Menuju konten utama

Derap Paskibraka yang Sarat Makna

Upacara peringatan detik-detik proklamasi 17 Agustus setiap tahunnya selalu diwarnai oleh gegap gempita Pasukan Pengibar Bendera Pusaka atau Paskibraka. Pasukan yang digadang-gadang sebagai putra-putri terbaik bangsa ini berbaris mengawal bendera merah putih dengan sikap nan gagah dan formasi yang presisi. Pakaian serba putih dengan variasi merah membalut tubuh mereka. Mereka seakan tampil tanpa cela. Bagaimana sejarah munculnya pasukan ini?

Derap Paskibraka yang Sarat Makna
Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) bersiap mengikuti gladi bersih Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Halaman Istana Merdeka, Jakarta. [ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma]

tirto.id - Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus tahun ini diwarnai oleh kisah tentang Gloria Natapradja Hamel. Ia adalah seorang anak yang lahir dari ayah berkewarganegaraan Perancis dan ibu seorang Indonesia. Kontroversi mulai menyeruak saat ia diketahui memiliki paspor Perancis. Gadis manis inipun dituding memiliki kewarganegaraan ganda. Sementara itu, keanggotaan sebagai Paskibraka mempersyaratkan status WNI. Gloria akhirnya harus gigit jari karena pemerintah tidak meluluskan permintaannya mengawal merah putih saat upacara Pengibaran Bendera 17 Agustus.

Batalnya Gloria menjadi anggota Paskibraka hanya beberapa saat menjelang pelantikan menuai iba. Muncul petisi agar Gloria tetap diikutsertakan. Media mainstream dan sosial ramai membicarakan. Gloria sendiri terlihat tegar, sembari berkali-kali menyatakan bahwa jiwanya merah-putih.

Segalanya berubah beberapa jam kemudian. Meski gagal menjadi Paskibraka, Gloria justru menjadi satu-satunya anggota yang makan siang dengan presiden dan para pejabat negara. Tidak cukup itu saja, Gloria pun akhirnya diizinkan untuk turut dalam Paskibraka yang bertugas dalam Upacara Penurunan Bendera pada sore harinya. Semua senang, semua lega.

Sejarah Paskibraka

Paskibraka pertama muncul kala Proklamasi 17 Agustus 1945. Berbeda dengan sekarang, Paskibraka saat itu lahir dalam suasana serba spontan dan tergesa-gesa. Tokoh-tokoh yang mendapat kehormatan untuk pertama kalinya mengibarkan bendera pusaka hasil jahitan ibu negara Fatmawati adalah Shodanco Latief Hendraningrat dari PETA (Pembela Tanah Air) dan Suhud Sastro Kusumo dari Barisan Pelopor.

Dalam peristiwa bersejarah itu, seorang perempuan turut membantu membawa baki tempat meletakkan bendera pusaka. Hingga kini, identitas perempuan itu belum bisa dipastikan. Beberapa pihak mengklaim perempuan tersebut adalah S.K Trimurti, salah satu wartawan senior Indonesia.

Formasi Paskibraka pertama dirancang setahun kemudian pada 17 Agustus 1946 di Yogyakarta. Saat itu, Presiden Soekarno memanggil salah satu ajudannya, Mayor Husein Mutahar, untuk mempersiapkan peringatan satu tahun proklamasi.

Husein mendapatkan ide untuk menggelorakan semangat kebangsaan lewat peran pemuda dengan memilih 3 pemudi dan 2 pemuda untuk menjalankan upacara 17 Agustus di Istana Gedung Agung, Yogyakarta. Upacara tersebut berlangsung dalam suasana prihatin dan siaga mengingat ibu kota Indonesia baru saja pindah ke Yogyakarta akibat serbuan Belanda.

Dua puluh satu tahun kemudian, Husein Mutahar kembali dipanggil oleh presiden yang kala itu sudah dijabat oleh Soeharto. Ia diminta kembali untuk merumuskan konsep baru untuk perayaan 17 Agustus 1967. Mutahar memilih untuk mengembangkan formasi 17 – 8- 45 yang digunakan hingga saat ini.

Ide Mutahar sebenarnya sangat sederhana. Ia mengambil inspirasi dari tanggal, bulan, dan tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mutahar membagi ketiga formasi itu menjadi : pasukan 17 untuk pengiring/pemandu; pasukan 8 untuk inti/pembawa bendera; pasukan 45 sebagai pengawal.

Debut formasi 17-8-45 pada 1967 ditandai dengan pelibatan putra-putra daerah dan anggota Pramuka yang ada di Jakarta. Setahun berikutnya, pemerintah ingin membentuk tim pengibar bendera yang berasal dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Sayangnya, tidak semua provinsi sanggup mengirimkan wakilnya ke Jakarta. Pemerintah akhirnya menyiasati kondisi ini dengan menggabungkan perwakilan provinsi yang sudah datang dengan anggota pasukan pengibar bendera 1967.

Tahun 1968 juga menjadi tahun perpisahan bagi bendera pusaka yang dijahit oleh Ibu Negara Fatmawati. Karena kondisinya yang sudah dimakan usia, pengibaran bendera pusaka asli dapat berujung pada kerusakan. Akhirnya, presiden memutuskan untuk mengibarkan bendera pusaka untuk terakhir kalinya pada 1968 dan digantikan oleh pengibaran bendera duplikat.

Istilah Paskibraka sebenarnya baru dipakai pada 1973. Akronim “Paskibraka” yang berarti “Pasukan Pengibar Bendera Pusaka” lahir dari usulan Idik Sulaeman –anak didik H. Mutahar dan salah satu tokoh Pramuka Indonesia. Sebelumnya, pasukan pengibar bendera disebut sebagai “Pasukan Pengerek Bendera Pusaka” tanpa akronim tertentu.

Sejarawan Asvi Warman Adam mencatat, dua putri presiden Soekarno pernah menjadi anggota Paskibraka.

"Dua anak presiden juga pernah menjadi anggota paskibraka, tahun 1964 Megawati, dan pada tahun 1965 Rachmawati," paparnya kepada Antara.

Selain Presiden Soekarno, keturunan Presiden Soeharto pun sempat mencicipi kebanggaan sebagai anggota Paskibraka. Kesempatan itu jatuh kepada tiga orang cucunya: Danti Rukmana (anak dari putri pertamanya, Siti Hardijanti Rukmana), Eno Sigit (anak Sigit Harjojudanto) dan Wiratama Hadi Ramanto (anak dari putri bungsunya, Siti Hutami Endang Adiningsih).

Beragam fungsi simbolis Paskibraka

Paskibraka dan upacara bendera memiliki fungsi-fungsi simbolik untuk menegaskan identitas kebangsaan dan nasionalisme Indonesia. Keduanya dapat kita telusuri dari definisi Paskibraka itu sendiri.

Aturan yang digunakan untuk melandasi pembentukannya termaktub dalam Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia Nomor 65 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka.

Berdasarkan peraturan ini, hakikat Pasukan Pengibar Bendera Pusaka didefinisikan sebagai “...putra-putri terbaik bangsa, kader pemimpin bangsa yang direkrut dan diseleksi secara bertahap dan berjenjang, melalui sistem dan mekanisme pendidikan dan pelatihan yang menanamkan nilai-nilai kebangsaan serta penguatan aspek mental dan fisik agar memiliki kemampuan prima dalam melaksanakan tugas sebagai pasukan pengibar bendera pusaka.”

Berdasarkan definisi tersebut, Paskibraka ditujukan sebagai model ideal atas terma “putra-putri terbaik Indonesia” dan “ kader pemimpin bangsa”. Selain itu, menjadi anggota paskibraka juga berarti telah sahih menjalani proses-proses internalisasi nilai ideal—untuk tidak menyebutnya sebagai “indoktrinasi”--sebagai bangsa Indonesia yang nasionalis, cinta tanah air, disiplin, dan tangguh.

"Awalnya enggak tertarik, ngapain ikut paskibraka panas-panasan, harus potong rambut pendek karena waktu itu rambut aku panjang, kemudian diminta bergabung, dan akhirnya jatuh cinta," ujar Finitya Arlini Cita (24), purna Paskibraka Provinsi Jawa Timur 2008 kepada Antara.

"Karena aku menemukan sesuatu yang berbeda, setelah tahu maknanya lebih dalam, pengorbanan pejuang itu engga bisa dibayar, dan nasionalisme jelas bertambah," sambungnya.

Perasaan serupa juga dialami oleh Ayu Wulan Sari (24), purna Paskibraka Kabupaten Bojonegoro 2007. Ia bahkan mengaku, didikan semasa persiapan pengibaran bendera masih membekas pada karakternya. Saat ini, ia memilih berprofesi sebagai enterpreneur.

"Dalam mendirikan sebuah usaha pasti mengalami up and down, manajemen sangat berpengaruh, dan yang pasti harus benar-benar tough, harus kuat mental, ini juga yang saya dapat dari Paskibraka," paparnya kepada Antara.

Paskibraka juga bisa menjadi simbol kesetiaan terhadap negara. Salah satu contoh yang kerap disinggung adalah saat Umar Patek--salah satu pelaku teror paling berbahaya di Indonesia dan Asia Tenggara— menjadi pengibar bendera merah putih saat upacara Hari Kebangkitan Nasional di Lembaga Pemasyarakatan Porong medio 2015.

Aksi Patek dalam mengibarkan bendera—yang diklaim berdasarkan kerelaannya sendiri—kerap menjadi contoh suksesnya program deradikalisasi pemerintah. Tindakan Umar Patek ini dianggap sebagai bentuk keinsyafannya dalam menerima kembali NKRI yang sempat ditolak dan dimusuhinya.

"Motivasi saya untuk mengibarkan bendera Merah Putih ini karena saya seorang Warga Negara Indonesia dan ingin menunjukkan bagaimana saya mencintai negara saya sendiri, Indonesia," kata Umar Patek seperti dikutip dari Antara.

"Saya mencintai Indonesia dengan taat aturan negara dan mengikuti semua kegiatan di Lapas Porong. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak di Lapas Porong yang telah membimbing saya setiap hari dan puncaknya hari ini saya mendapat kepercayaan untuk mengibarkan bendera Merah Putih di Harkitnas 2015," imbuhnya.

Paskibraka juga dipinjam oleh para santri Nahdlatul Ulama untuk menunjukkan nasionalisme ala mereka. Hal ini misalnya ditunjukkan oleh Pesantren Sirojuth Tholibin, Brabo, Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah melalui upacara bendera dengan peserta dan perangkat upacara memakai atribut sarung dan kopiah.

Kiai Humaidi Ali selaku pembina upacara memaparkan, hal ini merupakan bentuk kebanggaan santri dan manifestasi jiwa nasionalis santri yang tidak patut diragukan.

"Saya lihat santri pesantren salaf tidak kalah jiwa nasionalismenya dibanding santri atau siswa yang sekolah di madrasah formal, jujur saya merasa terenyuh melihat ini," tandasnya kepada situs NU.or.id

Pada akhirnya, simbolisasi Paskibraka selalu bisa disesuaikan dengan kebutuhan para pemakainya.

Baca juga artikel terkait PASKIBRAKA atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti