yang akan diperdengarkannya dalam kongres di Surabaya.
“Aku tetap pergi ke Surabaya, demi tugas. […] Kami berselisih jalan dalam cita-cita dan pandangan hidup. Lebih baik berpisah pada saat itu, sebelum rumah tangga terbentuk,” kata Sujatin mantap.
Dua kali kongres, dua kali gagal menikah tak lantas membuat Sujatin jera. Sujatin tetap melanjutkan perjuangannya. Tak hanya masalah perempuan, ia juga memperhatikan kesejahteraan buruh. Saskia Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Peprempuan mencatat Sujatin terlibat dalam Komite Penolong Buruh Perempuan yang mengurusi buruknya kondisi kerja buruh perempuan dalam industri batik Lasem, serta masalah pergundikan yang seringkali dilakukan para lelaki pemilik usaha batik (2010, hlm. 141).
Pencarian cinta Sujatin berakhir juga dalam acara peringatan hari lahir Kartini pada 1932. Dalam perhelatan itu, Sujatin menjabat Ketua Panitia peringatan, sementara sang pemuda sederhana datang sebagai tamu. Sujatin langsung jatuh hati kepada pemuda yang ia sebut sebagai “murid” Bung Karno sekaligus penganut pikiran Douwes Dekker itu.
Selang beberapa bulan semenjak pertemuan pertama, Sujatin dan Pudiarso Kartowijono langsung menikah. Keduanya mengucap janji pada tanggal 14 September 1932. Kala melamar Sujatin, Kartowijono sedang tak punya pekerjaan, tak berpangkat, dan tak punya gelar.
“Bekas tunanganku ada yang kelak menjadi menteri pendidikan dan pengajaran. Itu tidak menjadi soal. Bukan pangkat dan harta yang kucari pada diri pria yang kucintai,” kata Sujatin menutup memoarnya.
==========
Artikel ini terbit pertama kali pada 19 Juni 2019. Redaktur melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali dalam rangkaian Laporan Khusus Hari Ibu 2022.
Editor: Windu Jusuf & Fadrik Aziz Firdausi