Menuju konten utama

Di Cina, Imlek tak Seperti di Jakarta

Kota-kota besar Cina terlihat sangat lengang pada hari Imlek. Toko-toko tutup. Mencari taksi sesulit mencari jerami dalam tumpukan jarum. Rakyat Cina memaknai Imlek sebagaimana banyak orang Indonesia merayakan “lebaran.” Bagaimana dengan Imlek dan warga Tionghoa-Indonesia?

Di Cina, Imlek tak Seperti di Jakarta
Sejumlah warga berfoto di wahana lampion Imlek di Maha Vihara Maitreya Cemara Asri, Medan, Sumatra Utara, Jumat (27/1). Wahana lampion tersebut dibuat umat Tionghoa setempat untuk memeriahkan Tahun Baru Imlek. ANTARA FOTO/Septianda Perdana/kye/17

tirto.id - Menjelang Imlek, pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta dipenuhi lampion, puisi, dan papan-papan bertuliskan Fu (福), Chun (春), Nian nian you yu (年年有余), dan Gong xi fa cai (恭喜发财). Fu berarti bahagia, Chun adalah musim semi, Nian nian you yu berarti “Semoga mendapat rezeki yang berlimpah-ruah”, dan Gong xi fa cai berarti "Selamat mendapatkan rezeki."

Imlek membuat Jakarta berdandan jadi sebuah pecinan besar, lengkap dengan arak-arakan barongsai dan pertunjukan seni kung fu. Dan pada malam pergantian tahun, malam Imlek, orang-orang mengirim kembang api ke langit tak putus-putus.

Sedangkan kota-kota besar Cina seperti Guangzhou, Shenzen, Huangzhou, dan Shanghai justru beristirahat pada saat Imlek. Berbeda dari biasanya, mencari barang kebutuhan sehari-hari, kendaraan, dan hiburan jadi perkara sulit di sana. Para pekerja berlibur dan toko-toko, kecuali yang memberi bonus sampai tiga kali lipat gaji kepada para pegawainya, tutup.

Rakyat Cina pada umumnya merayakan Imlek seperti orang Indonesia merayakan hari-hari terakhir Ramadhan dan Idul Fitri. Banyak perantau, meski hanya punya uang untuk menebus karcis dua jurusan, ringan saja berangkat begitu liburan Imlek, yang dikenal sebagai Festival Musim Semi, dimulai. Bagi mereka, Imlek adalah waktu untuk pulang ke udik, berkumpul dengan keluarga dan mengingat asal-usul.

Pemerintah Cina memperkirakan akan ada 2,5 miliar perjalanan darat, 365 juta perjalanan kereta, 58 juta perjalanan udara, dan 42 juta perjalanan laut dalam rentang 13 Januari sampai dengan 21 Februari kelak. Hari-hari ini, menurut Express.co.uk, ada sekitar seribu tiket kereta terjual setiap detik.

Tetapi tentu tak semua warga Cina berminat pada mudik. Xi Chunhui, seorang wartawan di Beijing, sebagaimana dilaporkan kembali oleh Bloomberg, mengatakan bahwa keluarganya tidak akan berkeberatan seandainya ia tak berkumpul dengan mereka pada hari Imlek.

“Perayaan Festival Musim Semi sama saja setiap tahunnya,” kata Xi yang tahun ini berusia 27 tahun. Ia menghabiskan liburan tahun baru Imlek dengan berpakansi ke Macau, Singapura, dan Hongkong.

Warga Tionghoa Indonesia di Jakarta kerap diidentifikasi berdasarkan daerah asal masing-masing: Cina Benteng (Tangerang), Cina Jakarta, Cina Medan, Cina Pontianak (Khun Tien), Cina Bangka, Cina Jawa, Cina Phantong (campuran Cina dengan Dayak), dan lain-lain. Tetapi banyak di antara mereka yang tidak kembali ke kampung halaman, terutama yang berada di luar Jawa, buat merayakan Imlek. Alasannya mudah: biaya dan waktu. Lagi pula, aktivitas di Jakarta tetap berlangsung dan libur Imlek di Indonesia lazimnya hanya sehari.

Bagi mereka, yang penting mereka dapat memberikan penghormatan kepada leluhur. Kebiasaan itu sudah dikerjakan orang Tionghoa sejak zaman kerajaan-kerajaan tua di Cina, bahkan sebelum mereka mengenal Nabi Konfusius dan ajarannya.

Untuk memberi penghormatan kepada leluhur yang telah meninggal dunia, mereka bersembahyang di tempat abu sang leluhur tersimpan, yakni Rumah Tua atau Rumah Abu. Kalau tidak mempunyai Rumah Abu, mereka akan berkunjung ke rumah kakek-nenek atau orangtua masing-masing. Jika tidak ada orangtua, mereka akan berkunjung ke rumah paman. Dan jika tidak ada paman, kunjungan dialihkan ke saudara yang paling tua.

Infografik Tunggal Festival Imlek

Pada kunjungan-kunjungan itulah biasanya angpao, hadiah uang yang dibungkus amplop merah bertuliskan doa-doa kemakmuran, dibagi-bagikan buat anak-anak,

Di Cina, angpao lazimnya dianggap tak penting. Rata-rata warga Cina yang kembali ke kampung halaman malah membawa pulang oleh-oleh bagi orangtuanya. Ada yang membawa baju, daging, alat-alat elektronik, dan sebagainya.

Xu Zhengming, misalnya, rela membopong televisi 36 inci sambil berdesak-desakan dengan ribuan orang di stasiun kereta api barat Beijing. “Ayah saya tinggal di pedesaan, dan keluarga saya hidup susah … Dia selalu menginginkan televisi layar datar, jadi saya berikan punya saya,” ujarnya kepada CNN.

Mengangkut televisi mungkin bukan perkara berat bagi Xu yang bekerja sebagai buruh bangunan, tetapi menggotong benda itu selama 20 jam sambil menempuh jarak 1.000 mil ke Chengdu, jelas tak mudah. Namun, Xu rela bersusah-payah demi menikmati momen setahun sekali bagi ia dan keluarganya itu.

Sementara di Jakarta, seorang anak bisa memperoleh uang hingga 500 ribu rupiah hanya dengan menadahkan tangan sambil berkata “Gong xi fat cai xin nian kuai le” kepada kerabat-kerabatnya yang sudah bekerja.

Saya pernah bertanya kepada seorang bocah Tionghoa di Jakarta: “Apa sih makna Imlek bagi kamu?”

“Dapat duit,” katanya.

==================================================

Baca juga

Perayaan Imlek Orang-Orang Cina Benteng

Baca juga artikel terkait IMLEK atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Dea Anugrah & Maulida Sri Handayani