Menuju konten utama

Bahaya Sampah Popok Sekali Pakai untuk Lingkungan dan Kesehatan

Karena faktor kenyamanan dan kepraktisan, popok sekali pakai populer di kalangan orangtua. Tapi, sampah popok menyisakan masalah yang dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan.

Bahaya Sampah Popok Sekali Pakai untuk Lingkungan dan Kesehatan
Aktivis lingkungan hidup yang tergabung dalam Ecoton mengambil sampah popok bayi di anak Sungai Brantas, Kediri, Jawa Timur, Senin (25/9/2017). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani

tirto.id - Ketika tidur malam hari atau sedang bepergian jauh, popok sekali pakai menjadi solusi bagi Sandra Shinta (31) untuk mengatasi kerepotan gonta-ganti celana saat anak buang air kecil atau besar. Sandra menggunakan popok untuk anaknya ketika sang buah hati berusia satu hingga tiga tahun.

Menurutnya, anak yang berumur di bawah tiga tahun kerap buang air kecil sebab mereka masih sering minum air susu. Popok sekali pakai pun dirasa mampu meringankan pekerjaan Sandra yang sehari-hari mengurus sang anak tanpa bantuan orangtua atau babysitter.

“Kami bepergian bisa naik transportasi umum atau kendaraan pribadi, rasanya tidak hanya orangtuanya yang nyaman tapi anak juga. Selain itu, kalau buang air besar, jadi lebih aman karena kami orangtua tidak akan panik dan bingung untuk membersihkan. Tinggal lepas, bersihkan anak, dan ganti dengan popok yang baru,” aku Sandra kepada Tirto.

Berbeda dengan Sandra, Lady Denker (26) menggunakan popok sekali pakai untuk anaknya sejak sang buah hati berusia dua bulan. Ketika dihubungi Tirto, Lady mengatakan bahwa ia masih memakaikan popok pada sang anak yang kini berumur sembilan bulan setiap hari. “Setahuku, rata-rata sampai [usia] dua tahun begitu sudah bisa toilet training, baru bisa lepas popok sekali pakai,” katanya.

Lady menjelaskan bahwa volume air kencing semakin banyak seiring bertambahnya usia sang anak. Jika anaknya memakai popok kain maka Lady akan kerepotan membersihkan perlak dan kain kasur yang bau pesing terkena pipis. Cucian popok kain pun menumpuk. "Satu lagi, najisnya [juga] bikin kepikiran."

Kepraktisan popok sekali pakai juga membuat Emi Zulaifah (50) memilih menggunakan produk tersebut untuk dua anaknya. Emi mengatakan bahwa popok sekali pakai mulai banyak dijual dengan harga ramah kantong sejak tahun 2000-an.

Menurut Emi, ia tidak memakai popok sekali pakai saat membesarkan anak pertama hingga ketiga yang lahir tahun 1990-an. Alasannya, harga popok waktu itu jauh lebih mahal daripada yang dijual saat ini. Jumlahnya pun belum sebanyak sekarang. Akibatnya, Emi hanya memakaikan popok sekali pakai pada ketiga anaknya ketika hendak bepergian.

“Saya mengalami dua masa ketika saya pakai popok kain karena popok sekali pakai belum populer. Jika tidak ada popok sekali pakai, sebenarnya para ibu akan terbiasa memakai popok kain juga. Tapi sekarang popok sekali pakai ada dan murah. Mbak-mbak yang bekerja di rumah saya tahu betul cara cari popok diskonan,” ujar Emi kepada Tirto.

Persoalan Sampah Popok Sekali Pakai

Nyaman dan praktis. Itulah alasan para orangtua memilih popok sekali pakai, sebuah produk yang dianggap meringankan pekerjaan orangtua.

Namun, kehadiran popok sekali pakai juga menyisakan permasalahan sampah yang tak hanya berpotensi mencemari lingkungan tapi juga mempengaruhi kesehatan manusia.

Seperti yang dilaporkan Mongabay, popok sekali pakai menjadi penyumbang sampah terbanyak kedua di laut, yakni 21% menurut riset Bank Dunia pada 2017. Di peringkat pertama ada sampah organik yang besaran angkanya mencapai 44%. Selain itu, ada pula tas plastik (16%), sampah lain (9%), pembungkus plastik (5%), beling kaca dan metal (4%), serta botol plastik (1%).

The Guardian mencatat sebanyak 3 miliar dan 20 miliar popok sekali pakai dibuang di Inggris dan Amerika setiap tahunnya. Adapun Australian Science melaporkan bahwa penduduk Australia menggunakan 5.6 juta popok sekali pakai setiap harinya. Sumber yang sama mengatakan bahwa 2 miliar popok sekali pakai dibuang ke tempat pembuangan sampah di Australia setiap tahunnya.

Prigi Arisandi, Direktur LSM Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), mengatakan sampah popok juga menjadi persoalan sungai-sungai yang terletak di pulau Jawa. Ia menjelaskan bahwa sampah popok ditemukan di sungai besar seperti Kali Brantas, Bengawan Solo, Citarum, dan Progo. Di Sungai Brantas, Ecoton memperkirakan sebanyak 3 juta popok sekali pakai dibuang warga ke kali setiap hari.

Kepada Tirto, Prigi menjelaskan bahwa popok sekali pakai mengandung senyawa kimia Super Absorbent Polymer (SAP) sebanyak 42% yang akan berubah bentuk menjadi gel saat terkena air. Apabila terurai dalam air, zat kimia ini dapat berbahaya bagi lingkungan. Senyawa ini dapat menyebabkan perubahan hormon pada ikan.

"Pembuahan ikan berlangsung secara eksternal. Sperma keluar dan ovumnya keluar. Kondisi air sangat berpengaruh. Kalau enggak mati ya berubah kelamin. Di Kali Brantas, sejak tahun 2011-2013, 80%-85% itu ikannya betina. Normalnya kan 50:50. Tahun 2013 ada penelitian yang melaporkan gangguan: ikan betina matang sementara ikan jantannya itu mandul. Tahun 2013, peneliti Perancis dan Universitas Brawijaya menemukan 20% ikan di hilir Sungai Brantas itu mengalami intersex atau satu tubuh ada dua kelamin,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Prigi, 55% bahan pokok pembuat popok sekali pakai adalah plastik yang notabene membutuhkan waktu lama untuk terurai. “Temuan terakhir kami bulan Juni sampai Juli 2018 ada fragmen plastik dan fiber yang menyerupai bahan baku popok pada lambung ikan Kali Brantas yang kami teliti."

Prigi mengakui bahwa kebanyakan orang memilih popok sekali pakai karena faktor nyaman, praktis, murah, dan ada di mana-mana. Di Jawa Timur, persoalan membuang sampah di sungai didorong pula oleh mitos suluten; masyarakat percaya bahwa membakar atau membuang popok di tempat sampah dapat menyebabkan ruam dan iritasi.

Infografik Sampah Popok

Dalam menyikapi persoalan sampah popok, Prigi menilai bahwa seharusnya produsen menjalankan Extended Producer Responsibility (EPR) yang telah diatur dalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. EPR, menurut Prigi, mengharuskan para produsen bertanggung jawab atas sampah dari produk yang mereka hasilkan.

“Produsen juga harusnya membuat semacam SOP yang menjelaskan bahwa kotoran harus dibersihkan dahulu sebelum dibuang ke tempat sampah dan menghimbau agar tidak membuang popok ke sungai,” ujar Prigi.

Selain itu, pemerintah perlu membangun Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan teknologi sanitary landfill atau lahan urug saniter. Pasalnya, popok termasuk dalam kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang tidak bisa dicampur dengan sampah lain.

Sejak tahun lalu, Prigi mengatakan bahwa Ecoton telah bertemu dengan pihak dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup, Dirjen Pengelolaan Sampah B3, dan dinas-dinas provinsi Jawa Timur untuk membahas persoalan sampah popok. Namun, penanganan sampah tersebut hingga kini belum dilakukan.

Clodi sebagai Solusi

Untuk mengurangi sampah produk sekali pakai, barang yang dirancang untuk digunakan secara berkelanjutan bisa menjadi solusi. Ketika ditanya soal alternatif popok yang ramah lingkungan, Prigi menyebut clodi atau cloth diaper. Berbeda dengan popok sekali pakai, jelas Prigi, clodi dapat dipakai berulang kali sebab bisa dicuci kemudian dikeringkan.

Cloth diaper hampir sama dengan popok kain. Bedanya, clodi dilengkapi lapisan penyerap ompol yang terbuat dari beragam material dengan kemampuan serap tinggi seperti mikrofiber, bambu, wool, serta kayu hemp. Lapisan dalam clodi menjaga kulit bayi agar relatif kering, sementara bagian luarnya dilapisi bahan polimer yang tak tembus air sehingga popok tak bocor.

Dibandingkan dengan popok sekali pakai, harga clodi memang lebih mahal sehingga para orangtua harus lebih dalam merogoh kantong. Namun dalam jangka panjang, membeli clodi lebih hemat dibandingkan popok sekali pakai.

Jika dihitung-hitung, bayi usia 0-1 bulan memerlukan 10-12 lembar popok per hari. Total popok yang digunakan satu bulan pertama bisa mencapai 320-360 lembar. Di usia 1-5 bulan, bayi membutuhkan 8-10 lembar popok, dengan jumlah total popok per bulannya mencapai 240-300 lembar. Kebutuhan ini sedikit menurun ketika bayi berusia 5-12 bulan karena hanya b utuh 8 lembar popok 8 per hari, (240 per bulan). Total biaya selama setahun untuk membeli popok seharga Rp30 ribu per 22 buah adalah Rp4,5 juta.

Sementara itu, jika memakai clodi, dengan asumsi ganti popok per empat jam sekali, maka dalam sehari bayi hanya membutuhkan 8 buah clodi. Agar ada cadangan saat clodi dijemur, setidaknya orangtua perlu mempunyai persediaan clodi untuk dua hari. Dengan clodi seharga Rp70 ribu, para orangtua pun hanya perlu mengeluarkan Rp1.120.000 untuk pemakaian berulang kali.

Baca juga artikel terkait SAMPAH atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf