tirto.id - Peter Pan biasanya dianggap sebagai tokoh protagonis, pahlawan, dan sosok menyenangkan. Sedikit yang menangkap sisi negatif tokoh tersebut, padahal beberapa karakternya bisa jadi meresap dalam kehidupan nyata, termasuk dalam bentuknya yang "berbahaya".
Dalam penjelasannya mengenai laki-laki dewasa yang mengidap sindrom Peter Pan, Patrick McCurry memaparkan deskripsi singkat mengenai arketipe laki-laki berkostum serba hijau ini.
“Dia adalah sosok yang penuh antusias, bergairah, dan kekanak-kanakan, yang bisa saja menarik hati para perempuan, tetapi sulit menjadi partner yang baik,” ujar McCurry seperti dirilis situs Counseling Directory.
“Dia suka menargetkan sesuatu setinggi mungkin," lanjut McCurry, "tetapi sambil bersenang-senang. Kelebihan lainnya, dia humoris dan romantis. Namun, laki-laki dengan peter pan syndrome juga tak jarang sulit diandalkan, alergi terhadap komitmen, dan susah menuntaskan pekerjaan. Rutinitas adalah hal yang membosankan baginya.”
Lebih lanjut McCurry menjelaskan, laki-laki dengan sindrom ini tak mudah dimintai tolong mengerjakan hal-hal remeh sehari-hari seperti mencuci piring atau tugas rumah tangga lainnya. Ia juga cenderung tidak berniat untuk menjadi mapan dan meninggalkan cita-citanya seperti menjadi seniman ulung untuk beralih menjadi pekerja tetap di kantoran demi pendapatan yang lebih menjanjikan.
Sindrom Peter Pan juga membuat laki-laki sering berganti pasangan. Pada mulanya, ia akan mengatakan kepada si perempuan bahwa ia telah menemukan cinta sejati dalam diri pasangannya itu. Namun tak lama setelahnya, ia akan menjadi bosan dan memulai proses pencarian cinta yang baru.
McCurry mengasumsikan bahwa orang yang mengalami Sindom Peter Pan biasanya memiliki relasi yang rumit dengan ibunya, sosok yang mungkin diterimanya sebagai seorang yang dominan atau suka mengontrol. Di samping itu, sering kali sosok ayah dalam kehidupan pengidap sindrom ini absen atau minim peranannya.
Kekecewaan yang memuncak dari masa silam membuat orang dengan sindrom Sindrom Peter Pan ingin melarikan diri dari kenyataan-kenyaatan hidup, termasuk kemapanan dan hidup berkeluarga.
Sindrom Peter Pan di Tempat Kerja
Dalam tulisan yang dirilis situs Psychology Today, personal and career coach Marty Nemko Ph.D., menjelaskan mengapa orang-orang cerdas bisa gagal akibat sindrom Peter Pan. Keengganan untuk bertumbuh mengarahkan orang-orang pada stagnansi dalam kariernya. Ada beberapa manifestasi dari sindrom ini yang berbahaya dalam karier dan kehidupan, ujar Nemko.
Pertama, keengganan untuk bekerja ketika kehilangan motivasi. Mereka yang merasa dirinya moody atau hanya melakukan sesuatu seiring dengan cuaca hati akan cenderung tidak bekerja keras secara konstan. Padahal, ini merupakan hal mendasar untuk mencapai kesuksesan dan bukan pilihan bagi mereka yang memimpikan karier cemerlang.
Kedua, kecenderungan untuk mencoba-coba. Bukan hal yang salah jika orang tergerak untuk mengeksplorasi hal baru. Namun demikian, hanya segelintir orang yang mampu menguasai aneka hal yang mereka jajal. Ketidakinginan untuk fokus pada satu bidang atau hal pada satu waktu kerap menjadi faktor penyebab kegagalan.
Ketiga, kurangnya ketertarikan untuk membentuk jaringan. Ini merupakan salah satu sindrom Peter Pan yang membahayakan karier seseorang. Menyediakan upaya dan waktu untuk membuat koneksi adalah salah satu langkah yang tentunya tidak boleh dilupakan untuk menapaki tangga di dunia profesional.
Apa jadinya jika sindrom Peter Pan dan Cinderalla complex bertemu? Baca artikelnya: Saat Cinderella Bertemu dengan Sindrom Peter Pan.Keempat, terpaku pada cita-cita yang begitu tinggi. Bermimpi dapat menjadi sosok yang ternama, menjalani pekerjaan idaman dan menekuni sesuatu berdasarkan idealisme tentu saja bukan hal yang dilarang. Catatan kesuksesan sejumlah figur publik yang berhasil mewujudkan impiannya pun tidak pendek. Akan tetapi perlu diingat, kesuksesan yang instan dan bertahan lama bisa jadi hanya mitos. Seseorang tidak akan bisa menjalani kehidupan sesuai incaran jika tidak melewati sejumlah rintangan dan tantangan tertentu, termasuk memasuki dunia kerja yang lebih realistis dengan segala realismenya.
Ketika orang terlalu terpaku pada cita-cita yang begitu tinggi, kerap kali mereka abai menjejak tanah. Dampaknya, mereka kerap menutup mata dengan kemungkinan mengerjakan atau melakukan hal lain yang lebih riil dan konkrit di depan mata untuk memenuhi serangkaian kebutuhan hidup.
Cita-cita yang begitu tinggi tanpa berupaya menjejak bumi, juga keengganan untuk menjalin jaringan dengan orang lain, adalah gejala narsistis dan sauvinistis. Dalam bukunya yang bertitel The Peter Pan Syndrome: Men Who Have Never Grown Up, Dr. Dan Kiley mengutarakan bahwa sifat narsistis orang-orang dengan Sindrom Peter Pan membuat mereka mengisolasi diri dari relasi karena mereka terlampau fokus dengan fantasi dirinya.
Sementara sifat sauvinistis dikaitkan dengan peer group yang justru menerima sifat narsistis ini. Karena pengidolaan diri ini justru diiyakan oleh teman-temannya, maka orang-orang dengan sindrom Peter Pan seolah imun dari sakit hati. Ini semakin menjauhkannya dari realitas. Tak terkecuali di dunia profesional yang menuntut kelenturan dalam hal adaptasi dan ketegaran dalam menghadapi aneka kritik dan tantangan.
Kelima, orang-orang yang mengalami Sindrom Peter Pan juga tak jarang ditemukan terlibat dengan penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan alkohol.
Keenam, mereka yang menolak tumbuh sering pula menyalahkan orangtua, pasangan, atau mantan atasannya atas kegagalan yang mereka kecap. Pilihan untuk bergeming dan hanya menuding pihak-pihak luar ketika berada di situasi yang tidak diinginkan menunjukkan seseorang yang tidak mampu memaafkan dan melupakan kejadian di masa lampau.
Ketujuh, sindrom Peter Pan juga menyebabkan seseorang merasa malas mencari pekerjaan dengan tekun. Nemko menjelaskan, ketika seseorang sungguh-sungguh dalam mencari pekerjaan, ia akan berusaha untuk mempromosikan diri sebaik mungkin, membangun relasi dengan kenalan seluas mungkin, menciptakan profil LinkedIn yang menarik dan sederet portofolio, dan rajin melakukan tindak lanjut setelah melakukan wawancara kerja.
Orang dengan Sindrom Peter Pan akan mengabaikan hal-hal semacam ini. Alasannya karena ia telah merasa nyaman dengan keadaannya sekarang meskipun teman-temannya, atau keluarganya, menganggap ia sebenarnya dapat menjadi lebih baik lagi.
Seorang profesor di Department of Personality, Evaluation and Psychological Treatment of the University of Granada sekaligus pakar kelainan emosional, Humbelina Robles Ortega menyatakan bahwa orang-orang dengan sindrom Peter Pan biasanya merasa khawatir akan kesendirian. Hal ini membuat mereka senantiasa mencari kawan yang bisa memenuhi kebutuhannya.
“Mereka menjadi cemas ketika mendapat evaluasi dari rekan kerja atau atasannya. Ini dikarenakan mereka cenderung intoleran terhadap kritisisme. Kadang kala, mereka memiliki masalah serius saat dituntut beradaptasi di tempat kerja atau dalam relasi personal,” paparnya di situs Science Daily.
Bertumbuh kembang bukan lagi opsi bagi mereka yang ingin bersinar di tempat berkarya dan memiliki hubungan yang langgeng, melainkan suatu hal yang mutlak. Maka, jika merasakan sindrom Peter Pan, harus segera mengambil sikap. Belum terlambat untuk memutuskan hengkang dari zona nyaman dan mengucapkan selamat datang pada tantangan baru.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Zen RS