tirto.id - Salah satu potret karya Mendur bersaudara yang diambil pada 17 Agustus 1945 menunjukkan adegan pengibaran bendera. Waktu itu, orang-orang berkerumun di sekitar tiang dalam jarak yang relatif dekat. Sukarno dan Hatta berdiri berdampingan, beberapa langkah dari kerumunan orang. Raut-raut wajah dalam potret karya Mendur nampak serius. Mereka menyaksikan hal perdana yang dilaksanakan di dalam negeri.
Proses pengibaran bendera yang terkesan intim itu dilakukan dua orang pria. Mereka tak tampil dalam busana yang sama. Satu pria mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung. Yang satunya mengenakan kemeja lengan pendek, celana, dan gesper.
Tampilannya nampak seperti pakaian semi formal yang nampak seperti busana pekerja kantoran. Situasi di sana nampak serius sekaligus cair. Salah satu orang yang jadi bagian dalam kerumunan bisa lebih mendekat untuk membantu memegang bendera. Hal yang tidak mungkin dilakukan dalam upacara kenegaraan zaman sekarang.
Saat itu Husein Mutahar belum merancang ide soal proses pengibaran bendera. Fokus utamanya ialah memastikan bendera bisa dikibarkan. Setahun setelah kemerdekaan, ia mendapat perintah dari Sukarno untuk mempersiapkan upacara kenegaraan untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia.
Dalam teks Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia tentang Penyelenggaraan Kegiatan Paskibraka, tertulis bahwa Mutahar mengusulkan agar pengibaran bendera dilakukan oleh kaum muda. Alasannya untuk menumbuhkan rasa persatuan bangsa.
Ide dan campur tangan Mutahar soal upacara bendera bisa dibilang cukup penting. Pada tahun 1967, Soeharto meminta Mutahar untuk kembali mengorganisir upacara. Ia merancang tiga tim pengibar bendera. Mutahar membagi tim menjadi tiga kelompok yakni pengiring, pembawa bendera, dan pengawal. Tim pengibar bendera ialah siswa siswi SMA yang berasal dari 26 provinsi di Indonesia. Setiap provinsi diwakili oleh sepasang remaja. Tim ini disebut Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka).
Format ini masih diadaptasi sampai hari ini. Kemarin, 68 siswa-siswi terpilih jadi paskibraka. Para pria mengenakan jas dan celana putih dengan dalaman pull over berwarna merah putih. Paskibraka wanita mengenakan jas dengan warna dan model serupa yang dipasangkan dengan rok dan juga kaus dalam berwarna merah-putih. Warna yang mewakili warna bendera Indonesia.
Bentuk jas seragam paskibraka mirip dengan busana Sukarno. Sukarno memlih jas karena ia percaya bahwa tampil rapi bisa mempengaruhi kondisi mental seseorang. Setelah masa kemerdekaan, Sukarno konsisten mengenakan jas bergaya militer ketika tampil di depan publik. Busana tersebut lantas jadi identitas penampilannya. Kesan necis itu kemudian dibawa oleh tim perancang seragam paskibra.
Pasukan yang dimaknai sebagai pemuda pemudi terpilih yang diharuskan berikrar untuk taat pancasila dan bhinneka tunggal ika, serta berkomitmen mewujudkan masyarakat adil. Tim yang diharapkan bisa jadi sosok yang jadi inspirasi kaumnya.
Seragam necis tersebut terlihat terinspirasi dari seragam anggota militer Amerika Serikat. "Survey of U.S. Army Uniforms, Weapons, and Accoutrements" (2007) menyebut bahwa Sebelum perang dunia 1, kemeja yang digunakan oleh anggota angkatan bersenjata Amerika Serikat berbentuk kerah bundar dan tinggi.
Pada 1926, desain seragam berubah menjadi bentuk blazer dengan empat kancing yang terletak di bagian tengah. Kerah yang tadinya bundar diubah menjadi lipatan serupa kerah kemeja. Jas tersebut dikenakan bersama dengan kemeja berbahan wool atau kemeja berwarna krem (khaki) dan dasi hitam. Sekitar 10 tahun setelahnya, seragam tersebut tidak lagi digunakan sebagai seragam di lapangan tetapi digunakan untuk seragam prajurit yang tidak sedang bertugas di lapangan.
Teks karya David Cole tersebut turut menyebut bahwa pada tahun 1950, perwakilan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat menghubungi Hattie Carnegie untuk membuat seragam bagi angota wanita angkatan bersenjata. Pada masa tersebut Carnegie dianggap sebagai desainer populer di Amerika Serikat. Sesungguhnya, ia bukan seorang desainer, melainkan pengusaha mode.
Investor’s Business Daily melaporkan bahwa Carnegie tidak bisa menggambar, menjahit, dan membuat pola. Ia bahkan sempat menganggap bahwa pekerjaan membuat baju bukanlah pekerjaan yang glamor. Tetapi Carnegie ingin melihat wanita-wanita di Amerika Serikat tampil gaya seperti perempuan-perempuan Eropa. Yang ia punya ide-ide yang membuat wanita nampak bergaya. Carnegie sempat menata gaya Marlene Dietrich dan Joan Crawford dalam film mereka. Di sisi lain, ia menyusun strategi untuk mengembangkan bisnis retailnya.
Rancangan seragam militer karya Carnegie mirip dengan seragam militer para pria. Bedanya, Carnegie merancang jas agar siluet pinggang nampak lebih ramping. Ia memasangkan jas dengan rok sepanjang lutut dengan warna senada. Rok tidak dibuat ketat, tetapi juga tidak longgar. Carnegie membuat busana berwarna cokelat tua dan krem kecokelatan. Cole menulis bahwa busana tersebut biasa dikenakan dengan jenis sepatu oxford dan pumps (sepatu hak tinggi dengan ujung sepatu berbentuk datar).
Kemarin perempuan-perempuan paskibraka berjalan dengan kostum tersebut. Bedanya, mereka mengenakan sepatu pantofel dan kaus kaki panjang. Mereka melangkah tegap dan yakin. Seolah menyiratkan pendapat Sukarno tentang perubahan sikap dari orang yang tampil dalam gaya necis. Penuh percaya diri dan terkesan patriotik.
Editor: Maulida Sri Handayani