tirto.id - Alkisah, pada akhir 2003 seorang mahasiswa Harvard University bernama Aaron Greenspan meluncurkan situs jejaring sosial--sub dunia internet yang pertama kali diperkenalkan oleh pengacara cum pengusaha bernama Andrew Weinreich pada 1997--bernama the Face Book. Greenspan meluncurkan the Face Book karena ingin membangun jembatan maya, menghubungkan teman-teman sekampusnya dengan dunia kerja, dunia profesional. Semacam LinkedIn versi mahasiswa Harvard.
Nahas, sebelum the Face Book memperoleh pengguna, layanan internet buatan Greenspan ini ditentang banyak pihak, dilawan Harvard Crimson (pers mahasiswa Harvard), karena mewajibkan penggunanya memasang foto dan mengunggah identitas asli yang rawan disalahgunakan dan mengancam privasi. Tak ingin berseteru dengan rekan-rekannya, Greenspan memilih mundur dengan menutup sementara the Face Book.
Dia memikirkan ulang cara terbaik the Face Book bekerja agar tak ditentang kawan-kawannya. Dan di masa the Face Book ditutup sementara, ada seorang mahasiswa Harvard setipe dengannya yang sukses membangun situs guyonan bernama FaceMash. Greenspan lalu mendatangi pendiri FaceMash, Mark Zuckerberg, untuk meminta wejangan plus mengajaknya bergabung membangun the Face Book.
Zuckerberg kepincut dengan ide Greenspan dan berniat bergabung dengan the Face Book. Terlebih, usai hengkang dari proyek penciptaan media sosial eksklusif mahasiswa Harvard yang digagas Cameron Winklevoss dan Tyler Winklevoss, Zuckerberg tengah mengembangkan layanan internetnya sendiri bernama the Facebook. Namun, karena Greenspan menegaskan bahwa dia yang akan menjadi mandor proyek dan mengembangkan sesuai idealismenya, maka Zuckerberg menolaknya.
Bagi Zuckerberg, situs jejaring sosial seharusnya dibuat hanya untuk interaksi maya, tempat bagi orang-orang yang jenuh di dunia nyata membuang-buang waktu di dunia maya untuk bersenang-senang, bukan sebagai medium profesional ala LinkedIn. Akhirnya, Greenspan dan Zuckerberg mengembangkan the Face Book dan the Facebook sendiri-sendiri.
Karena tak tahu bagaimana situs jaringan sosial sebaiknya dibuat, the Face Book ala Greenspan tak kunjung menampakkan batang hidungnya usai ditentang masyarakat Harvard. Sebaliknya, the Facebook ala Zuckerberg tanpa disangka justru sukses dan mulai digunakan mahasiswa-mahasiswa Harvard.
Anehnya, meski the Facebook milik Zuckerberg juga mewajibkan foto dan identitas asli mirip seperti "the Face Book" ala Greenspan, namun Zuckerberg tak memperoleh tentangan berarti. Bahkan, dalam pengakuan Zuckerberg pada salah seorang temannya melalui AOL Messenger, hanya dalam hitungan hari sejak diluncurkan, the Facebook mendulang 4.000 email pribadi, foto, identitas, alamat, serta SNS (social networking service)--semacam jaringan analitik maya yang menautkan sosok A dengan sosok Z karena kesamaan hobi, misalnya.
"Apa? Kok bisa, sih?" terheran-heran salah seorang teman Zuckerberg.
"Gue juga ngga tahu, sih. Mereka main upload aja," ungkap Zuckerberg. "Mereka kayaknya 'percaya sama gue'."
Entah apa yang dipikirkan Zuckerberg saat memberi tanpa kutip pada frasa "percaya sama gue" dalam: they "trust me".
Karena tak ada balasan lanjutan dari temannya, maka Zuckerberg pun menyudahi percakapan via AOL Messenger ini dengan satu frasa: "dasar bego". Ucapan Zuckerberg itu merujuk pada orang-orang yang mau-maunya mengunggah informasi pribadi ke situs buatannya: the Facebook, sebagaimana termuat dalam An Ugly Truth: Inside Facebook's Battle for Domination (2021) yang ditulis Sheera Frenkel, jurnalis The New York Times.
Tak Bisa Dipungkiri, Facebook Memang Penting
Hampir 17 tahun setelah kelahirannya, Facebook menjelma menjadi raksasa. Ya, Facebook sebagai situsweb/aplikasi media sosial memang kian ditinggalkan penggunanya, khususnya kaum muda. Merujuk studi yang dilakukan eMarketer, Facebook kehilangan 2 juta pengguna di bawah usia 25 tahun sejak 2018 lalu. Namun, perusahaan yang didirikan Mark Zuckerberg ini tak hanya menyajikan layanan media sosial melalui Facebook, tetapi juga melalui Instagram dan WhatsApp--dua aplikasi yang sukses dibeli Zuckerberg untuk menihilkan persaingan.
Merujuk studi yang sama, hilangnya 2 juta pengguna muda Facebook tersebut tak lari ke perusahaan pesaing, tetapi hinggap di Instagram. Di sisi lain, meskipun dunia memiliki Signal, Telegram, iMessage, hingga Line, namun secara de facto WhatsApp merupakan komunikasi warga dunia saat ini, memproses 100 miliar pesan saban harinya. Total, baik Facebook (sebagai aplikasi), Instagram, dan WhatsApp digunakan lebih dari 2,76 miliar orang setiap hari. Menjadi bagian penting dari kehidupan manusia modern saat ini.
Pentingnya Facebook beserta seluruh aplikasi bawaannya bagi masyarakat dunia dibuktikan melalui musibah yang diderita Facebook pada Selasa (5/10/2021) lalu. Kala itu, gara-gara jaringan pusat data Facebook yang memproses seluruh layanan Facebook yang tengah mengalami pemeliharaan rutin, keliru mengatur BGP (Border Gateway Protocol atau sistem yang bertugas menentukan rute terbaik dan tercepat bagi para pengguna untuk menuju jaringan layanan-layanan Facebook). Hal ini diperparah dengan layanan internal Facebook yang digunakan para teknisi dan pemrogramnya tak bisa diakses: Facebook-Instagram-WhatsApp tak bisa diakses selama hampir enam jam.
Karena musibah ini terjadi pada Rabu dinihari waktu Indonesia (dan sebagian besar Asia), maka para pengguna pelbagai layanan Facebook di Indonesia dan Asia secara umum tak mengalami dampak berarti. Namun, sebagaimana dipaparkan Raymond Zhong untuk The New York Times, masyarakat non-Asia yang memiliki perbedaan waktu yang tak terlalu jauh dari AS, menderita akibat tak bisa diaksesnya Facebook dan kawan-kawan.
Pengusaha di Kolombia, Kenya, dan Turki, misalnya, menurut laporan Zhong tak bisa menjual produk-produknya seharian karena sangat bergantung pada Facebook, Instagram, dan WhatsApp untuk menjangkau pelanggan. Di sisi lain, karena masyarakat Zimbabwe dan Brazil hampir 100 persen memanfaatkan WhatsApp untuk saling berkirim kabar, otoritas masing-masing negara harus mengeluarkan pernyataan resmi, meminta warganya tenang menghadapi gangguan tersebut.
Di Rusia, karena negara ini juga sangat tergantung pada Facebook-Instagram-WhatsApp untuk berkomunikasi, Maria Zakharova, jurubicara Kementerian Luar Negeri Rusia menyebut bahwa Rusia mungkin seharusnya "membangun media sosial dan platform internet sendiri" untuk tidak bergantung pada teknologi asal AS.
Tak lama setelah Facebook dan segala layanannya dapat diakses kembali, Zuckerberg menyebut bahwa "musibah ini berhasil mengingatkan kami betapa berharganya Facebook bagi masyarakat."
Salah satu alasan bergantungnya masyarakat dunia pada pelbagai layanan milik Facebook karena Facebook-Instagram-WhatApp termasuk yang pertama yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Mereka memperoleh pengguna melimpah yang sukar dikejar pesaingnya dan membuat siapapun yang hendak berganti aplikasi, dari WhatsApp ke Telegram misalnya, susah dilakukan karena perbedaan jumlah basis pengguna.
Selain itu, sebagaimana dipaparkan Aja Romano dalam tulisannya di Vox, Facebook kini telah menjadi sandi untuk masuk ke berbagai aplikasi atau situsweb. Misalnya, ada 500 juta pengguna Tinder yang menggunakan Facebook Login untuk menggunakan aplikasi kencan daring itu. Aplikasi seperti Spotify, Airbnb, IMDb, hingga Flipboard, juga memanfaatkan Facebook Login untuk mengakses layanan mereka. Jika akun Facebook dihapus, pengguna akan kehilangan akses pada aplikasi-aplikasi tersebut.
Nahas, bergantungnya masyarakat dunia terhadap Facebook-Instagram-WhatsApp sebagai medium berkomunikasi, tak pernah dianggap penting oleh Facebook. Sejak didirikan hingga saat ini, Facebook tak pernah menjaga kepercayaan pengguna dengan dukungan privasi yang layak. Facebook lebih mementingkan pundi-pundi uang yang dapat dihasilkan dari penggunanya melalui iklan alih-alih melindungi penggunanya dari misinformasi, hoaks, ujaran kebencian, hingga perundungan yang merajalela.
Editor: Irfan Teguh