tirto.id - Sejak ratusan tahun silam, di Kota Palembang sudah ada perkampungan Tionghoa. Mereka tinggal di rumah-rumah rakit.
Mereka adalah “masyarakat pedagang yang juga nelayan. Mereka berjualan keliling kampung... menjajakan makanan. Kebanyakan, para pedagang ini adalah para lelaki yang sudah tua... para lelaki yang tua ini biasa dipanggil pek atau apek,” tulis Koko Bhairawa dan Purhendi dalam Cerita Rakyat dari Palembang (2009) pada bab mengenai asal mula pempek.
Palembang memang punya Sungai Musi sehingga ada ikan berlimpah. “Para apek ini merasa sangat prihatin melihat ikan yang melimpah-ruah, namun belum dapat diolah maksimal. Selama ini, baik masyarakat setempat maupun pendatang hanya mengolahnya dengan cara dibakar atau dijadikan pindang. Lantas mereka mencoba menghaluskan daging ikan tersebut dicampur tepung (gandum)...tentu saja dicampur dengan bumbu rempah-rempah.”
Adonan itu lalu direbus dan digoreng. Di makan dengan cuko berwarna coklat. Ternyata, jajanan yang mereka ciptakan itu cukup enak dan laku ketika dijual kepada warga kampung.
“Pak, Apek...!” teriak orang-orang yang ingin membeli dari apek-apek yang berjualan. Akhirnya, kata Pek melekat pada makanan ini. Belakangan, makanan itu kemudian disebut pempek. Resepnya pun menyebar.
Sekarang, makanan ini sudah jadi makanan khas di kota itu, entah mereka yang disebut pendatang maupun penduduk yang lama tinggal di sana. Pempek tak hanya jadi jajanan yang digemari, tapi juga jadi hidangan wajib di rumah, terutama ketika lebaran.
Di banyak daerah nusantara secara umum, orang-orang Tionghoa juga memperkenalkan tahu, yang kini jadi lauk sehari-hari banyak keluarga di Indonesia. Belum lagi makanan atau bahan makanan populer Indonesia lain macam mie, bihun, bakpao, cap-cay, taouge, tauco, kecap.
Menurut Fadly Rahman, penulis dari Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016), kehadiran orang-orang pedagang Tionghoa, seperti juga orang India, juga membawa bahan-bahan makanan baru yang kemudian memengaruhi Indonesia.
Bahkan, sistem tanam padi di sawah juga diperkenalkan orang-orang Tionghoa. Berdasarkan penelitian arkelogis, jejak sawah tertua berada di di situs Chaodun di Kushan.
Sebelumnya, orang-orang nusantara terbiasa dengan padi ladang atau padi gogo. “Baru pada abad ke-8, konon orang-orang Jawa mulai menanam padi di sawah. Sejak inilah padi membuahkan hasil yang mencengangkan bagi masyarakat. Pangan mereka tercukupi,” tulis Khudori dalam Ironi Negeri Beras (2008).
Di Banten, menurut Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2007) seperti yang dikutipnya dari Sedjarahnja Souw Beng Kong, Phoa Beng Gan dan Oey Tamba Sia (1956) karya Phoa Kian Sioe, orang-orang Tionghoa di Banten pimpinan Souw Beng Kong mengajarkan petani-petani setempat untuk menanam padi di sawah pada abad XVII.
Sawah itu “berpetak-petak dengan mempergunakan pematang dan membajak serta mengairinya. Sebelumnya, para petani tersebut hanya menam padi di ladang yang sudah tentu hasilnya kurang memuaskan.”
Ilmuwan Belanda J.C. van Leur dalam Eenige beschouwingen betreffende den ouden Asiatischen Handel (1934) bahkan menyebut sistem persawahan diperkenalkan lebih lama lagi dari itu, yakni pada 500-300 SM lewat Cina Selatan dan daerah Vietnam.
Menurut Benny Setiono, “di tahun 1750 (orang Tionghoa) memperkenalkan alat penyosoh padi dengan mempergunakan dua-tiga ekor sapi dapat mengolah sampai 500 ton padi per hari. Alat ini menggantikan sistem tumbuk tradisional memakai lesung yang hanya menghasilan 100 ton per hari.” Namun, tak semua daerah di Indonesia mengenal sistem yang diperkenalkan orang-orang Tionghoa ini.
Benny tak lupa menyebut banyak hal lain yang diperkenalkan orang-orang Tionghoa seperti pompa berpedal, pemeras kelapa, bajak, dan teknik pembuatan garam. Orang Tionghoa jugalah yang mengenalkan jarum jahit. Bahkan, pakaian yang dijahit pun awalnya berasal dari Tiongkok.
“Mereka juga mengembangkan budidaya tanaman kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, semangka, nila atau tarum untuk dijadikan bahan pewarna. Sejak 1611 mereka mengembangkan penyulingan arak yang dibuat dari beras yang difermentasi.” tulis Benny.
James Danandjaja dalam karya pentingnya Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-Lain (1984) pernah bertanya: Apa benar andil orang Tionghoa dalam perkembangan kebudayaan di Indonesia hanya terbatas makanan saja?
James, seperti beberapa ahli lain, menyebutkan bahwa baju koko juga adalah pengaruh dari Tionghoa. Baju koko sudah jadi pakaian khas Betawi. Dalam kebudayaan Indonesia sekarang, secara umum baju koko diasosiasikan sebagai pakaian pria muslim. Baju koko dipakai kala Salat Jumat, juga di hari-hari raya.
“Belakangan baju yang berangkat dari pakaian tradisional keseharian (orang Tionghoa) itu disebut baju sadariah kemudian baju koko. Baju tikim (Hokkian: tui kim) dan celana pangsi (Hokkian: phang si) diadaptasi dari pakaian tradisional orang Tionghoa di Batavia,” tulis G.J. Nawi dalam Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi (2016).
Menurut Emha Ainun Najib dalam Hidup Itu harus Pintar Ngegas Ngerem (2016): “Kiai selalu memakai baju koko. Baju koko itu sebenarnya baju Tionghoa, lantas diklaim ustadz dan dinamai: baju takwa.”
Dalam perniagaan, orang-orang di Betawi terbiasa memakai istilah Cepek, Gopek, Nopek, Goceng, Cetiao dalam menyebut harga. Itu juga istilah-istilah Tionghoa.
“Di Jakarta, terutama di antara orang Betawi, bahasa pedagang mereka selalu diwarnai dengan istilah-istilah yang dipinjam dari bahasa Tionghoa suku bangsa Hokian. Istilah-istilah yang dipinjam terutama istilah untuk menyatakan angka,” tulis James Danandjaja.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani